Ketiga, tempat. Bagaimana Pemerintah sediakan kantong-kantong kelas pertemuan pengantin dan fasilitator seantero negeri.
Keempat, waktu. Tiga bulan bukanlah waktu singkat. Tidak mudah bagi pengantin menyisihkan waktu diantara kesibukan persiapan pernikahan. Bahkan di luar persiapan itu, mereka sudah punya rutinitas, seperti kerja atau kesibukan lainnya.Â
Kelima, Kurikulum. Bimwin yang diselenggarakan Kemenag selama ini banyak berkecimpung memberikan bekal secara mental dan psikologi kepada calon pengantin.Â
Wacana yang digulirkan tertangkap seolah kurikulum sertifikat perkawinan sebuah model pembelajar model baru. Tidak sama dengan bimwin.
Keenam, biaya. Selama ini nikah di luar KUA, setiap pasang pengganti dipatok biaya 600.000 rupiah. Biaya itu ditransfer langsung ke kas negara menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Konon pelatihan ini akan digratiskan. Artinya menjadi beban anggaran pemerintah. Berapa biaya yang mesti digelontorkan lagi.
Saat ini saja pemerintah ngos-ngosan membayar tambahan honor penyuluh agama. Belum lagi, menutup operasional Kantor Urusan Agama beserta perangkatnya.Â
Ketujuh, sertifikat. Apa kriteria diterbitkan sertifikat dan bagaimana jika tidak lulus pelatihan. Apakah mereka harus dinyatakan lulus, dapatkan sertifikat dan kemudian dibolehkan menikah?
Menjadi Orangtua
Cobalah sesekali lakukan survei kecil-kecilan. Apa motivasi calon pengantin saat daftarkan dirinya ke KUA. Kemudian hasilnya disandingkan dengan beberapa fenomena di lapangan. Setelah itu barulah diambil kebijakan berdampak untuk menjadikan kuatnya manusia Indonesia.Â
Segudang persoalan muncul dari keluarga. Perceraian, perselingkuhan, narkoba, kenakalan remaja, anak gizi buruk, kesehatan ibu hamil, kekerasan dalam rumah tangga, dan masih banyak lagi.
Memang, untuk menjadi orangtua tidak ada sekolahnya. Akhirnya pasangan pengantin "dipaksa" menjadi orangtua. Mereka menjadi orangtua sambil jalan, sebagian lagi mendapatkan pengalaman orang lain atau pitutur orang tua.