Menyambung tulisan sebelumnya tentang antrean haji, kali ini akan diulas seputar mencari solusi pangkas antrean. Bagaimanapun antrean haji adalah kenyataan, tidak mungkin dihindari jemaah. Kuota tidak pernah mencukupi, sementara di sisi lain variasi antar provinsi cukup signifikan.Â
Ada dua persoalan besar dalam sistem penyelenggaraan haji, kaitannya dengan antrean. Pertama perpendek antrean, dan kedua seimbangkan antrean antar provinsi. Dua hal berbeda, dan keduanya seakan jadi momok bagi warga yang hendak daftar haji.
Tahun 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mendorong Kemenag berlakukan moratorium pendaftaran haji. Meski sebenarnya usulan moratorium itu lebih fokus pada pengelolaan dana haji. Semakin menggunung, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terkumpul berpotensi penyelewengan.
Di luar itu, Busyro Muqoddas, Wakil Ketua KPK saat itu menilai, antrean panjang berpotensi mainkan kuota oleh oknum dengan memajukan urutan berangkat. KPK menduga dengan sejumlah imbalan, oknum dimaksud dapat mengubah urutan jemaah, bisa berangkat lebih cepat.Â
Isu moratorium terus berhembus hingga 2014. Namun Menag Lukman tegas nyatakan tidak ingin moratorium dipakai untuk mengatasi masalah membludaknya antrean haji. Karena dianggap menghalangi hak umat untuk berhaji. Bertentangan dengan konstitusi. Hingga kini, usulan moratorium diabaikan.
Untuk kondisi saat ini, dugaan Wakil Ketua KPK tentang adanya oknum bisa otak-atik nomor antrean, sudah mustahil. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dengan mudah deteksi setiap kecurangan transaksi, semua tercatat dan mampu telusuri sang pelaku.
Sebenarnya upaya seimbangkan antrean haji antar provinsi, terus dilakukan Kemenag. Salah satunya optimalisasi 10 ribu tambahan kuota yang sudah diterima sejak 2016. Contoh pada 2018, tambahan tersebut dialokasikan secara proporsional menurut indeks waktu tunggu.
Provinsi dengan waktu tunggu lebih panjang peroleh tambahan lebih banyak, dibanding provinsi dengan waktu tunggu lebih pendek. Meski tidak signifikan berdampak, diharapkan satu saat akan terjadi titik keseimbangan.
Upaya ini praktis tidak menimbulkan gejolak, baik tataran jemaah maupun para pengambil kebijakan. Karena kuota tidak mengalami pergeseran, dan justru mengalami penambahan.
Alternatif lain seimbangkan antrean dengan membuat alokasi kuota baru bagi provinsi atau mengambil alih menjadi kuota nasional. Namun keduanya punya kelebihan dan risiko, berpotensi menimbulkan gejolak baik bagi jemaah, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Kondisi ini akan membuat gigit jari jemaah dari provinsi dengan antrean pendek, seperti Maluku. Di sisi lain jemaah provinsi antrean panjang, seperti Sulawesi Selatan bertepuk tangan. Jemaah dari seluruh provinsi akan punya masa tunggu relatif sama, 20 tahun.Â
Tantangan berikutnya atas solusi ini, Kemenag akan berhadapan dengan Pemerintah Daerah. Bagaimanapun pelayanan haji sudah menjadi nilai jual kinerja pemerintah daerah kepada warganya. Pembahasan diprediksi sangat alot atau tawar menawar untuk menemukan win-win solution.
Di sisi lain, perubahan kuota provinsi berdampak langsung pada pergeseran penyiapan kapasitas seluruh fasilitas bagi jemaah. Sejak dari provinsi sampai embarkasi, semua harus dihitung ulang, disesuaikan jumlah jemaah. Termasuk penyiapan kapasitas transportasi udara.Â
Jika tidak mengikuti dinamika, solusi ini sifatnya hanya sementara, solusi jangka pendek. Perbedaan kecepatan animo masyarakat daftar haji, akan menggeser perbedaan antrean, dan lama kelamaan kembali beragam.
Kedua, menarik menjadi kuota nasional. Kuota tidak lagi dibagikan ke provinsi atau kabupaten. Jemaah dalam sistem diurutkan ulang berdasar waktu daftar. Tidak ada lagi urutan provinsi atau kabupaten. Hanya ada urutan nasional.
Secara teknis, urutan jemaah dalam satu provinsi menjadi kacau, berbaur dengan provinsi lain. Pasangan suami istri atau pendampingan orang tua dan anak, bisa bergeser jauh.
Tantangan alternatif solusi satu ini lebih berat dari sebelumnya. Berhadapan dengan Pemerintah Daerah sudah pasti. Regulasi, kebijakan, dan implementasi di lapangan berubah secara drastis. Kesiapan psikologi jemaah pun patut jadi perhatian.
Saat musim haji tiba, rencana penyiapan kapasitas fasilitas lebih sulit dilakukan. Setiap provinsi dan embarkasi tidak punya bayangan jumlah jemaah sebelum seluruhnya menyelesaikan pelunasan. Dinamika bergerak cepat seiring perubahan daftar jemaah antar provinsi.
Jurus berikutnya untuk memangkas antrean adalah meminta tambahan kuota. Secara matematika, cara ini paling ampuh. Hitungan sederhana, sangat jelas bila kuota lebih banyak dari pendaftar, niscaya antrean memendek dengan sendirinya.Â
Maka dari itu, hingga saat ini Kemenag belum berniat mengajukan penambahan kuota ke Pemerintah Saudi Arabia. Menurut Menag, pihaknya telah sampaikan permohonan renovasi fasilitas Mina agar lebih layak. Termasuk membangun tenda susun jika memungkinkan, guna menambah kapasitas.Â
Mina, berbeda dari tempat lainnya. Luasan wilayah ini hanya segitu saja, tidak mungkin lagi diperluas. Karena luas wilayahnya terbatas oleh syariat Islam. Berbeda dengan Arafah atau Masjidil Haram, yang memungkinkan lakukan perluasan guna menambah daya tampung.Â
Membangun hotel sekitar Mina bisa menjadi alternatif mengatasi masalah kapasitas. Saat siang jemaah yang tidak mungkin di tenda Mina, dapat istirahat di hotel tersebut. Secara penyaluran logistik dan konsumsi relatif lebih mudah.
Jemaah masuk ke Mina saat malam untuk mabit, dan keluar kembali saat pagi. Meski demikian secara syariat, ini perlu mendapat kajian mendalam.
Menambah kuota, berarti menambah semua fasilitas layanan bagi jemaah. Dampaknya tentu pada semua pihak terkait. Pemerintah daerah, layanan asrama haji, manasik, kesehatan, maskapai penerbangan, hotel, katering, transportasi, dan akomodasi lainnya di Arafah dan Mina. Semua itu butuh sinergitas tinggi dalam sinkronkan segala persiapan.
Saat ini penyelenggaraan haji yang dilakukan Kemenag boleh dibilang telah mencapai titik tertinggi. Kapasitas Kemenag dengan seluruh instrumen dan sumber daya telah optimal. Indeks kepuasan jemaah sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) telah melewati ambang tingkat memuaskan.
Angka indeks kepuasan 85,23 menunjukkan apa yang diperoleh jemaah jauh melebihi dari apa yang diharapkan. Meski jika ditelisik mendalam, pelayanan di Mina menjadi satu-satunya pelayanan yang menurut persepsi jemaah terendah. Itulah yang menjadi pertimbangan bahwa layanan Mina perlu mendapat perhatian serius.
Menambah kuota bisa diartikan menambah beban pekerjaan. Apakah Kemenag siap?Â
Dari semua solusi, apapun hasilnya, jemaah hanya ingin berangkat lebih cepat dan layanan secara adil. Semoga..Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H