Mohon tunggu...
Rosihan AriYuana
Rosihan AriYuana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen sekaligus mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS)

Penulis buku matematika SMA di PT. Tiga Serangkai. Suka berbagi tips dan trik pemrograman lewat tulisan di http://blog.rosihanari.net. Saat ini sedang menempuh studi doktoral (S3) Ilmu Pendidikan di UNS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menilik Strategi Pendidikan Singapura: Faktor-faktor Kunci Penentu Kesuksesan

4 Januari 2024   21:58 Diperbarui: 5 Januari 2024   17:52 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Melihat hal itu, pemerintah Singapura mendorong dan memfasilitasi sekolah dalam penggunaan teknologi, termasuk di dalamnya teknologi Artificial Intelligence (AI) [4]. Sebagai wujud nyata dan komitmen terhadap penerapan teknologi dalam pendidikan, Pemerintah Singapura telah mengalokasikan 12.4% anggarannya untuk hal ini atau secara umum untuk bidang pendidikan [5].

Melalui komunitas seperti PLC yang ada di sekolah, para guru junior juga akan mendapatkan ilmu dan pengalaman dari guru senior terkait dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran.

Kunjungan Pemerintah ke Sekolah

Setiap tahunnya, pihak Kementerian Pendidikan Singapura melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah, paling tidak sebanyak 12 kali. Hal ini bertujuan untuk mendengar masukan dan melihat masalah yang ada sekolah, bahkan langsung bertemu dengan guru. Apa yang dilihat dan didengar oleh pemerintah melalui kementerian pendidikan secara langsung dari sekolah ini akan menjadi input untuk merumuskan kebijakan strategi yang akan ditempuh berikutnya.

Faktor Pendukung Kesuksesan

Kemajuan sistem pendidikan Singapura tidak hanya didasarkan pada strategi jitu yang dipilih pemerintahnya, namun juga adanya faktor pendukung lainnya. Faktor pendukung ini dapat berasal dari lingkungan sekolah, masyarakat, dan juga keluarga.

Sistem Pembelajaran

Sistem pembelajaran di Singapura mengedepankan pada kemampuan berpikir kritis dan kreativitas siswa. Untuk mengasah kemampuan kritis siswa, guru banyak memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik yang bersifat Socratic Question. Socratic Question adalah metode pengajaran yang berfokus pada penggalian jawaban dari siswa, dengan cara memberikan pertanyaan sebagaimana yang dilakukan filsuf Sokrates ketika berdialog dengan Plato (muridnya). Seorang guru haruslah memposisikan dirinya seperti orang bodoh dan sedang mencari jawaban, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswanya dan memancing mereka mencapai tingkat pemahaman tertinggi. Dengan metode ini seorang siswa dapat mengenali kontradiksi-kontradiksi, melakukan telaah kritis, dan merekonstruksi ulang gagasan-gagasan mereka sendiri sehingga lebih sempurna [6]. Metode ini sering diterapkan guru di Singapura di setiap sesi pembelajarannya (lihat contoh penerapannya).

Tidak hanya menerapkan Socratic questioning, guru di Singapura juga menerapkan model hands on learning. Implementasi dari model ini adalah dalam bentuk diskusi kelompok kecil, melakukan serangkaian eksperimen, menulis laporan dan refleksi pasca eksperimen/kegiatan. Hands on learning merupakan model pembelajaran yang menerapkan prinsip learning by doing atau eksperiensial [7]. Manfaat dari model ini adalah lamanya retensi atas pengetahuan siswa. Tidak hanya itu, hands on learning juga cocok diterapkan pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem-based learning dan project-based learning. Melalui pengalaman-pengalaman yang dilakukan siswa dalam kegiatan hands on learning ini, akhirnya dapat mengkonstruksi pengetahuan yang nantinya akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Dengan demikian penerapan model hands on learning ini juga dapat mendukung teori konstruktivisme dalam pembelajaran.

Selain penerapan Socratic questioning dan hands on learning, sekolah di Singapura juga menerapkan pembelajaran terdiferensiasi. Hal ini berangkat dari fakta bahwa keadaan dan kemampuan tiap siswa dalam sebuah kelas tidaklah sama. Untuk mengakomodasi pembelajaran yang bisa diterima oleh semua siswa diperlukan pendekatan pembelajaran terdiferensiasi. 

Di dalam pendekatan pembelajaran, perbedaan individual siswa sangat diakui dan dihormati. Oleh karena itu pembelajaran terdiferensiasi merupakan perwujudan dari teori pendidikan humanisme, di mana pendidikan mengemban konsep untuk memanusiakan manusia sehingga siswa mampu memahami dirinya dan lingkungannya [8]. Melalui pendekatan pembelajaran terdiferensiasi diharapkan siswa dengan keadaan dan kondisi apapun dapat merasa nyaman dalam belajar. Dengan prinsip 'mendorong yang lemah dan tidak membatasi mereka yang berkemampuan tinggi', suasana pembelajaran di kelas yang ada di Singapura terasa menyenangkan. Di Singapura, siswa yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam belajar akan diberikan dukungan yang lebih. Sedangkan siswa yang berkemampuan tinggi, diberikan fasilitas untuk bisa mengembangkan kemampuannya.

Faktor pendukung keberhasilan pendidikan Singapura lainnya adalah adanya integrasi kurikulum sekolah dengan dunia industri. Proses pembelajaran di Singapura tidak hanya dilakukan di sekolah, namun juga dilakukan dengan terjun langsung di industri. Melalui program ini, siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari sekolah, akan tetapi juga mendapatkan pengalaman langsung di lapangan dengan dibimbing oleh para ahli di bidangnya pada industri. Selain itu manfaat lain program ini adalah siswa akan mendapatkan softskill berupa kedisiplinan, kemampuan komunikasi dan berinteraksi dalam lingkungan kerja, serta kolaborasi tim dalam pekerjaan.

Pembelajaran di kelas belumlah cukup untuk memberikan pendidikan kepada siswa. Perlu didukung dengan kegiatan luar kelas untuk membentuk karakter dan mengembangkan minat bakat siswa. Dalam rangka hal tersebut, beberapa sekolah di Singapura juga menyelenggarakan kegiatan ko-kurikuler. Contoh kegiatan ko-kurikuler yang dilakukan di Singapura adalah berkebun, dan musik.

Budaya dan Prinsip Masyarakat

Budaya dan prinsip yang melekat di masyarakat pada suatu negara juga akan menjadi faktor penentu keberhasilan dan kemajuan negara tersebut. Di Singapura, budaya membaca dan literasi di masyarakat termasuk nomor dua tertinggi di Asia Tenggara [9]. Hal ini tidak mengherankan karena adanya penanaman kebiasaan membaca anak di sekolah. Penerapan penanaman kebiasaan ini dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran kelas dimulai. Siswa diberikan kesempatan untuk membaca surat kabar dalam rentang waktu tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun