BPS, sebagai lembaga negara terbebas dari kepentingan politik, tentu memiliki sejumlah asumsi dan parameter ketika menjaring data ini. Asumsi ini pastinya sudah melalui berbagai seminar dan bahkan mungkin standar international. Sejumlah parameter ditetapkan sehingga seorang penduduk masuk kategori miskin atau tidak. Meski perdebatan batasan miskin tidak akan pernah selesai.Â
Definisi miskin, antar ornag bisa berbeda. Antar kelompok bisa berbeda, antar bangsa bisa berbeda. Begitu pula parameter yang digunakan. Terlebih jika ada kepentingan didalamnya, tentu semua menjadi bias. Kasus pendataan penduduk miskin untuk penyaluran bantuan tentu hasilnya jauh berbeda jika untuk penilaian kesejahteraan suatu kawasan.
Ketika semua orang melihat dengan kacamata sama, maka tidak ada perdebatan. Namun persoalan muncul tatkala pihak saling klaim data paling akurat dengan memandang dari kacamata berbeda. Sejak menerapkan asumsi, metode penjaringan data, sampai pada pengolahan dan pada akhirnya interpretasi masing-masing kepentingan.Â
Lalu apa jadinya bila data salah, interpretasi salah, kebijakan salah. Akibatnya jelas sudah. Mirip lirik lagu "Dingin" Hetty Koes Endang, janji tinggal janji. Janji manis capres jadi bangkai busuk, bahan bully kaum oposisi. Implementasi kebijakan berdasar data asal-asalan, niscaya jadi bumerang, berdampak destruktif.
Kita berharap tidak ada pasangan capres gunakan asumsi data tanpa dasar. Penggunaan sepotong data dalam sampel kecil tidak mungkin dipakai untuk ekstrapolasi suatu kondisi secara umum. Terlebih dalam kondisi heterogen. Data hasil studi kasus kemudian diasumsikan menjadi masalah nasional. Ini jelas tidak pada kapasitanya.
Nah bagaimana respon kita sebagai penonton. Kembali pada kapasitas dan kacamata masing-masing. Semoga kita tetap menjadi penonton yang waras dan cerdas.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H