"Sudah menjadi sifat manusia selalu ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab terhadap terhadap penggunaan kekuasaan itu. Praktik semacam itu terlihat di mana-mana, dalam praktik sehari-hari. (Edmund Burke, Penulis Buku Reflection On The Revolution in France)
Sebentar lagi kita akan kembali dihadapkan dengan kompetisi elektoral lima tahunan yang tentu akan menyita banyak pikiran. Kenapa dikatakan menyita pikiran?Â
Sebab, generasi milenial dan masyarakat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih akan turut andil dalam menentukan nasib bangsa guna memilih pemimpin melalui Pemilu serentak yang akan digelar pada 14 Februari 2024.
Pemilu bisa dikatakan sebagai perantara paling representatif atas berjalannya demokrasi di suatu negara.Â
Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan hampir semua ahli politik sepakat bahwa pemilu adalah kriteria paling penting dalam mengukur kadar demokrasi sebuah sistem politik. (Pria Dharsana, 2019).
Catatan pemilu sebelumnya menunjukkan setidaknya ada dua peristiwa besar yang tampak berseberangan. Pertama, adalah momentum demokrasi prosedural melalui pemilu serentak 2019.Â
Kedua, kebangkitan politik nonprosedural yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa indonesia yang menolak rancangan undang-undang (RUU) yang dianggap mencederai demokrasi.
Meski secara prosedural pemilu 2019 sudah terlaksana cukup baik, namun belum tentu berkolerasi dengan kualitas dan substansi demokrasi.Â
Proses politik elektoral masih saja dibayang-bayangi dengan politik identitas dengan menggunakan agama untuk mendulang sebanyak-banyaknya suara pemilih baik yang berasal dari agama mayoritas ataupun minoritas.Â
Seorang Australian Financial Review, bernama Bend Bland dalam opininya yang berjudul "Indonesian strongman lost, but identity politicswon" mengungkapkan bahwa hasil pemilu di Indonesia mencerminkan perpecahan nyata di dalam masyarakat Indonesia dan persaingan visi tentang negara seperti apa Indonesia seharusnya. Ia juga menyimpulkan bahwa siapapun presidennya, politik identitas di Indonesia telah memenangkan Pilpres 2019.Â
Proses kampanye yang masih didominasi oleh isu-isu SARA, politik identitas, berita palsu, ujaran kebencian yang semakin meluas akibat adanya buzzer, atau bahkan olok-olok politik antar kubu tentang masalah yang bahkan tidak substantif untuk didebatkan.Â
Tak ayal kondisi ini juga menelurkan persentase golput yang cukup tinggi pada pemilu tahun 2019 yakni 19,24 persen untuk pilpres dan pada pileg sebesar 29,68 persen dari total 192,83 juta pemilih.
Dalam sejarah pemilu indonesia, salah satu faktor yang dianggap dapat menurunkan partisipasi pemilih dalam pemilu adalah golput.Â
Golput atau Golongan Putih adalah kata sematan yang disematkan pada orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan poltik. Sikap golput ini selalu dianggap sebagai sikap negatif yang patut dicegah dalam berbagai kesempatan sosialisasi pemilu.
Tapi pernahkah kita menganalisa sisi lain dari sikap ini, bahwa golput juga merupakan sikap politik untuk menuntut adanya reformasi dan perbaikan sistem agar lebih demokratis, akuntabel, bebas dari money politic serta bersih dari kecurangan.Â
Golput perlu dipandang sebagai seruan moral yang dapat dijadikan pengingat bagi partai politik untuk mencalonkan sosok yang betul-betul representatif dan berkualitas dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan golongan atau pribadi.
Sedangkan secara nonprosedural, aksi mahasiswa dalam mengawal politik pemerintahan merupakan bentuk kontrol publik yang disuarakan oleh mahasiswa yang saat itu resah, terhadap rancangan undang-undang yang dapat membatasi kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan kritik kepada pemerintah melalui ancaman-ancaman pasal penghinaan terhadap pejabat negara.
Fenomena gerakan mahasiswa sudah selayaknya mampu diteropong dari sudut yang lebih positif, yakni sebagai koreksi bagi perbaikan kinerja pemerintah, parpol dan wakilnya di parlemen dan pemerintahan dalam menyusun aturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan yang menguntungkan masyarakat.
Tidak hanya permasalahan politik identitas, mahalnya ongkos politik juga telah membuat politik transaksional semakin tumbuh subur dan sulit dihentikan.Â
Sekjen Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dalam acara Satu Meja The Forum Spesial Kompas TV, menyebut menjawab pertanyaan tentang cara mencegah politik transaksional bukan hal yang mudah untuk diatasi.Â
“Para politisi sering bilang rakyatnya minta begitu. Sedangkan, kalau rakyatnya bilang politisinya yang ngasih." ujarnya yang dikutip dari berita kompas.tv (15/06/2022).
Disisi lain, pelakasanaan pemilu tentunya bukan pekerjaan yang mudah. KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu bersama dengan badan adhoc turunanya tentu memiliki tugas berat untuk memastikan proses pemilihan dapat terlaksana secara luberjurdil. Disisi lain terkait beban kerja juga harus mendapat perhatian khusus.Â
Mengingat pada tahun 2019, banyak penyelenggara yang tumbang akibat kelelahan, serta banyak diantaranya petugas KPPS yang meninggal dunia.Â
Belum lagi, setahun setelahnya kita juga berhadapan dengan Pilkada di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang tentunya tidak kalah menguras tenaga dengan segala bentuk penyesuaian peraturan pemilu yang mengikuti standar prokes Covid-19 yang ketat.
Tentu, ada banyak aspek yang harus diperhatikan dalam proses penyelenggaran Pemilu serentak 2024. Lantaran hajatan ini bukalah pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan sendirian.Â
Keresahan demi keresahan harus mampu dimanifestasikan sebagai suatu solusi yang turut dapat menyukseskan pelaksanaan pemilu. Salah satunya dengan berbagi peran.Â
Sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi, anak muda harus memiliki Literasi Politik yang cukup untuk dapat menjadi dasar dalam menghadapi kompleksitas dan polarisasi politik ditengah gempuran media sosial.Â
Berbagi peran, mengambil peran dan berkolaboasi bersama dengan berbagai sektor menjadi hal vital yang harus dilakukan, baik pemerintah sebagai pembuat regulasi, lembaga penyelenggara sebagai pelaksana teknis dilapangan.
Kemudian, partai politik sebagai peserta pemilu, peran media sebagai sarana edukasi dan penyebar luasan informasi dan tentunya partisipasi aktif masyarakat baik dalam kegiatan pengawasan serta penggunaan hak pilih pada hari h pemilihan berlangsung.
Referensi:
Pria Dharsana, I Made, 2019. Populisme Menghancurkan Demokrasi. Cetakan Pertama, Serat Ismaya: Badung Bali.
Eko Sulistyo, 2021. Dari Jokowi Hingga Pandemi Esai-Esai Politik dan Kebudayaan. Cetakan Pertama, PT Gramedia: Jakarta.
Sania, 2020. Refleksi Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia. https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia. Diakses pada 18 Oktober 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H