Kisah matinya Durna dalam perang Bharatayuddha menurut saya menarik. Karena saya melihat ada beberapa kemiripan kejadian di Tanah Air belakangan ini.
Dalam lakon wayang purwa, Durna dikisahkan sebagai resi, putra dari Bharadwaja. Lahir dari keluarga brahmana, Durna memiliki kesaktian mandraguna. Namun dibalik jubahnya yang tampak alim, dia adalah tokoh antagonis berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis dan kejam penuh muslihat.
Tingkah lakunya senantiasa menebar angkara murka kepada siapa pun, terutama Pandawa. Kemampuan orasinya luar biasa. Rencana sejahat apa pun mampu dibungkus dengan kalimat bijak, indah dan pragmatis. Namun di dalamnya terselip tipu daya yang dahsyat.
Prahara demi prahara menimpa Pandawa bersumber dari adu domba hasutannya. Berkali hendak celakakan Pandawa berdalih mewariskan ilmu. Namun ketulusan hati Pandawa dan kearifan para dewa, menyelamatkan mereka dari musibah.
Sementara Prabu Kresna adalah raja titisan Dewa Wisnu sekaligus menjadi penasihat Pandawa. Menjadi manusia setengah dewa, membuat dirinya memiliki kesaktian dan pengetahuan luas. Sanggup menerawang masa depan dan membaca pikiran musuh-musuhnya.
Sikapnya senantiasa bijak dan menjunjung kedamaian sesama. Berpikir jernih dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Saat perang Bharatayuddha berkecamuk, perang saudara antara Kurawa dan Pandawa, Durna berdiri di belakang Kurawa. Sementara Kresna berdiri di belakang Pandawa.
---
Memasuki hari tiga belas perang Bharatayuddha, Raja Duryudana menunjuk Penembahan Durna menjadi senapati perang. Hal itu dia lakukan setelah kekalahan demi kekalahan dialami. Seiring itu sudah banyak senapati mereka mati di laga perang. Termasuk Bisma, kakek dari Kurawa dan juga Pandawa, mati diterjang puluhan panah Arjuna.
Ditunjuknya Durna sebagai Senapati Agung Kurawa, membuat beban pikiran bagi Kresna. Bagaimana pun menghadapi Durna bukan perkara sepele. Kesaktian dan kemahirannya dalam strategi perang bukan kaleng-kaleng. Selain sakti, dia juga punya pusaka ampuh, Cundamanik.
Siapa Durna dan bagaimana sepak terjangnya semenjak muda, menjadikan tokoh satu ini patut diperhitungkan secara matang oleh Kresna. Dan sebagai penasihat Pandawa, tidak mungkin dirinya membiarkan kstaria pandawa jadi korban keganasan Durna di medan laga.
Di tengah kemelut hati dan kebingungan pikiran, datanglah Drupada dari kerajaan Panchala. Terbawa hawa permusuhan dan dendam saat muda, Drupada menawarkan diri kepada Kresna untuk menghadapi Durna. Kesempatan itu tentu tidak dia sia-siakan. Meski sebenarnya Kresna tahu kesaktian Drupada masih di bawah Durna.
Dengan sedikit wejangan membesarkan jiwa, Kresna persilahkan Drupada maju ke medan laga melawan Durna. Ini dia lakukan untuk mengulur waktu sambil mencari strategi kalahkan senapati Kurawa tersebut.
Alhasil, sesuai prediksi Kresna, Drupada mati di tangan Durna. Â Matinya Drupada membawa kesumat bagi anaknya bernama Drestadyumena untuk membunuh Durna kelak. Dendam turun menurun.
---
Kresna berpikir keras untuk menemukan celah kelemahan Durna. Dia kemudian ingat ucapan Durna sebelum perang. Dia berkata, "hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya".
Lantas, apa yang dimaksud 'kabar bencana' dan siapa pula yang dimaksud 'seseorang yang kuakui kejujurannya' oleh Durna. Dua teka-teki yang mesti dipecahkan dalam waktu singkat dan suasana genting di tengah kemelut perang.
Namun berkat kecerdasan yang dimiliki, Kresna mampu mengurai teka-teki itu menjadi sebuah strategi. Meski sebenarnya kubu Pandawa tidak yakin strategi yang digagas Kresna akan berhasil. Namun sekali lagi Kresna meyakinkan dan meneguhkan mental barisan pasukan Pandawa.
Dengan segera Kresna memerintahkan Bima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama. Nama yang sama dengan putra Panembahan Durna. Sejalan dengan matinya gajah Aswatama, Kresna meminta barisan pasukan Pandawa meneriakkan "Aswatama mati...". Itu disorakkan berulang-ulang sampai akhirnya ke telinga Durna.
Betapa kagetnya Durna mendengar nama anaknya disebut bersorak dan berulang oleh pasukan Pandawa, "Aswatama mati...". Â Dia langsung berhenti memimpin peperangan dan berjalan mencari kebenaran informasi tersebut ke sejumlah orang yang ditemui.
Sampai akhirnya Durna bertemu Puntadewa, raja Amarta sekaligus kakak tertua Pandawa. Dia meminta kepastian dari Puntadewa yang terkenal akan kejujurannya. Dalam kisahnya, Puntadewa mengiyakan dan berkata "Aswatama mati...". Durna pun langsung lemas tak bertenaga, tanpa sempat minta klarifikasi kejelasan siapa sebenarnya yang dimaksud Aswatama.
Terungkap sudah ternyata yang dimaksud  Durna dengan 'kabar bencana' adalah kabar kematian anak kesayangannya. Dan yang dimaksud 'seseorang yang kuakui kejujurannya' adalah Puntadewa.
Karena lemas, pusaka pun jatuh dari tangan Durna. Kondisi itu dimanfaatkan oleh Drestadyumena, mencabut pedang dan memenggal kepala Durna. Durna seketika mati. Dan dikisahkan sesuai kutukan Kresna pada kisah lain, kepalanya itu ditendang ke sana kemari oleh barisan pasukan Pandawa layaknya sepak bola.
---
Strategi hoaks yang dibangun Kresna sangat ampuh. Informasi yang sengaja dipotong dan memberikan kesan kuat tampak benar tapi palsu.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran kepada kita. Pertama, bahwa hoaks dapat menghancurkan pikiran siapa pun. Hoaks dapat tidak mengenal ras, jenis kelamin, atau tingkat pendidikan. Siapa pun dapat terpapar. Menerima informasi tanpa klarifikasi secara utuh bisa berakibat fatal. Terbukti betapa tinggi ilmu Durna ternyata tidak mampu berpikir jernih tatkala terpapar hoaks yang dilancarkan Kresna.
Kedua, hoaks sengaja didengungkan oleh pihak tertentu agar didengar pihak lawan. Tujuannya jelas, untuk mengusik ketenangan dan mendapat respons dan kemudian jadi instrumen menyerang balik. Ini yang dilakukan barisan pasukan Pandawa bersorak "Aswatama mati...".
Ketiga, dalam berbagai persaingan, secuil informasi sekalipun bisa menjadi berharga dan ketika diolah secara cermat bisa menjadi strategi jitu mengalahkan musuh. Itu yang dilakukan Kresna saat mengolah perkataan Durna dan kemudian menterjemahkan dalam sebuah strategi.
Keempat, kesumat dan dendam selalu menelan korban. Juga dapat dimanfaatkan pihak lain untuk menghancurkan musuh-musuh mereka. Ibarat pepatah 'nabok nyilih tangan'. Seperti halnya Durna yang mati bukan oleh tangan pihak Pandawa.
Kelima, sudah menjadi cerita bahwa kebenaran memang akan menang di atas kemungkaran, dan muncul pahlawan.
TAMAT, ayo cintai wayang sebagai warisan budaya bangsa Indonesia dan ambil hikmah pelajaran di dalamnya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H