Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyuarakan Kembali Cita Rasa Bhinneka Tunggal Ika

23 November 2016   08:59 Diperbarui: 23 November 2016   09:23 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin inilah saat terbaik untuk kembali suarakan cita rasa persatuan Indonesia di bawah naungan Pancasila. Bagaimana tidak slogan Bhinneka Tunggal Ika itu rasanya hampir musnah pasca reformasi tahun 1998. Quo vadis - nasionalisme tak tampak lagi. Kemanakah rasa kebangsaan dan kebanggaan memiliki Indonesia.

Hampir 20 tahun, entah berapa banyak generasi yang tidak lagi sempat pelajari Pancasila di sekolah, layaknya orde sebelumnya. Kurikulum Pendidikan Moral Pancasila telah dilebur, tidak lagi nyata. Siswa tidak lagi wajib ikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) saat masuk jenjang pendidikan.

Generasi yang kini tumbuh menjadi tunas bangsa seakan tidak lagi mengenal Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Rumusan para pendiri bangsa itu, seakan menjadi barang museum dan tak sejalan lagi dengan kemajuan jaman. Ironis memang, banyak pihak menyesalkan para pejuang demokrasi saat ini tidak lagi mengingat ruh semangat reformasi yang belum genap dua dasawarsa itu.

Selama itu, berbagai gejolak muncul riak kecil seakan menjadi tanda akan kegamangan sebagian warga negara dalam berbangsa. Kemajuan teknologi, menjadikan komunikasi tanpa batas, wilayah dan waktu, konten mengisi dan terus mengalir menjadi pemahaman. Konten tidak lagi bisa dibendung, filter apalagi verifikasi kebenarannya. Degradasi berpendapat seolah mendapat angin segar tanpa melihat dampak dan akibatnya. Ujaran kebencian layaknya angin lembut yang merasuki otak segar generasi muda.

Unjuk rasa tanggal 4 November 2016, menjadi momentum bagi siapapun warga negara ini secara waras ingin mengembalikan cita rasa keragaman sebagai tonggak kedamaian. Umat Islam kembali hadir untuk kesekian kalinya menjadi motor sekaligus garda depan menyuarakan kedamaian di Republik tercinta ini.

Aroma semerbak menghentakan persatuan umat ini bukan sekedar lagi bicara penistaan agama yang dilakukan seorang calon gubernur. Lebih dari itu, mereka melihat arah mulai terjadi pergeseran dari tonggak kemerdekaan. Falsafah kemerdekaan yang dihujamkan dalam ke jantung negeri, lambat laun mulai tercerabut dari akarnya.

Nilai keberagaman yang menjadi kekuatan kesatuan bangsa mulai dipertentangkan. Pemahaman kebangsaan dan keagamaan mulai dibenturkan. Oleh sebagian kecil warganya, negara mulai dibimbangkan dengan pemahaman seakan negara dan agama adalah dua kutub yang saling berseberangan.

Umat Islam, sekali lagi, sebagai umat beragama mayoritas penghuni negeri ini sudah belajar toleran bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Dari leluhur, para pendiri bangsa sangat menyadari akan keberagaman. Budaya yang sangat kental dengan aroma keagamaan tumbuh dalam keberagaman sudah menjadi tradisi dalam kehidupan seharian.

Saat Islam datang ke bumi nusantara ini, agama, aliran dan kepercayaan telah mewarnai kehidupan penduduk kala itu. Penyebaran Islam tidak melalui peperangan, semua berbaur dalam damai. Akulturasi budaya Islam yang rahmatan lil alamin berbaur dengan budaya lokal. Budaya lokal masih berjalan dan hampir tak ada yang dirusak. Candi peninggalan umat Hindu dan Budha tetap terpelihara hingga kini.

Tidak ditemukan dalam buku sejarah manapun, Islam masuk Indonesia dengan kekerasan, peperangan dan paksaan. Bahkan tidak ada kerajaan terjajah, apalagi tergantikan pada wilayah yang sama. Kehancuran suatu dinasti bukan lantaran ekspansi kerajaan Islam.

Di saat penjajahan, kemerdekaan hingga mempertahankan pasca itu, peran umat Islam begitu besar. Tak dapat lagi disebut satu per satu, perjuangan yang dilakukan kaum santri dan ulama untuk mempertahankan negeri ini dari penjajah. Ulama dibawah panji-panji Islam, menerima siapapun tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata yang memiliki misi sama yakni mengusir penjajah.

Bahkan saat negeri ini dikhianati oleh komunis, umat Islam menjadi korban. Ratusan bahkan ribuan nyawa melayang korban fitnah ulah segelintir orang yang rakus akan kekuasaan. Namun di sisi lain umat Islam pula yang jadi garda depan dalam penumpasan sekaligus revitalisasi nasionalisme dari rongrongan komunis.

Perumusan Pancasila, terutama sila pertama sudah mengalami amandemen luar biasa saat itu. BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak semuanya beragama Islam. Namun sikap toleransi luar biasa ditunjukkan ulama kala menyusun rumusan. Tujuh kata dalam sila pertama dicoret yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Hal itu dilakukan semata-mata karena tidak ingin melukai perasaan umat selain Islam.

Keinginan untuk menyatukan bangsa merdeka dan terbebas dari penjajah jauh lebih kuat. Dari sekedar mempertahankan ego, dengan bahasa lebih universal, rumusan yang bisa diterima semua golongan. Keberagaman bangsa ini harus bisa terwadahi dalam kerangka Pancasila.

Slogan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah omong kosong pendiri bangsa. Itu adalah refleksi kondisi sebenarnya dari bangsa ini. Berhias ratusan suku, bahasa, etnik, ras, budaya, agama, aliran dan kepercayaan, menjadikan bangsa menjadi indah. Bak zamrud katulistiwa bertabur berlian, ribuan  pulau dengan sumber daya berlimpah. Perairan laut kita berada diantara dua samudera, menjadi ekosistem sumber daya perikanan nyaris tanpa batas.

Gelombang keikhlasan umat Islam sampaikan aspirasi ke Presiden dan pemerintah tanggal 4 November lalu, mestinya menjadi catatan besar. Mereka datang dengan semangat membara di dada di bawah panji-panji ormas untuk peroleh perhatian. Hanya satu, kedamaian dalam penegakan hukum. Sebuah unjuk rasa damai sebagai fenomena baru dalam sejarah Indonesia.

Belakangan ini, kita melihat beberapa elemen masyarakat lain juga mulai bergerak, menyuarakan serupa, kedamaian dan persatuan. Terlepas dari kelompok pencari panggung, atau melemahkan kelompok lain, aktivitas tersebut patut diapresiasi. Dukungan ini menjadi sebuah gelombang aspirasi dengan tujuan akhirnya adalah menginginkan Indonesia yang damai dan berkeadilan.

Disadari atau tidak, rasa nasionalisme bangsa ini perlu dipupuk kembali. Rasa bangga memiliki dan mempertahankan setiap jengkal tanah harus ditumbuhkan. Budaya intoleransi jelas budaya asing, budaya tidak pernah dikenal, bahkan oleh seluruh warga Indonesia. Mengadaikan aset sumber daya kepada asing, harus dihentikan dan direbut kembali dengan sekuat tenaga. Jangan sampai anak cucu kita kelak lahir dan hidup menjadi bangsa terasingkan di negeri sendiri.

Tanah Air Indonesia bukanlah milik segelintir orang, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Setiap jengkal tanah NKRI direbut dan dipertahankan dari penjajah dengan tetesan darah pejuang. Ya para pendahulu kita, mereka berjuang tanpa pamrih. Merdeka dan memberikan kehidupan pada generasi anak cucunya tanpa intimidasi dan penindasan sang penjajah.

Meminjam kata Bung Karno, Bapak Proklamator Indonesia, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri". Seakan menjadi penanda keras kepada rakyat Indonesia bahwa perjuangan tak bisa berhenti hanya dengan merdeka. Bahkan lebih berat. Bukan saja harus mengisi kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat tapi juga membebaskan dari rongrongan kaum penghianat bangsa.

Tidak berlebihan rasanya bila kita patut tunduk pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai falsafah pemersatu bangsa. Keragaman Bangsa ini adalah sunatullah dan itu patut kita syukuri, yang membawa keindahan dan kekuatan.

Perpecahan untuk kepentingan pribadi dan golongan hanya akan menyengsarakan. Bukan saja pribadi dan golongan yang bertikai, tapi seluruh bangsa ini akan ikut sakit. Cukuplah, bangsa ini sudah kenyang dengan kepayahan menghadapi penjajah. Luka dan duka melihat darah saudara mengalir karena tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.

Kita semua hidup di bumi Indonesia. Ideologi yang harus kita junjung adalah Pancasila. Kita disatukan oleh rasa persaudaraan dibawah panji Bhinneka Tunggal Ika. Apapun agama kita, apapun suku kita, apapun warna kulit kita, dari mana pun kita berasal, ya kita ini bangsa Indonesia.

Merdeka!!!
----------------------

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun