Bahkan saat negeri ini dikhianati oleh komunis, umat Islam menjadi korban. Ratusan bahkan ribuan nyawa melayang korban fitnah ulah segelintir orang yang rakus akan kekuasaan. Namun di sisi lain umat Islam pula yang jadi garda depan dalam penumpasan sekaligus revitalisasi nasionalisme dari rongrongan komunis.
Perumusan Pancasila, terutama sila pertama sudah mengalami amandemen luar biasa saat itu. BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak semuanya beragama Islam. Namun sikap toleransi luar biasa ditunjukkan ulama kala menyusun rumusan. Tujuh kata dalam sila pertama dicoret yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Hal itu dilakukan semata-mata karena tidak ingin melukai perasaan umat selain Islam.
Keinginan untuk menyatukan bangsa merdeka dan terbebas dari penjajah jauh lebih kuat. Dari sekedar mempertahankan ego, dengan bahasa lebih universal, rumusan yang bisa diterima semua golongan. Keberagaman bangsa ini harus bisa terwadahi dalam kerangka Pancasila.
Slogan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah omong kosong pendiri bangsa. Itu adalah refleksi kondisi sebenarnya dari bangsa ini. Berhias ratusan suku, bahasa, etnik, ras, budaya, agama, aliran dan kepercayaan, menjadikan bangsa menjadi indah. Bak zamrud katulistiwa bertabur berlian, ribuan  pulau dengan sumber daya berlimpah. Perairan laut kita berada diantara dua samudera, menjadi ekosistem sumber daya perikanan nyaris tanpa batas.
Gelombang keikhlasan umat Islam sampaikan aspirasi ke Presiden dan pemerintah tanggal 4 November lalu, mestinya menjadi catatan besar. Mereka datang dengan semangat membara di dada di bawah panji-panji ormas untuk peroleh perhatian. Hanya satu, kedamaian dalam penegakan hukum. Sebuah unjuk rasa damai sebagai fenomena baru dalam sejarah Indonesia.
Belakangan ini, kita melihat beberapa elemen masyarakat lain juga mulai bergerak, menyuarakan serupa, kedamaian dan persatuan. Terlepas dari kelompok pencari panggung, atau melemahkan kelompok lain, aktivitas tersebut patut diapresiasi. Dukungan ini menjadi sebuah gelombang aspirasi dengan tujuan akhirnya adalah menginginkan Indonesia yang damai dan berkeadilan.
Disadari atau tidak, rasa nasionalisme bangsa ini perlu dipupuk kembali. Rasa bangga memiliki dan mempertahankan setiap jengkal tanah harus ditumbuhkan. Budaya intoleransi jelas budaya asing, budaya tidak pernah dikenal, bahkan oleh seluruh warga Indonesia. Mengadaikan aset sumber daya kepada asing, harus dihentikan dan direbut kembali dengan sekuat tenaga. Jangan sampai anak cucu kita kelak lahir dan hidup menjadi bangsa terasingkan di negeri sendiri.
Tanah Air Indonesia bukanlah milik segelintir orang, tapi milik seluruh rakyat Indonesia. Setiap jengkal tanah NKRI direbut dan dipertahankan dari penjajah dengan tetesan darah pejuang. Ya para pendahulu kita, mereka berjuang tanpa pamrih. Merdeka dan memberikan kehidupan pada generasi anak cucunya tanpa intimidasi dan penindasan sang penjajah.
Meminjam kata Bung Karno, Bapak Proklamator Indonesia, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri". Seakan menjadi penanda keras kepada rakyat Indonesia bahwa perjuangan tak bisa berhenti hanya dengan merdeka. Bahkan lebih berat. Bukan saja harus mengisi kemerdekaan untuk kesejahteraan rakyat tapi juga membebaskan dari rongrongan kaum penghianat bangsa.
Tidak berlebihan rasanya bila kita patut tunduk pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai falsafah pemersatu bangsa. Keragaman Bangsa ini adalah sunatullah dan itu patut kita syukuri, yang membawa keindahan dan kekuatan.
Perpecahan untuk kepentingan pribadi dan golongan hanya akan menyengsarakan. Bukan saja pribadi dan golongan yang bertikai, tapi seluruh bangsa ini akan ikut sakit. Cukuplah, bangsa ini sudah kenyang dengan kepayahan menghadapi penjajah. Luka dan duka melihat darah saudara mengalir karena tidak sejalan dengan ideologi Pancasila.