Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Nonton Debat Capres, Hati-hati Terjebak Interpretasi Data

17 Januari 2019   17:42 Diperbarui: 17 Januari 2019   17:55 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada debat capres malam nanti, hampir bisa dipastikan setiap pasangan sudah mengantongi data dari tema yang akan dibahas. Itu sah-sah saja. Tentu sebagai capres sudah sepatutnya menguasai masalah lewat data. Meski bisa terjadi pada parameter sama, data antar capres berbeda.

Selain bawa data dengan klaim "paling akurat", capres juga akan memberikan interpretasi, mengulasnya dan dikaitkan dengan kebijakan. Ujungnya menjadi modal dan janji kampanye. Dan kita sebagai penonton, dihadapkan pada perspektif capres dalam rencana sekaligus wacana menjalankan programnya.

Data yang dibawa pun pastinya bukan sembarang data, terlebih disampaikan pasangan capres. Mereka tentu telah menyiapkan data dalam segala aspek mendukung visi dan misi yang dibawa setiap pasangan. Komprehensif dan mendalam guna meyakinkan calon pemilih.

Namun dalam banyak hal, siapapun bisa membuat interpretasi atas data yang dibawa. Ya siapapun. Tapi apakah interpretasi sudah bisa dikatakan benar? Nanti dulu. Sekali lagi kita sebagai penonton, meski tetap berpikir waras dan jernih. Tidak terbuai dan terbawa larut atas interpretasi yang kadang dibuat untuk menyerang pasangan.

Dari sekian ribu tumpukan data, biasanya hanya mengambil yang "relevan" atau "berseberangan" dengan topik bahasan. Relevan dalam konteks mendukung, dan berseberangan dalam konteks menyerang lawan. Semua bisa digunakan pada saatnya. 

Dalam dunia data, kita mengenal banyak hal. Ada istilah data, sampel, populasi, statistik, parameter,  asumsi, hipotesis, informasi dan interpretasi. Masing-masing punya fungsi sesuai kondisi dan situasi saat digunakan. Ada garis jelas pembeda diantara mereka.

Lalu akankah capres kita nanti bisa mengurai sekaligus berikan pencerahan ke publik? Atau justru terjebak sendiri dalam lingkaran sesat pemahaman hanya karena terpancing lawan.

Data, merupakan potret suatu kondisi yang menggambarkan entitas pada parameter tertentu. Pengambilan data biasanya dilandasi sejumlah asumsi guna mendapatkan gambaran secara utuh dari sebuah entitas.

Asumsi, sebagai landasan sering menjadi perdebatan panjang dan tak bekesudahan. Setiap orang bisa memiliki angle berbeda untuk melihat sebuah ebtitas. Semua sah saja sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar koridor yang telah disepakati sebelumnya.

Penulis akan mengambil contoh data kemiskinan sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2018 lalu. Data ini sering menjadi kendaraan dan janji politik bagi setiap pasangan. Bukan saja capres, pasangan bupati dan gubernur pun tak luput dari instrumen satu ini guna memikat kaum papa.

Profil Kemiskinan di Indonesia | sumber: bps.go.id
Profil Kemiskinan di Indonesia | sumber: bps.go.id
Sejak 2006 hingga kini, jumlah dan presentasi penduduk miskin cenderung turun. Tahun 2016, dikatakan ada 39,30 juta penduduk dalam kategori miskin. Angka ini terus menurun hingga 2018 lalu berjumlah 25.95 juta. Dari segi presentasi juga demikian. Meskipun jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat namun presentasi justru menurun. Tahun 2006 ada 17.75% penduduk masuk dalam kategori miskin, terus menurun menjadi 9.82% pada 2018.

BPS, sebagai lembaga negara terbebas dari kepentingan politik, tentu memiliki sejumlah asumsi dan parameter ketika menjaring data ini. Asumsi ini pastinya sudah melalui berbagai seminar dan bahkan mungkin standar international. Sejumlah parameter ditetapkan sehingga seorang penduduk masuk kategori miskin atau tidak. Meski perdebatan batasan miskin tidak akan pernah selesai. 

Definisi miskin, antar ornag bisa berbeda. Antar kelompok bisa berbeda, antar bangsa bisa berbeda. Begitu pula parameter yang digunakan. Terlebih jika ada kepentingan didalamnya, tentu semua menjadi bias. Kasus pendataan penduduk miskin untuk penyaluran bantuan tentu hasilnya jauh berbeda jika untuk penilaian kesejahteraan suatu kawasan.

Ketika semua orang melihat dengan kacamata sama, maka tidak ada perdebatan. Namun persoalan muncul tatkala pihak saling klaim data paling akurat dengan memandang dari kacamata berbeda. Sejak menerapkan asumsi, metode penjaringan data, sampai pada pengolahan dan pada akhirnya interpretasi masing-masing kepentingan. 

Lalu apa jadinya bila data salah, interpretasi salah, kebijakan salah. Akibatnya jelas sudah. Mirip lirik lagu "Dingin" Hetty Koes Endang, janji tinggal janji. Janji manis capres jadi bangkai busuk, bahan bully kaum oposisi. Implementasi kebijakan berdasar data asal-asalan, niscaya jadi bumerang, berdampak destruktif.

Kita berharap tidak ada pasangan capres gunakan asumsi data tanpa dasar. Penggunaan sepotong data dalam sampel kecil tidak mungkin dipakai untuk ekstrapolasi suatu kondisi secara umum. Terlebih dalam kondisi heterogen. Data hasil studi kasus kemudian diasumsikan menjadi masalah nasional. Ini jelas tidak pada kapasitanya.

Nah bagaimana respon kita sebagai penonton. Kembali pada kapasitas dan kacamata masing-masing. Semoga kita tetap menjadi penonton yang waras dan cerdas.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun