Kemenkes masuk melalui mewajibkan pengantin perempuan suntik Tetanus Toksoid (TT), setidaknya dua minggu sebelum pernikahan. Untuk diteruskan hingga lima kali dengan jadwal ketat.
Sementara Kemenag melalui program bimwin. Targetnya diberikan dua hari. Namun program ini tidak mampu menjangkau semua calon pengantin karena keterbatasan infrastruktur.
Jumlah fasilitator bimwin baru tercatat 1.928 dengan jangkauan di angka ratusan pasangan dalam setahun. Tidak lebih dari sepuluh persen.
Akibatnya, banyak pasangan tidak sempat mengecap bimwin. Mereka hanya dapatkan nasihat perkawinan sesaat jelang ijab qabul. Selain minim, tentunya pengantin tidak lagi fokus cerna materi yang disampaikan penghulu.
Membangun manusia, pada dasarnya memang dimulai dari komunitas terkecil, yakni keluarga. Dan suami istri menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan keluarga, serta perkembangan anak-anaknya.Â
Tapi ketika dihadapkan pada sertifikat, yang dimulai dengan serangkaian pelatihan selama tiga bulan, ini tentu menjadi persoalan sendiri bagi calon pengantin. Bahkan dinilai membebani mereka.Â
Persoalan pelaksanaan kebijakan kemudian menjadi tidak sederhana. Serangkut pertanyaan menghadang di depan mata.
Pertama, sasaran. Jika sertifikat perkawinan menjadi kewajiban dan syarat, artinya harus menjangkau seluruh elemen masyarakat. Mampukah pemerintah sediakan infrastruktur dalam waktu singkat.Â
Angka dua juta pasang pengantin dalam setahun, bukan angka kecil. Bagaimana kebijakan ini bisa menjangkau masyarakat akar rumput, yang notabene jauh dari tangan pemerintah. Mereka yang hidup di desa-desa terpencil, atau mereka yang jauh dari akses pendidikan.
Kedua, bentuk pelatihan. Sertifikat perkawinan dihasilkan dari sebuah pelatihan intensif. Bentuknya seperti sekolah, atau pelatihan kerja, atau cukup seminar lomba pidato. Apakah didalamnya ada model simulasi.
Siapa yang bertanggungjawab selenggarakan pelatihan dan keluarkan sertifikat. Kemenko menunjuk Kemenag, Kemenkes, atau instansi lain yang dianggap kompeten.