Mohon tunggu...
Fransiska Rosilawati
Fransiska Rosilawati Mohon Tunggu... -

Pekerja Pranata Humas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Campak dan Gizi Buruk di Papua, Perlunya Layanan Kesehatan Proaktif dan Sarana Informasi Darurat

3 Februari 2018   09:59 Diperbarui: 3 Februari 2018   10:20 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Campak dan Gizi Buruk yang telah merenggut nyawa puluhan anak-anak di Kabupaten Asmat, Papua merupakan bencana kesehatan yang cukup memprihatinkan di awal tahun 2018. Pemerintah dan beberapa pihak telah merespons dan memberikan bantuan pangan dan nutrisi lainnya terhadap para korban serta masyarakat lain yang rawan mengalami kasus serupa.

Peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB) telah diliput dan dipubikasikan berbagai media dengan harapan bahwa Kasus Campak dan Gizi Buruk tersebut memerlukan perhatian serius.

Headline Harian Kompas, 15 Januari 2018 menurunkan judul: 61 Anak Meninggal di Asmat . Dikabarkan bahwa jumlah korban meninggal akibat kejadian luar biasa campak dan gizi buruk selama empat bulan terakhir di Kabupaten Asmat, Papua tercatat 61 anak. Pemerintah setempat menyiapkan imunisasi massal untuk semua kampung dan ini akan dilakukan setelah pengobatan dan vaksinasi di wilayah-wilayah terparah (Kompas, 15/1/2018, halaman 1).

Peristiwa yang cukup mengenaskan tersebut ternyata menggugah berbagai pihak. Di samping pemerintah pusat dan beberapa lembaga swasta maupun perguruan tinggi yang perduli segera mengirimkan bantuan, baik berupa pangan dan obat-obatan berserta tim khusus yang diterjunkan menunjukkan bahwa bencana kesehatan yang cukup parah ini sangat menyentuh kehidupan yang berperikamanusiaan.

Dampak atas peristiwa yang membawa korban anak-anak bangsa inipun selanjutnya tidak hanya sebatas menggugah perhatian, jauh dari itu langkah-langkah nyata dan mendesak menjadi pilihan yag harus dilakukan. Tidak terkecuali mencari sebab dan kontribusi nyata dalam penanganan serta mencegah terulangnya kejadian serupa semakin mencuat diberitakan dimana-mana.

Kita seringkali terhenyak manakala suatu peristiwa terjadi dan membawa tidak sedikit korban manusia yang tidak berdaya. Termasuk dalam kasus campak dan gizi buruk di Asmat ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lemahnya layanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya di Asmat (Papua) atau daerah-daerah terpencil/pedalaman lainnya. Harapannya ke depan tentu jangan lagi terulang peristiwa serupa.

Layanan dasar di bidang kesehatan dan pangan yang sering dikumandangkan sebagai salah satu prioritas program di seluruh daerah sudah saatnya tidak hanya sebatas terpampang dalam visi, misi yang dimiliki pemerintahan pusat dan daerah. Melainkan prioritas program pembangunan di bidang kesehatan dan pangan ini yang berkait dengan kebutuhan dasar manusia harus dirancang secara matang dan dikelola secara sungguh-sungguh.

Dalam kasus campak dan gizi buruk yang terjadi di Asmat tersebut tentu banyak aspek yang perlu dipahami untuk kemudian ditindak lanjuti. Salah satunya bisa dilihat dari karakteristik dan luas daerahnya, Kabupaten yang berada di bagian selatan Papua ini memang relatif sulit terhubung antara satu lokasi penduduk dengan lokasi lainnya dalam wilayah kabupaten.

Itu semua mengingat infrastruktur transportasi/jalan darat yang penuh tantangan misalnya harus berjalan kaki, menyeberang sungai/rawa sehingga bilamana pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) hanya tersedia di tempat tertentu maka layanan kesehatan menjadi terbatas. Padahal penyakit campak yang seharusnya sejak awal bayi lahir bisa di-imunisasi, tidaklah akan banyak terjadi kematian seperti yang terjadi selama ini.

Berdasarkan pengalaman penulis hidup di Papua bertahun-tahun hingga diberlakukan otonomi khusus (otsus), dapat dikatakan bahwa layanan kebutuhan dasar manusia yaitu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan disana masih perlu ditambah dan ditingkatkan.

Fasilitator dalam hal ini masih dituntut proaktif untuk memberikan layanan seoptimal mungkin. Sangat kurang dimungkinkan bila rakyat yang masih dalam keterbatasan sarana prasarana dan pengetahuan diharapkan secara aktif untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagaimana saudara-saudara kita yang berada di Jawa, atau daerah yang terlebih dahulu tersentuh modernisasi.

Tidak lebih dari itu semua, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tentunya kitapun perlu ikut merasakan betapa masih belum meratanya layanan kesehatan terutama bagi saudara-saudara kita yang berada di Papua, khususnya di pedalaman atau daerah yang sulit terjangkau agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Masih pula sering ditemui manakala suatu peristiwa yang banyak membawa korban terjadi disusul kemudian reaksi dilakukan oleh berbagai pihak untuk menolong/membantu para korban, seperti kasus campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat yang telah merenggut nyawa anak-anak bangsa disana.

Kasus demikian seharusnya tidak perlu terjadi jika pencegahan awal dilakukan. Tersedianya layanan kesehatan yang mudah dan terjangkau warga setempat termasuk imunisasi sejak bayi lahir hingga layanan kesehatan umum menjadi layak diperhitungkan. Misalnya saja dengan menambah pusat-pusat layanan dan jika memungkinkan penambahan Puskesmas Keliling di titik-titik strategis sebagai langkah preventif terhadap menjalarnya gangguan kesehatan masyarakat setempat.

Mitigasi bencana kesehatan menjadi hal penting. Di samping perlunya sosialisasi hidup sehat melalui komunikasi kelompok pada distrik-distrik maupun melalui kelompok adat sebagai pencegahan awal sehingga diharapkan dalan jangka waktu panjang dapat meminimalisir kejadian luar biasa seperti kasus di Asmat tersebut.

Sejalan dengan itu, untuk menunjang kelancaran aktivitas layanan dasar bagi masyarakat di Papua pada umumnya juga diperlukan fasilitasi di bidang komunikasi dan informasi. Hal ini perlu dan penting karena letak geografis di sebagian besar wilayah Papua sulit dijangkau secara fisik -- sehingga kehadiran sarana komunikasi dengan penyediaan peralatan yang tidak perlu harus canggih (yang terpenting terjalin pertukaran informasi) sehingga terbangun konektivitas antar pihak yang berkepentingan.

Membangun sistem komunikasi semisal memperkuat kehadiran radio komunitas, radio antar penduduk, atau tersedianya sarana komunikasi lainnya yang sesuai dengan situasi kondisi setempat tentu akan banyak membantu bilamana terjadi peristiwa urgent, misalnya bencana alam, termasuk perlunya sarana penyampaian informasi darurat seperti kasus campak dan gizi buruk jangan sampai merenggut banyak korban karena terlambat untuk menanganinya (Fransiska Rosilawati).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun