Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sertifikat Perkawinan dan Belajar Menjadi Orangtua

21 November 2019   17:08 Diperbarui: 23 November 2019   11:47 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga bahagia | sumber: freepik.com

Isu diberlakukannya sertifikat perkawinan yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dinilai menuai keresahan di sejumlah kalangan. Pro dan kontra kemudian berunculan dari sejumlah pihak.

Fokus Pemerintahan Jokowi membangun manusia, disikapi mengeluarkan kebijakan sertifikat perkawinan. Mungkin maksudnya baik. Keluarga adalah pilar membangun negara. Kuatnya keluarga, menjadi jaminan kuatnya sumberdaya manusia.

Untuk menjadikan keluarga kuat, maka suami istri pun harus paham membangun keluarga. Untuk paham tentang keluarga, maka perlu pelatihan dan berujung diterbitkan sertifikat, sebagai tanda mereka menguasai kurikulum yang diajarkan.

Dalam kebijakan tersebut, sertifikat diwacanakan sebagai syarat untuk menikah. Lebih dalam lagi, ternyata kurikulum pelatihan selama tiga bulan itu lebih banyak tentang kesehatan. Seputar reproduksi, menyiapkan gizi perkembangan anak dan stunting.

Pertanyaan, apakah pengetahuan pengantin tentang kesehatan sudah cukup menjadi pilar kokohnya keluarga. Sampai akhirnya akan diputuskan menjadi syarat perkawinan. Atau lebih luas lagi, apakah sertifikat perkawinan jadi jaminan langgengnya rumah tangga dan hasilkan manusia unggul?

Menurut saya, kebijakan prematur ini harus digodok matang.
Bahkan Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid merasa dirinya belum Dia lojak bicara akan kebijakan itu. Meski sebenarnya selama ini di Kantor Urusan Agama, setiap pasangan calon pengantin diminta mengikuti bimbingan perkawinan (bimwin).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku setuju atas rencana tersebut. Hal itu karena melihat tingginya angka perceraian akibat minimnya bekal berkeluarga. Dari sejumlah sumber menyebutkan, peristiwa perkawinan selama setahun mencapai 2 juta, dan 365.000 pasangan kemudian bercerai.

Namun demikian, MUI meminta agar sertifikasi ini jangan sampai menunda atau menghambat pernikahan yang telah direncanakan.

Selanjutnya MUI juga memberikan rambu-rambu kurikulum, pengetahuan yang dibutuhkan membangun rumah tangga. Pengetahuan dimaksud antara lain membangun hubungan suami istri, mendidik anak, dan tata keluarga menurut agama dan pemerintah.

Sementara Komisi VIII DPR RI mengingatkan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh jadi beban calon pengantin. Termasuk dalam segi waktu pelatihan dan pembiayaan. Jangan hanya karena belum dapat sertifikat, akhirnya pernikahan batal. 

Tantangan Pelaksanaan Kebijakan
Sampai saat ini, dalam tubuh pemerintah belum ada kata sepakat tentang rumusan sertifikat perkawinan. Kemenko PMK, Kemenag, dan Kemenkes, masih kekeh dengan programnya masing-masing. Hanya saling beririsan.

Kemenkes masuk melalui mewajibkan pengantin perempuan suntik Tetanus Toksoid (TT), setidaknya dua minggu sebelum pernikahan. Untuk diteruskan hingga lima kali dengan jadwal ketat.

Sementara Kemenag melalui program bimwin. Targetnya diberikan dua hari. Namun program ini tidak mampu menjangkau semua calon pengantin karena keterbatasan infrastruktur.

Jumlah fasilitator bimwin baru tercatat 1.928 dengan jangkauan di angka ratusan pasangan dalam setahun. Tidak lebih dari sepuluh persen.

Akibatnya, banyak pasangan tidak sempat mengecap bimwin. Mereka hanya dapatkan nasihat perkawinan sesaat jelang ijab qabul. Selain minim, tentunya pengantin tidak lagi fokus cerna materi yang disampaikan penghulu.

Membangun manusia, pada dasarnya memang dimulai dari komunitas terkecil, yakni keluarga. Dan suami istri menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan keluarga, serta perkembangan anak-anaknya. 

Tapi ketika dihadapkan pada sertifikat, yang dimulai dengan serangkaian pelatihan selama tiga bulan, ini tentu menjadi persoalan sendiri bagi calon pengantin. Bahkan dinilai membebani mereka. 

Persoalan pelaksanaan kebijakan kemudian menjadi tidak sederhana. Serangkut pertanyaan menghadang di depan mata.

Pertama, sasaran. Jika sertifikat perkawinan menjadi kewajiban dan syarat, artinya harus menjangkau seluruh elemen masyarakat. Mampukah pemerintah sediakan infrastruktur dalam waktu singkat. 

Angka dua juta pasang pengantin dalam setahun, bukan angka kecil. Bagaimana kebijakan ini bisa menjangkau masyarakat akar rumput, yang notabene jauh dari tangan pemerintah. Mereka yang hidup di desa-desa terpencil, atau mereka yang jauh dari akses pendidikan.

Kedua, bentuk pelatihan. Sertifikat perkawinan dihasilkan dari sebuah pelatihan intensif. Bentuknya seperti sekolah, atau pelatihan kerja, atau cukup seminar lomba pidato. Apakah didalamnya ada model simulasi.

Siapa yang bertanggungjawab selenggarakan pelatihan dan keluarkan sertifikat. Kemenko menunjuk Kemenag, Kemenkes, atau instansi lain yang dianggap kompeten.

Ketiga, tempat. Bagaimana Pemerintah sediakan kantong-kantong kelas pertemuan pengantin dan fasilitator seantero negeri.

Keempat, waktu. Tiga bulan bukanlah waktu singkat. Tidak mudah bagi pengantin menyisihkan waktu diantara kesibukan persiapan pernikahan. Bahkan di luar persiapan itu, mereka sudah punya rutinitas, seperti kerja atau kesibukan lainnya. 

Kelima, Kurikulum. Bimwin yang diselenggarakan Kemenag selama ini banyak berkecimpung memberikan bekal secara mental dan psikologi kepada calon pengantin. 

Wacana yang digulirkan tertangkap seolah kurikulum sertifikat perkawinan sebuah model pembelajar model baru. Tidak sama dengan bimwin.

Keenam, biaya. Selama ini nikah di luar KUA, setiap pasang pengganti dipatok biaya 600.000 rupiah. Biaya itu ditransfer langsung ke kas negara menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Konon pelatihan ini akan digratiskan. Artinya menjadi beban anggaran pemerintah. Berapa biaya yang mesti digelontorkan lagi.

Saat ini saja pemerintah ngos-ngosan membayar tambahan honor penyuluh agama. Belum lagi, menutup operasional Kantor Urusan Agama beserta perangkatnya. 

Ketujuh, sertifikat. Apa kriteria diterbitkan sertifikat dan bagaimana jika tidak lulus pelatihan. Apakah mereka harus dinyatakan lulus, dapatkan sertifikat dan kemudian dibolehkan menikah?

Menjadi Orangtua
Cobalah sesekali lakukan survei kecil-kecilan. Apa motivasi calon pengantin saat daftarkan dirinya ke KUA. Kemudian hasilnya disandingkan dengan beberapa fenomena di lapangan. Setelah itu barulah diambil kebijakan berdampak untuk menjadikan kuatnya manusia Indonesia. 

Segudang persoalan muncul dari keluarga. Perceraian, perselingkuhan, narkoba, kenakalan remaja, anak gizi buruk, kesehatan ibu hamil, kekerasan dalam rumah tangga, dan masih banyak lagi.

Memang, untuk menjadi orangtua tidak ada sekolahnya. Akhirnya pasangan pengantin "dipaksa" menjadi orangtua. Mereka menjadi orangtua sambil jalan, sebagian lagi mendapatkan pengalaman orang lain atau pitutur orang tua.

Setiap orang tua pasti dambakan anak sehat, cerdas, dan religius. Meskipun tidak mudah untuk mencapai ke tujuan itu. Tapi mereka akan berupaya banting tulang, punya keturunan baik.

Apa sebenarnya bekal yang diperlukan calon pengantin dalam membangun rumah tangga. Upaya apa yang mesti dilakukan untuk hasilkan keturunan unggul?

Pengetahuan kesehatan, psikologi, mendidik anak memang penting, tapi tidaklah harus melalui serangkaian pelatihan dengan padat kurikulum selama tiga bulan. Untuk menjadi orangtua, tidak cukup dengan pelatihan.

Pemerintah mestinya peka akan makin ragamnya persoalan muncul bersumber dari keluarga. Jadilah pemerintah pembelajar sekaligus menyediakan infrastruktur mendukung terciptanya ekosistem keluarga sakinah.

Lebih dari itu, pemerintah mendorong orangtua pembelajar. Akses sumberdaya yang dihadirkan pemerintah untuk sikapi setiap  perkembangan masalah yang muncul dalam keluarganya. 

Pak menteri, cobalah tanyakan kembali kepada Deputi Anda yang memberikan bisikan itu. Apakah dia punya konsep utuh terkait sertifikasi perkawinan. Atau setidaknya tanyakan dulu kepada menteri yang tangani persoalan nikah.

Dikutip dari kompas.com, kebijakan tersebut kemudian melunak. Sang Deputi Bidang Pendidikan dan Keagamaan, Agus Sartono mengatakan bahwa sertifikat tidak menjadi syarat perkawinan. Lebih penting memahami substansinya. Mereka yang tidak ikut bimbingan bukan berarti tidak boleh menikah.

Piye pak. Kalo sudah seperti ini gimana? Mau tarik kebijakan atau mau terus maju sambil tutup mata dan telinga. Monggo pak menteri bisa jelaskan ke publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun