[caption caption="Gunung Semeru (Dok. Pribadi)"][/caption]
Siang menjelang sore, Ranu Pane (2.200 mdpl) terlihat cukup ramai dengan Jeep-jeep yang hilir mudik datang dan pergi silih berganti menaikkan dan menurunkan penumpang dengan Carrier-carrier besar yang menyertai. Nampak pula para Pendaki yang baru turun dan beristirahat sembari makan dan minum di sekitar warung yang ada di Ranu pane. Dibagian lain terlihat rombongan yang sedang bersiap untuk memulai pendakian, setelah semua urusan perizinan diselesaikan.Â
[caption caption="Pos Ranu Pani (Dok. Pribadi)"]
Sedianya saya dan teman-teman akan memulai pendakian sore itu juga dengan target bermalam di Ranu Kumbolo. Perjalanan Jakarta-Malang hingga akhirnya mencapai Ranu Pane dengan kereta Ekonomi disambung angkot dan Jeep cukup melelahkan, terlebih lagi cuaca sore itu tidak terlalu cerah mendung menaungi Ranu Pane hingga akhirnya diputuskan pendakian baru akan dimulai keesokan harinya. Malam itu kami bermalam di pondok pendaki yang letaknya persis di seberang Pos Ranu Pane Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selamat rehat kawan, esok hari kita akan mulai perjalanan menuju Puncak Mahameru.
Musim kemarau menyisakan rumput yang mengering, tanah yang berdebu tebal dan sisa kebakaran berupa rumput yang hangus menghitam, maupun pohon tumbang di beberapa tempat. Meski terlihat sudah padam, namun asap yang masih mengepul dan bara api membuat kami saling mengingatkan satu sama lain agar berhati-hati, cukup berbahaya kalau sampai terinjak. Pos demi pos telah dilalui hingga akhirnya tepat di tengah hari tibalah kami di Ranu Kumbolo, sebuah Danau yang berada di ketinggian 2.400 mdpl. Di sini kami istirahat, shalat, makan siang dan mengisi air untuk perbekalan menuju camp kali mati dan muncak.
[caption caption="Ranu Kumbolo Berkabut (Dok. Pribadi)"]
Sekira satu jam rehat di Ranu Kumbolo, perjalanan dilanjutkan kembali dan tanjakan cinta pun menyambut. Meski dari jauh terlihat biasa dan tidak terjal, faktanya dengan carrier-carrier yang menggelayuti tak kurang dari lima belas menit dibutuhkan untuk melewatinya. Berada di atas, menengok ke belakang terlihat Ranu Kumbolo yang berselimut kabut, dengan tenda-tenda Pendaki warna-warni sungguh sebuah pemandangan yang indah. Selepas Tanjakan Cinta, jalur selanjutnya berupa turunan, mungkin disebut turunan cinta. Kita bisa memilih untuk menuruni tanjakan dengan jalur yang cukup curam namun lebih pendek atau memilih untuk melipir ke arah kiri namun agak memutar jauh hingga akhirnya sampai di Oro-oro Ombo. Kami pun memilih menuruni jalur itu apalagi alasannya kalau bukan karena jalur lebih pendek. Oro-oro ini sebetulnya tempat yang indah karena disini ditemui padang bunga Lavender, sayang musim kemarau yang ada hanya kering dan kering dimana-mana.
[caption caption="Tanjakan Cinta View Ranu Kumbolo (Dok.Pribadi)"]
Menjelang Maghrib Kami tiba di Kali Mati (2.700 Mdpl), berupa tempat terbuka yang cukup luas untuk mendirikan Tenda dan bermalam. Kali Mati cukup ramai dengan pendaki-pendaki yang sudah sampai terlebih dahulu. Cuaca terasa dingin menggigit, kami bergegas berbagi tugas mendirikan tenda dan memasak. Di Kali Mati inilah kami menunggu waktu untuk melanjutkan pendakian ke Puncak dini hari nanti. Menikmati hangatnya kopi sambil berbagi cerita di dalam tenda.
[caption caption="Sebelum Kali Mati, Foto Dulu Yuuk. (Dok. Pribadi)"]
Dengan tubuh yang menggemuk karena baju dan celana berlapis yang dikenakan, pukul 02.00 kami siap menuju puncak Mahameru, terlambat dari jadwal yang direncakan. Pendakian ke puncak Semeru sebaiknya dilakukan mulai pukul 00.00-01.00 dini hari dikarenakan ada batasan tak boleh lebih dari pukul 09.00 pagi semua pendaki sudah harus turun dari puncak. Jalur menuju puncak yang berupa pasir halus memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi naik satu langkah turun dua langkah.
Selain jalur pasir halus yang menyulitkan, dingin udara dan rasa kantuk yang tak tertahan harus diantisipasi. Berbahaya kalau sampai tidur di jalur, sebisa mungkin kami terus bergerak meski dengan merangkak karena sulitnya jalur pasir serta kemiringan jalur yang mencapai 45-70 derajat. Batu-batu yang ada tak bisa digunakan sebagai pijakan, jika terinjak dipastikan batu akan meluncur ke bawah dan bisa mencederai orang yang ada di bawah kita. Biasanya ketika ada batu meluncur, kami saling memperingatkan agar orang yang di bawah waspada.
Selepas Arco Podo (2.900 Mdpl), saya mulai frustasi mengahadapi jalur pendakian, posisi Kami ada di tengah-tengah, jika turun jauh, ke puncak pun masih jauh. Kepalang tanggung, meski pergerakan lambat, sedikit demi sedikit kami menyeret langkah yang kian lemah. Lebih banyak istirahatnya dibanding jalannya.
Pukul 08.00, kami berhasil menginjakan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Ya, Puncak Mahameru di ketinggian 3.676 Mdpl. Puncak Mahameru berupa tanah datar yang cukup luas. Di Puncak ini terdapat prasasti untuk mengenang Soe Hok Gie dan Idhan Lubis yang meninggal di Mahameru.Â
[caption caption="Saya dan Sahabat Saya Neo, di Puncak Mahameru (Dok. Prapti Efendi)"]
Meski masih ingin berlama-lama menikmati keindahan dari atap Pulau Jawa paling lambat pukul 09.00 para pendaki harus segera meluncur kembali ke camp di Kali Mati. Dikuatirkan asap beracun yang berasal dari kawah Jonggring Saloko akan mengarah ke Puncak Mahameru yang sangat membahayakan para Pendaki.Â
[caption caption="In memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis (Dok. Prapti Efendi)"]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H