Mohon tunggu...
Rosi Rosyani
Rosi Rosyani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Saya memulai study S1-PGPAUD sejak 2021 dan memiliki hobi menulis, baik itu berupa tulisan ilmiah maupun fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mendobrak Paradigma "Anak Nakal" pada Perilaku Anak Anti Sosial

22 Oktober 2023   09:09 Diperbarui: 23 Oktober 2023   08:29 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube Official iNews (Tangkapan Layar)

-Analisis Hubungan Perilaku Anak Anti Sosial dan Pola Asuh Orang Tua-

Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan karakter anak. Namun, dalam kenyataannya perkembangan karakter anak itu berbeda-beda dan tidak menutup kemungkinan adanya perilaku yang tidak mencerminkan karakter baik.

Salah satunya ialah perilaku anti sosial yang kerap kali terjadi di lingkungan pendidikan anak usia dini. Bentuk-bentuk perilaku yang biasa terjadi, diantaranya anak pemalu sehingga enggan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya, anak merasa lebih dominan dari teman-temannya sehingga kerap kali merampas hak orang lain, dan lain sebagainya. 

Tentu saja perilaku ini harus ditangani dengan baik dan benar. Maka inilah tugas bagi orang tua dan guru sebagai pemegang peran pembimbing di lingkungan rumah dan sekolah. 

Akan tetapi, sayangnya anak-anak dengan perilaku tersebut seringkali dipanggil dengan sebutan 'anak nakal'. Sehingga, ditakutkan anak tersebut akan tumbuh menjadi seseorang yang semakin tidak ragu untuk berperilaku anti sosial dikarenakan merasa bahwa lingkungan adalah ancaman. 

Tanpa membenarkan perilaku anti sosial anak, sebagai orang tua dan guru hendaknya turut mencari latar belakang mengenai kehidupan anak tersebut. 

Sejatinya, anak lahir dengan membawa harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya, serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat (Sabon, 2020).

Adanya paradigma anak nakal sebagai label yang diberikan untuk anak berperilaku anti sosial, tanpa memperhatikan penyebab munculnya perilaku tersebut justru akan menjadi masalah baru. 

Terdapat kasus di Indonesia dengan topik masalah serupa, yaitu kasus penganiayaan anak usia 7 tahun sampai meninggal yang dimuat dalam kompas.com (2021) pada 19 Mei 2021 silam. 

Mirisnya, penganiayaan ini dilakukan oleh orang tuanya sendiri dengan dalih ingin menghilangkan sifat nakal pada anak dan berlandaskan ritual dukun. Tentu saja, ini sangat disayangkan, karena satu nyawa yang begitu berharga harus hilang begitu saja hanya karena paradigma konyol perihal 'anak nakal'.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh presenter iNews sore kepada kakek korban yang dimuat dalam akun Youtube Official iNews, sebetulnya korban bukanlah anak nakal, tapi perilakunya yang lincah, membuat orang tua korban kewalahan dalam pengasuhannya. 

Bisa kita lihat di sini, justru masalahnya bukan berasal dari perilaku anak, tapi ketidakmampuan orang tua dalam memberikan pola asuh yang baik karena ketidakpahaman mengenai perkembangan anak.

Paradigma anak nakal ini muncul ketika orang tua bingung dengan apa yang sebenarnya salah dengan anak tersebut sehingga berperilaku 'nakal'. Lalu saat dilihat dari luarnya, fisik anak ini sehat, kemudian muncullah pemikiran irasional bahwa jiwa anak dikuasai makhluk halus. Sehingga, orang tua tersebut mempercayai ritual dukun merupakan cara yang tepat untuk menangani anak nakal. 

Ritual dukun tersebut pun dilakukan dengan cara menenggelamkan anak di bak air dengan tujuan agar ruh/jiwa anak yang 'kotor' digantikan dengan ruh/jiwa anak yang 'bersih'. Padahal, sudah jelas-jelas bahwa ritual tersebut merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak.

Jika dikaji lebih dalam, justru anak yang nakal dan aktif itu adalah pertanda bahwa anak memiliki kecerdasan, kreativitas, dan energi yang melimpah untuk mengeksplorasi lingkungannya. Anak terlihat nakal karena orang dewasa tidak bisa menyelami karakter anak tersebut. 

Sudut pandang orang dewasa dan anak-anak itu tidak bisa diukur sama, karena anak memiliki persepsi yang jauh berbeda dalam melihat dunia. Hal ini sejalan dengan yang diungkap dalam buku Rahasia Mengajar dengan Kreatif, Inspiratif, dan Cerdas yang ditulis oleh Wahyuning (2003), yaitu sebagai seorang pendidik, tidak boleh langsung menganggap anak nakal atau bodoh, tapi harus direnungkan lagi, barangkali ada yang salah dengan cara mendidik kita. 

Masalah ini akan terus menjadi masalah yang timbul beriringan dengan kehidupan karena sudah dinormalisasi. Maka, perlu adanya 'dobrakan' untuk paradigma anak nakal. 

Persoalan paradigma ini menyangkut dengan pola pikir masing-masing individu. Maka, solusi yang dirasa tepat ialah dengan mengubah paradigmanya terlebih dahulu. 

Paradigma yang buruk muncul karena kurangnya pengetahuan. Dalam hal ini, orang tua tidak memiliki cukup pengetahuan mengenai perkembangan anak dan pola asuh yang tepat.

Menurut Chamidah (2009), pada prinsipnya, perkembangan merupakan hasil interaksi dari banyak faktor (internal dan eksternal). Faktor internal meliputi karakteristik genetic, jenis kelamin, serta temperamen. Sedangkan, faktor eksternal meliputi status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, urutan anak dalam keluarga, pola pengasuhan, pendidikan, dan media. 

Pola pengasuhan dalam keluarga menjadi sangat penting untuk diperhatikan, mengingat lingkungan pertama bagi anak adalah keluarga. Perlu diingat pula, bahwa 1000 hari pertama bagi anak adalah periode emas yang harus dioptimalkan. 

Jika pola asuh yang diterapkan oleh orang tua itu baik, maka perkembangan anak pun akan baik pula, begitu pun sebaliknya. Lagi-lagi, sejatinya anak itu lahir dengan membawa harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya, serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat. 

Ketidaksesuaian perilaku anak dengan norma sosial dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, salah satunya oleh pola asuh yang orang tua terapkan.

Anak dengan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial disebut dengan anak anti sosial. Definisi anti sosial menurut Purwati dkk. (2023) adalah perilaku yang menyimpang aturan norma yang berlaku di lingkungan sekitar. 

Bentuk-bentuk perilaku anti sosial, diantaranya pemalu, agresif, serta manja (Rambe & Nasriah, 2021). Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya perilaku anti sosial pada anak, salah satunya adalah faktor lingkungan keluarga. Lagi-lagi menyangkut pola asuh yang diterapkan orang tua.

Berdasarkan teori, terdapat beberapa macam bentuk pola asuh menurut Baumrind (dalam Fitriyani, 2015), yaitu pola asuh Authoritative (Otoritatif), Permissive-Indulgent (Permisif), Authoritarian (Otoriter), dan Neglectful (Tidak Terlibat). 

Dari keempat bentuk pola asuh tersebut, yang paling ideal adalah pola asuh Authoritative (Otoritatif) yang didefinisikan sebagai  pola pengasuhan yang bersifat tinggi tuntutan (demandingness) dan tanggapan (responsiveness). 

Pada pola asuh ini, orang tua memberi kesempatan pada anak untuk berkembang otonomi dan mampu mengarahkan diri, tapi anak tetap harus memiliki tanggung jawab terhadap tingkah lakunya. 

Dengan menerapkan pola asuh ini, kecenderungan anak berperilaku anti sosial itu cukup rendah. Hal ini dikarenakan orang tua bersikap hangat, tapi tegas. Sehingga, kebutuhan-kebutuhan anak dapat terstimulasi dengan baik dan sudah dibekali kedisiplinan, sehingga anak mengetahui konsekuensi atas segala perilakunya. 

Anak akan berpikir secara rasional sebelum melakukan kesalahan dan ini merupakan buah dari didikan orang tua yang menjelaskan kedisiplinan dengan baik dan benar. 

Sementara itu, pola asuh Permissive-Indulgent (Permisif) merupakan pola pengasuhan dengan orang tua yang rendah pada tuntutan, tapi tinggi terhadap tanggapan. Dalam pola asuh ini, orang tua cenderung terlalu memanjakan anak serta membebaskannya untuk melakukan apapun tanpa batasan. Sikap orang tua yang terlalu terlibat pada anak pun kurang baik bagi perkembangan perilakunya. 

Anak jadi tidak dapat mengambil keputusannya sendiri dan cenderung menjadi pribadi yang anti sosial. Karena orang tua yang membebaskan anak tanpa batasan ini, membuat anak dengan berani meraih apapun keinginannya walaupun itu harus merampas hak orang lain. 

Ketika anak tersebut terlibat dalam masalah karena ulahnya sendiri, maka anak cenderung tidak merasa bersalah karena orang tuanya membela dan menyelesaikan masalah tersebut.

Selanjutnya, pola asuh Authoritarian (Otoriter), yaitu orang tua yang bersikap lebih tinggi dalam tuntutan, tapi rendah tanggapan. Pola asuh ini biasa dikenal dengan aturan yang ketat. Kebebasan dibatasi dan anak jarang diajak komunikasi atau sekadar ngobrol. 

Pola asuh ini pun berkesempatan lebih banyak untuk menjadikan anak berperilaku anti sosial. Hal ini karena anak harus selalu menerima segala yang diperintahkan, sehingga ia akan tertekan sendiri. 

Dalam pola asuh ini juga orang tua cenderung banyak memberi hukuman ketika aturan dilanggar oleh anak, padahal aturan tersebut tidak dibuat atas persetujuan bersama. Maka, ketika anak keluar dari lingkungan rumah, anak merasa harus memenuhi segala kebebasan yang terpenjara sebelumnya. 

Perilaku orang tua yang keras juga membuat anak memiliki penghayatan bahwa lingkungan adalah tempat yang keras pula, sehingga sebelum anak tersebut mendapat kekerasan dari orang lain, anak itulah yang akan lebih dulu keras pada orang lain.

Anak merasa memiliki keberanian lebih untuk bersifat dominan agar kepuasannya terpenuhi. Apalagi, anak memiliki karakteristik egosentris yang jika tidak ditangani dengan baik dan benar, maka perilaku anti sosial tidak akan terelakkan.

Adapun, dalam pola asuh Neglectful (Tidak Terlibat), sikap orang tua pada anak adalah rendah dalam tuntutan serta tanggapannya. Orang tua bersikap acuh tak acuh dan cenderung tidak terlibat pada kehidupan anaknya. 

Pola asuh ini pun memiliki kecenderungan untuk menjadikan anak berperilaku anti sosial. Anak akan bingung dan cenderung kesulitan membedakan antara baik dan benar karena kurangnya bimbingan dari orang tua. 

Ketiadaan atau pengabaian dari orang tua juga memunculkan penghayatan bahwa anak bebas melakukan apapun yang dikehendakinya tanpa perlu khawatir akan batasan. 

Contoh bentuk anti sosial dengan latar belakang pola asuh orang tua tidak terlibat ini ialah pemalu karena dengan orang tua saja jarang diajak komunikasi, jadi anak kurang mengetahui caranya bersosial dengan baik. 

Selain itu, bisa jadi juga justru anak bermain dengan orang-orang yang tidak sesuai dengan usianya, contohnya orang dewasa yang tidak mencontohkan hal baik pada anak. Sehingga, anak akan meniru perilaku-perilaku seperti memukul, mecubit, bahkan berkata kasar sesuai dengan apa yang ia lihat di lingkungan bermainnya. Hal ini terbukti oleh anak yang diteliti oleh Rambe & Nasriah (2021) dalam artikelnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku anak anti sosial dengan pola asuh yang orang tua terapkan. Maka, setelah mengetahui hubungan ini, hendaknya tidak ada lagi paradigma anak nakal di lingkungan masyarakat karena munculnya perilaku menyimpang pada anak pasti ada hubungan sebab dan akibat. 

Sebagai orang dewasa, hendaknya lebih bijak dalam berpikir dan berbicara, jangan sampai labelling 'anak nakal' untuk anak anti sosial justru malah membuat mereka semakin berani berperilaku menyimpang. 

Berdasarkan beberapa kasus yang telah terjadi, hendaknya digunakan sebagai bahan renungan orang tua serta guru untuk lebih memperbaiki pola asuh yang diterapkan saat ini. Orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak, maka lakukanlah dengan cara yang baik pula.

REFERENSI

Chamidah, A. N. (2009). Deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Jurnal pendidikan khusus, 5(2), 83-93.

Fitriana, I., & Arief, M. (2021). Buntut Kasus Bocah Ditenggelamkan hingga Tewas karena Nakal, 4 Orang Jadi Tersangka. https://regional.kompas.com/read/2021/05/19/185657678/buntut-kasus-bocah-ditenggelamkan-hingga-tewas-karena-nakal-4-orang-jadi. Diakses pada 08 Oktober 2023.

Fitriyani, L. (2015). Peran pola asuh orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak. XVIII(1), 93--110.

Official iNews. (2020). Ritual Usir Genderuwo, Orangtua di Temanggung Simpan Jenazah Anak Part 01 - iNews Sore 18/05

Purwati, P., Amaliyah, S., & Nuraeni, Y. (2023). Analisis Penyebab Perilaku Anti Sosial pada Anak Usia Dini. Pendekar: Jurnal Pendidikan Berkarakter, 6(2), 131-136.

Rambe, J. N. A., & Nasriah, N. (2021). Perilaku Anti Sosial Anak Usia 5-6 Tahun dan Cara Guru Menangani di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Perdagangan. Didaktis: Jurnal Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan, 21(2).

Sabon, M. B. (2020). Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi. Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Wahyuning, W. (2003). Mengkomunikasikan moral. Elex Media Komputindo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun