"warga negara Indonesia bila hendak daftar haji, dia harus merogoh kocek cukup dalam. Setidaknya 25 juta rupiah disetor ke rekening Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melalui Bank Penerima Setoran (BPS) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Tidak cukup sampai di situ, dia pun harus menunggu antrean bertahun lamanya".
Istilah setoran awal dalam sistem pendaftaran ibadah haji, pertama kali muncul tahun 2004. Sebelumnya, bisa dibilang "daftar langsung berangkat". Pendaftaran dibuka jelang musim haji, sekitar empat bulan. Kuota dan besaran Ongkos Naik Haji(ONH) - istilah saat itu telah ditetapkan sebelumnya. Orang dengan sejumlah uang, bisa langsung mendaftar dan berangkat tahun itu juga.
Namun dalam evaluasi berikutnya, sistem "daftar langsung berangkat" ini dinilai kurang adil. Karena hanya dinikmati orang-orang dengan cukup kemampuan finansial. Mereka sudah memiliki bekal biaya berhaji seketika saat pendaftaran dibuka.
Ditambah kisruh jelang penyelenggaraan haji 2003. Saat itu Departemen Agama (Kementerian Agama - kini) sangat "pede"membuka pendaftaran melebihi kuota yang ada. Hal itu disebabkan kemungkinan akan memperoleh tambahan kuota dari Pemerintah Saudi Arabia.
Namun kenyataan berkata lain. Pendaftar membludak, sementara permohonan permintaan tambahan kuota tidak terpenuhi. Akibatnya sekitar 30 ribu jemaah pendaftar haji tertunda berangkat.
Dari pengalaman itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan besar dalam sistem penyelenggaraan ibadah haji. Kebijakan utamanya membuka pendaftaran haji sepanjang tahun. Pendaftar diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai setoran awal, dan jemaah masuk dalam sistem antrean. Kebijakan besar tersebut dilakukan atas beberapa pertimbangan.
Pertama, animo masyarakat untuk berhaji semakin tinggi. Kasus 2003 memberi isyarat, jumlah pendaftar pada tahun berjalan cenderung melebihi kuota. Setiap warga negara yang hendak melaksanakan ibadahnya harus dilindungi. Mereka harus memperoleh perlakuan sama, dapat mendaftar haji sebagaimana warga negara lainnya.
Kedua, tidak semua jemaah, memiliki kesiapan secara finansial saat berangkat. Kondisi ekonomi saat itu tentu tidak sama seperti saat ini. Mereka harus menyiapkan bekal sekaligus, bagi dirinya dan bagi keluarga ditinggalkan. Kondisi ini seakan memberikan kesan berhaji hanya bagi warga berduit.
Ketiga, sulitnya mengukur sekaligus memberikan keadilan bagi pendaftar. Bila kondisi tersebut tidak dikelola dengan baik, berpotensi tidak adil dalam pelaksanaan. Ada jemaah mendapat perlakuan berbeda, dapat diberangkatkan lebih awal, sementara lainnya dikalahkan dan tertunda keberangkatan.
Sistem antrean, menjadi sistem yang menjadi jaminan kepada seluruh warga negara memperoleh haknya dalam menjalankan ibadahnya. Di tengah keterbatasan kuota, jemaah ditetapkan dapat berangkat sesuai urutan waktu daftar. Lebih awal daftar, lebih awal berangkat.
***
Pada awal diberlakukan tahun 2004, setoran awal ditetapkan 20 juta rupiah. Uang itu dibayar jemaah melalui bank saat mendaftar haji. Uang itu sekaligus sebagai jaminan dan bukti bahwa jemaah siap berangkat haji dengan cukup kemampuan finansial. Besaran ini berlangsung enam tahun hingga 2009.
Pada 2006, antrean nampak mulai signifikan. Pendaftar lebih banyak dari ketersediaan kuota. Awal 2009, pendaftar haji semakin tinggi seiring maraknya praktek dana talangan dari sejumlah lembaga keuangan. Dampaknya antrean haji semakin panjang.
Tahun berikutnya, 2010, Menteri Agama saat itu Suryadharma Ali, mengambil kebijakan menaikkan setoran awal menjadi 25 juta rupiah. Kebijakan ini diambil sebagai langkah dari semakin panjangnya antrean haji. Namun upaya meredam minat daftar haji dengan menaikkan setoran awal tidak berhasil. Justru pendaftar semakin membludak. Rata-rata antrean saat itu sudah mencapai empat tahun.
Dalam kurun tiga tahun sejak 2010 hingga 2013, antrean pendaftar haji sudah mencapai delapan tahun. Karena antrean semakin panjang, pada 2013 setoran awal sempat direncanakan naik menjadi 30juta rupiah. Namun akhirnya rencana tersebut dibatalkan. Hingga saat ini,setoran awal tetap 25 juta rupiah.
Karena dianggap terlalu besar, pada September 2017, seorang warga bernama Muhammad Soleh sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun gugatan tersebut ditolak.Â
Bahkan sebelumnya, tahun 2013 sempat muncul petisi berjudul "Dukung PembubaranWaiting List haji demi Kebebasan Beribadah". Petisi ini jelas, tentu dari kacamata lain, salah satunya mempertanyakan dasar setoran awal dan munculnya "waiting list". Namun petisi ini tidak mendapat respon memadai dari publik.
Hingga saat artikel ini ditulis, panjang antrean daftar haji telah mencapai dua puluh tahun. Secara bervariasi seiring dengan kecepatan pendaftar setiap provinsi. Paling pendek di provinsi Maluku, 10 tahun. Sementara paling panjang di provinsi Sulawesi Selatan, 40 tahun.
***
Penerapan ketetapan setoran awal dalam proses pendaftaran haji memiliki manfaat signifikan. Manfaat itu dapat dirasakan bagi pemerintah, jemaah, dan masyarakat luas.
Bagi pemerintah, setoran awal sebagai wujud bukti komitmen warga mendaftarkan diri menjadi calon jemaah haji. Dengan komitmen ini, pemerintah dimudahkan dalam menyusun perencanaan perjalanan ibadah haji. Karena sudah memiliki kepastian jumlah, calon jemaah dan ketersediaan dana memadai.
Uang dari setoran awal, sesuai UU disimpan dalam bentuk sukuk, deposito, dan giro. Bahkan dengan lahirnya UU Pengelolaan Keuangan Haji,semakin diperlebar skema lain guna meningkatkan nilai manfaat. Keberadaan dana haji tersimpan dalam sukuk, dapat mendorong pergerakan ekonomi umat.
Bagi jemaah, bukti setor dapat dijadikan sebagai tanda bukti nomor porsi. Dengan memiliki nomor porsi artinya punya hak berangkat ibadah haji. Selain itu uang setoran yang dikelola, akan menghasilkan bunga atau biasa disebut nilai manfaat. Besaran ini, pada akhirnya mengurangi beban finansial jemaah saat berangkat.
Biaya sewa pesawat ke Saudi Arabia dan kembali ke Indonesia sebesar 26,1 juta rupiah. Harga ini telah jadi kesepakatan maskapai dengan Komisi VIII DPR RI. Sedangkan harga sewa hotel di Mekah, menurut hitungan pasar mencapai 15,6 juta rupiah per jemaah. Itu belum termasuk sewa akomodasi Madinah dan Arafah.
Bahkan dari biaya yang dibayarkan, akan dikembalikan kepada jemaah 5,3 juta rupiah. Artinya secara finansial, jemaah hanya membayar Rp 29,5 juta rupiah. Sangat murah.
Mereka yang berangkat 2017 setidaknya telah menunggu lima sampai enam tahun. Sangatlah pantas bila mendapat keringanan cukup membayar 34,9 juta dari seharusnya 61.2 juta rupiah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H