“Ku fikir, setelah merdeka Indonesia akan menjadi lebih damai. Ternyata aku salah perjuangan yang ku anggap usai masih menyisakan perjuangan yang lain. Penjajah yang ku fikir sudah pergi, kembali hadir dalam wujud yang berbeda. Bukan! Bukan penjajah tapi bangsa sendiri yang fikirannya mudah terombang ambing ke kanan dan ke kiri. Malas mencari kebenaran hanya bisa menuntut dan menuntut.” Gumam kakek Prapto di sela-sela isapan kreteknya sambil memberi makan ayam-ayam kecil di halaman rumah. Halaman rumah kakek Marni terbilang luas, dengan suasana gunung yang sangat asri. Kakeknya juga seorang petani, peternak ayam dan sapi. Tak heran jika dipelataran rumahnya terdapat banyak ayam-ayam yang berkeliaran.
Marni yang melihat itu, hanya bisa geleng-geleng kepala. Kakeknya merupakan pahlawan veteran Indonesia, menjadi saksi kemerdekaan Indonesia kala itu. Akhir-akhir ini, sering bergumam mengkritisi kondisi Indonesia saat ini. Menurut kakeknya yaitu kakek Prapto, Indonesia adalah surga namun tak banyak orang yang bisa melihatnya.
“Wonten nopo to mbah? Perjuangan sudah usai mbah. Rakyat kita juga sudah damai. Perempuan juga sudah bisa sekolah, jadi perjuangan Kartini tidak sia-sia.” Kakek Prapto tersenyum, sekilas dipandang wajah cucunya dengan kain rajut di tangannya.
Ya, Marni sangat suka momen menghabiskan waktunya dengan kain rajutnya sambil menemani si mbah ngopi di teras belakang rumah. Dengan pemandangan sawah di kanan dan kiri yang sangat sulit ditemui di tengah perkotaan yang padat oleh bangunan pencakar langit. Biasanya, si mbah mendongenginya tentang perjuangan para pahlawan meraih kemerdekaan Indonesia. Walau sudah di umur senja, tapi ingatan mbah Prapto tak pernah berkurang sedikitpun. Dari si mbahnya inilah yang menjadikan Marni suka dengan sejarah. Dari si mbahnya ini juga Marni menjadi faham arti dari “Jangan lupakan Jas Merah” menjadikan kita lebih bisa menghargai waktu yang kita punya.
“Dulu, kemiskinan memang merajalela. Rakyat kecil ditindas, ditendang, diInjak, seolah-olah tak memiliki harga diri. Orang pemuka yang katanya pandai dalam agama justru menjadi dalang dari adanya penindasan. Ia berkhianat dan menjadi budak para penjajah. Emang nduk, dunyo saiki wes luweh makmur ning rakyate yo tambah malah ngawur.” Kakek Prapto menyeruput sisa-sisa terakhir kopinya.
“Piye to mbah maksud e? kulo kok bingung” timpalnya.
“Dulu, walaupun negeri kita di jajah, tapi hati kita damai nduk. Ndak ada orang yang berusaha mengakhiri hidupnya, meskipun ia diinjak-injak. Ndak ada orang yang bilang menyerah meskipun hidup dalam kemiskinan. Ndak ada juga seorang anak yang lancang memerkosa ibunya selain memiliki rasa hormat dan terimakasih karena sudah dilahirkan. Kita mati karena mengikuti takdir, kita hidup dengan menerima takdir. Semua itu karena kita tahu lawan kita jelas, yaitu manusia. Ada wujudnya, ada bentuknya, jika kita bunuh kita bisa melihat jasadnya. Tapi sekarang apa menurutmu begitu?”
Marni manggut-manggut, “lalu apa masalahnya? di samping berita negatif ada juga berita positif yang bisa kita ambil mbah, apa jiwa kepahlawanannya njenengan terlukai dengan ini? Ahahaha” Marni tergelak
Ia tatap kembali wajah si mbah dengan kretek yang masih mengepul di antara jari tengah dan telunjuknya.
“Ini bukan masalah terlukai cah ayu, tapi masalah penjajah. Kau tau? Dulu ada seorang pemuda, ia memiliki seorang anak. Dia bernama Darma yang disiksa oleh DI (Darul Islam) yang memiliki pasukan bernama TII (Tentara Islam Indonesia). DI ini merupakan sebuah gerakan politik yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara islam di Indonesia. Pemberontakan yang di lakukan oleh DI ini termasuk salah satu pemberontakan yang paling sulit yang dihadapi oleh Indonesia. Waktu itu, bermula pada tahun 1948.” Mbah Prapto mulai bercerita.
“Seorang pemuda yang bernama Darma, ketika sedang menjajahkan dagangannya di pasar, tiba-tiba dia digeret oleh DI dan dituduh sebagai pemberontak. Saat itu, anaknya masih kecil, dan istrinya sangat cantik bernama Surastri. Kejadian itu, terjadi di Bandung. Waktu Mbah dan Mbok (nenek), masih tinggal di sana. Dia dituduh sebagai seorang penghianat, ia digeret, dipukul, dan ditendang padahal kau tau nduk? Padahal Darma adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia hanya bekerja sebagai penjual sayur, dia tidak pernah berkecil hati. Semua orang kala itu berbondong-bondong untuk menjadi pendukungnya DI, karena mereka dijanjikan bebas pajak oleh DI. Tapi, Darma seorang pemuda yang teguh pendirian tidak terpengaruh oleh janji manis DI. Itulah sebabnya dia di fitnah telah menjadi penghianat dengan menentang DI.” Lanjutnya.
Marni terdiam “betapa kejamnya DI?” Batinnya.
“ Lalu Mbah?”
“Kondisi saat itu sedang rancuh, Darma tidak bisa melakukan perlawanan, bahkan istrinya Surastri tak mampu menolongnya. Dia ditendang, dipukul, disiksa dengan berbagai cara hanya untuk memuaskan ego mereka. Darma diminta mengakui kesalahan yang dia rasa tidak pernah dia lakukan. Hingga Darma bilang.“Demi Allah bahkan hingga Akhir khayatku sekalipun aku tak akan pernah mengakui sesuatu hal yang tidak pernah aku lakukakan” ucapnya. Sedangkan Surastri, dia mengamuk dan diludahinya wajah para tentara itu. Si mbah juga tak bisa menolong kala itu nduk, kerono kita iki wong cilik saben obah mesti salah.”
Marni menelan Salivanya, dia memang pernah mendengar sedikit cerita tentang DI tapi dia tak begitu tertarik dengan cerita itu, siapa yang menyangka bahwa si mbahnya ini dulu ternyata juga menjadi salah satu saksi kekejaman DI.
“Lalu bagaimana akhirnya mbah? Apa Darma selamat?”
Mbah Prapto menggeleng “ Darma di tembak dan mati, sedangkan istrinya dia pingsan di hadapan jasad suaminya. Sangat miris nduk walaupun begitu, tentara DI masih sempat berbicara dan mengancam.
“ KALIAN LIHAT! SIAPAPUN YANG BERANI MENGHIANATIKU, AKAN BERAKHIR SEPERTI BAJINGAN INI!” ucap tentara DI dengan lantang.
Beberapa orang merasa takut tapi si mbah ini, tidak takut. Karena mbah tidak mendukung siapa-siapa. Seminggu setelah kejadian itu, mbah ajak mbokmu untuk pindah ke jawa tengah, karena merasa disana sudah tak aman. Seperti yang kau tau, kita hidup berhasil bertahan hidup disini hingga saat ini.” Mbah Prapto tersenyum, matanya terlihat berlinang. Marni tau bahwa kejadian itu telah menyisakan luka dalam hati si mbah atau barangkali sosok Darma yang mampu menyentuh hatinya itu telah menyisakan kesan yang begitu mendalam.
“ Ya begitulah ndok? Sulitnya dimasa itu, tapi apa kau lihat kita menjadi lemah dan mudah menyerah? Apalagi dizaman sekarang ini. Zamanku dan zamanmu sudah berbeda. Penjajah di masaku itu manusia, sedangkan penjajah dimasamu saat ini itu ini.” Sambil menunjuk dadanya “hati kamu sendiri” lanjutnya.
Marni terperangah ia masih belum faham maksud dari perkataan si mbah. Ya, begitulah si mbahnya selalu mengajak kita berfikir, berfikir, dan berfikir setiap kali sedang berdiskusi.
“Mbah, ki hajar Dewantara sudah mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan pendidikan bangsa ini. RA Kartini sudah bersusah payah memperjuangkan hak perempuan dalam memperoleh pendidikan di negara ini, Keumalahayati sudah menjadi bukti bahwa perempuan tidak lemah dengan hanya menunggu suaminya pulang dari peperangan dan si mbah sendiri dulu juga ikut berperang to? Lalu apa lagi yang kita masalahkan? Masih perlu bukti apa untuk menunjukkan kemerdekaan mbah? Kan Soekarno sudah bilang kalau rakyat kita sudah merdeka.”
Mbah Prapto tergelak melihat tingkah cucunya rupanya cucunya ini belum memahami maksud dari ucapannya. Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa sedih melihat kondisi negeri yang tak kunjung membaik. Memang benar secara harfiah negeri ini sudah merdeka tapi secara naluriah ia masih sakit, masih berantakan, belum memiliki titik terang. Penjajah memang sudah pergi tapi ia kembali datang dalam bentuk teknologi. Menggerogoti hati dan jiwa para pemuda Indonesia, sehingga mereka bermental krupuk dan mudah menyerah. Sampai pada hisapan kretek terakhir, Mbah Prapto menaikkan satu kakinya diatas bangku sambil bersandar pada lutut, ia kembali mengambil tembakau dan melintingnya di atas kertas papir.
“ Bener nduk,” lanjutnya. Matanya menerawang jauh, seolah kembali masuk dimasa itu. “ Tapi itu sudah tidak ada gunanya, penjajah itu kembali hadir dalam wujud yang berbeda yaitu teknologi. Saiki aku takok, hp itu buatan siapa? Chino to? Alat-alat teknologi canggih seng mbok gawe saiki gawenane sopo? Chino to, yo ono seng teko Londho. Tapi ndelok nduk opo unggah ungguh e bocah saiki sek podo karo mbiyen? Nggak ono wesan.” Ujarnya
“ Ya, ndak bisa disamakan dengan dulu dong mbah.” Timpal Marni tak mau kalah.
“Nah justru iku masalahe, seharusnya kita sebagai bangsa yang cerdas bisa menggunakan alat itu dengan cerdas pula. Menanamkan dalam hati jiwa yang patriotis, yaitu jiwa yang teguh dan tak mudah terombang ambing oleh budaya lain. Makin canggih to tekhnologi? menurutmu kenapa negeri kita masih di kategorikan sebagai negara berkembang? Ya karena kita tidak bisa memanfaatkan teknologi dengan baik. rata-rata masyarakat kita ini masih termakan oleh gengsi, yang di beli barang import dan barang negeri sendiri dicaci, dicari kekurangannya. Anak muda sekarang coba lihat? Banyak to yang bunuh diri? Karena siapa? Karena hati sendiri. Mereka malas mencari solusi, malas menerima takdir, akhirnya apa? Mencari jalan pintas dengan cara bunuh diri.” Marni melongo
“Benarkah begitu?” fikirnya.
Memang benar akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang bunuh diri, banyak pula yang frustasi menjalani hidup dan berakhir di rumah rehabilitasi. Rupa-rupanya si mbahnya ini sedang meratapi nasibnya sendiri. Perjuangan di medan perang mempertahankan negaranya yang dianggap akan menciptakan perdamaian, justru berakhir sia-sia. Tidak ada yang salah dengan semua ini dan tidak ada yang salah juga dengan tekhnologi. Barang kali si mbah sedikit salah faham tentang kondisi negeri saat ini, walau benar kata si mbah tekhnologi adalah lawan kita hari ini. Jadi, jika kita tidak bisa memanfaatkannya dengan baik, maka kita yang akan hancur olehnya. Benar juga kata si mbah perjuangan belum usai, para pahlwan memang sudah beristirahat tenang di alam sana. Tapi, kita yang memiliki kewajiban untuk melanjutkan perjuangan itu.
“Nggeh mbah.” Jawab Marni dengan senyum yang merekah.
“Malah ngguyu to ki piye?” sungut mbah Prapto.
Marni sudah malas berargumen dia tidak ingin mengomentari apapun. Biar sajalah semua mengalir apa adanya, si mbah memang kelewat cerdas bagaimana bisa ia berfikir sejauh itu.
“Ahahahaha” ia tergelak.
“Ayo mbah kita lihat saja bagaimana kondisi negeri ini kedepannya. Banyak kok mbah anak bangsa yang sudah mengharumkan nama bangsa. Jadi perjuangan pahlawan waktu itu tidak sia-sia. Jika bukan karena kalian, kita tak mungkin to, bisa berjuang dengan santai seperti ini.” Goda Marni pada mbahnya.
“Anak jaman sekarang dikasih tau malah ngasih tau.” Sungut mbah Prapto lalu beranjak masuk rumah.
Marni tergelak melihat tingkah si mbahnya, ia tidak menolak dan mengiyakan argumen mbahnya. Ia juga bersyukur karena jika bukan karena pahlwan yang menjadi lentera kala itu, tak mungkin ada masa seperti sekarang ini, barangkali berjuang sambil bersantai seperti saat ini jauh lebih menyenangkan, dari pada zaman dahulu yang berjuang dengan mengerahkan seluruh tenaga dengan bersimbah darah.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H