Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memaafkan adalah Obat Pereda Kebencian

5 Maret 2019   14:38 Diperbarui: 6 Maret 2019   16:27 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianer pernah merasakan benci yang teramat sangat pada seseorang? Atau sesuatu? Atau bahkan pada diri sendiri? Saya yakin, setiap manusia di muka bumi tentu pernah merasakan benci. 

Entah membenci kenyataan, masa lalu, sesuatu, dan masih banyak lagi. Memang rasa benci adalah hal yang wajar terjadi pada manusia. Karena kita bukan malaikat yang selalu taat. 

Kita manusia yang memiliki hawa nafsu, memiliki perasaan, berpotensi melakukan kesalahan. Tapi ingat kita juga punya akal yang bisa mengontrol perasaan. Akal yang membantu mencari jalan kebenaran agar tidak tersesat dalam jurang kebencian.

Baiklah Kompasianer yang budiman. Saya ingin bercerita. Mohon maaf jika tulisan saya jauh dari sempurna. Saya hanya mencoba mengutarakan lewat tulisan. 

Setidaknya dengan begini membantu saya untuk bisa menata pikiran yang semwarut. To be honest, saat ini saya sedang bertarung melawan mental illness. Apa bentuk mental illness yang saya derita? 

Saya kesulitan memaafkan diri saya sendiri. Super ego saya selalu menghukum saya tanpa henti. Itulah yang membuat sakit. Sakitnya menjalar hingga ke fisik. Hingga tidak bisa tidur, hilang nafsu makan, bahkan berat badan turun 3 kg dalam seminggu. Gila memang. Bahkan sampai detik ini pun saya masih butuh bantuan Psikolog agar saya bisa memaafkan diri saya sendiri.

Bentuk penghukuman yang dilakukan oleh super ego ini luar biasa dahsyat. Menusuk-nusuk. Menyayat dengan sangat tajam. Saking tajamnya bahkan hingga membuat sesak di dada. 

Jika saya tak mampu menahan, saya hanya bisa menangis. Menangis tersedu-sedu hingga energi saya habis lalu tertidur. Tidur pun bukan tidur yang sehat, karena ketika bangun kondisi saya tidak membaik. 

Alhasil pekerjaan saya, tugas akhir saya terbengkalai. Tapi mau bagaimana lagi, faktanya kondisi mental saya memang sedang jatuh. Saya harus menerima itu. Bukan hanya sekedar menerima. Tapi saya juga harus mencari cara untuk bangkit! Ya saya yang harus menyayangi diri saya sendiri.

Keadaan seperti ini saya rasakan kembali dari sejak bulan Agustus 2018. Saya juga sempat sedikit bercerita soal kondisi saya di artikel ini. Hampir setiap hari saya alami. 

Setiap hari saya harus berjuang melawan penyimpangan mental tersebut. Karena saya masih sadar. Saya masih punya harapan. Saya masih layak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Saya memiliki kemampuan. 

Saya mau terus belajar. Saya tidak mau kalah dengan super ego saya. Itulah keyakinan yang masih saya jaga. Keyakinan yang membuat saya bertahan. Membuat saya bangkit walaupun sudah jatuh untuk yang kesekian kalinya.

Akhirnya saya pun bertanya pada Psikolog, "Mengapa saya bisa begini? Mengapa saya selalu mudah membenci diri saya sendiri dan tak memberi sedikit pun celah ampunan kepada saya sendiri?"

Beliau menjawab, "Kondisi yang kamu alami ini terjadi di internal diri kamu. Sebabnya bukan dari lingkungan. Hipotesis saya sebabnya dari banyak faktor. Bisa jadi pengalaman di masa lalu yang mendalam. Atau juga didikan orang tua. Akhirnya jadi pembiasaan diri tanpa kamu sadari."

Lalu saya tanya kembali, "Kenapa kondisi mental saya ini bisa tergolong mental yang tidak sehat? Apakah salah jika kita marah pada diri sendiri agar bisa berubah?"

Beliau menjawab sambil tertawa, "Ya jelas gak sehat dong, Ci. Kamu itu terlalu idealis. Idealis yang buta akhirnya membuat kamu menutup mata bahwa kamu juga manusia yang tidak sempurna. Manusia melakukan kesalahan, berbuat dosa adalah hal yang wajar. Seberapa besar sih memang kesalahanmu? Kenapa kesalahan kecil kamu besar-besarkan? 

Apakah dengan kesalahanmu ini teman-teman kamu benci terhadap diri kamu? Dosen akhirnya menghukumu? Kan tidak begitu kenyataannya, Ci. Mereka menerima diri kamu. Kamu pun harus begitu. Dari pada menyalahkan diri, mengapa tidak fokus mencari solusi untuk ke depan?"

Dari situlah akhirnya pelan-pelan saya coba mengubah semua nilai yang tertanam di super ego saya. Saya mencoba berdamai. Saya coba mencari obat untuk meredakan kebencian yang menghancurkan diri saya sendiri. 

Obat itu tidak dijual di apotek mana pun. Obat itu hanya kita yang memiliki. Obat itu ternyata tersimpan di dalam diri kita. Obat itu adalah belajar memaafkan.

Apa yang perlu dimaafkan? Semua. Memaafkan masa lalu diri kita. Memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kita. Memaafkan kekurangan diri kita. Memaafkan dosa kita. 

Tapi sungguh, memaafkan itu bukan perkara mudah. Memaafkan butuh perjuangan tanpa henti. Hanya mereka yang mau dan siap menerima kenyataan yang bisa memaafkan. Hanya mereka yang berpijak pada kebenaran yang mampu memaafkan.

Lantas bagaimana agar berhasil memaafkan?

Saya tidak tahu langkah pastinya bagaimana, tapi ini murni dari pengalaman saya pribadi. Pertama, saya coba merenung mencari akar sebab dari kemarahan yang bergejolak di dalam batin saya ini dari mana asal mulanya? Saya panggil kembali ingatan-ingatan di masa lalu. 

Saya coba mengingat kembali apakah ada hal yang mungkin saya pendam dan belum tersampaikan. Mungkin itu yang menjadi pengganggu di pikiran saya. Akhirnya saya ingat pada satu waktu di mana saya benar-benar merasakan kesedihan luar biasa. Saya ingin marah pada orang yang telah membuat saya sedih. Tapi saya tidak bisa. 

Karena saya tahu ini bukan sepenuhnya salah dia. Kejadian itu saya alami ketika saya masih kelas IX SMP, umur saya waktu itu masih 14 tahun. Di usia remaja yang secara mental masih labil. Belum bisa membedakan benar dan salah dengan baik. Tapi harus dihadapkan pada kenyataan yang mengguncang psikologisnya. 

Saya yang waktu itu pertama kali merasakan jatuh cinta dan merasa nyaman karena saya mendapatkan apa yang saya butuhkan. Saya ingat betul, perasaan sayang yang saya miliki ini benar-benar tulus. Saya berusaha mengingatkan dia jika dia salah. Kita hanya saling bercerita. Bertukar pengalaman. Dia selalu mau mendengarkan. 

Saya pun senang jika mendengarkan semua cerita dia. Delapan bulan lamanya saya mendapatkan pengalaman baru. Pengalaman indah. Yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Hubungan itu membuat saya hidup di dunia baru. Dunia yang membuat saya belajar, membuat saya berani, membuat saya menemukan diri sendiri.

Tapi ya yang namanya remaja masih labil dalam mengambil keputusan. Ya akhirnya dia pun meminta putus. Putus karena alasan dia gagal menjadi sosok yang baik untuk saya. Lucu memang jika diingat-ingat lagi.

Saya di situ kaget, marah, kecewa. Ah semua bersatu dalam satu waktu. Lalu saya hanya bisa menangis. Saya hanya bisa bercerita kepada Ibu saya tercinta. Ibu saya lalu menenangkan saya dan menasihati saya, "Gak perlu marah, De. Kan masih kecil. Itu pilihannya dia. Kalau memang jodoh juga nanti ketemu lagi." Begitu kata ibuku.

Dari situ walau berat saya mencoba bangkit. Ya saya mencoba membangun keyakinan bahwa saya bisa menjalani hidup yang berbeda. Menjalani hidup tanpa dia. Jika bertemu dengan dia saya hanya bisa tersenyum. Walaupun sebenarnya saya ingin ceritakan kondisi saya. Rasa sedih, kecewa, benci, dan marah saya pendam sendiri.

Tidak saya kelola. Karena saya tak mengerti bagaimana caranya. Yang jelas life must go on. Tapi secara tidak sadar perasaan-perasaan negatif tersebut membuat saya trauma. 

Membuat saya kejam pada diri saya sendiri. Saya takut melihat diri saya jatuh kembali. Saya tutup rapat-rapat pintu hati saya. bahkan di umur 21 tahun ketika ada yang datang pun saya takut. Entah apa yang saya takutkan. Saya hanya takut.

Pikir saya saat itu mungkin memang benar, saya sebetulnya belum memaafkan masa lalu saya. Saya hanya berusaha melupakan tanpa memaafkan. Akhirnya saya pun memberanikan diri menghubungi orang yang dulu pernah menyakiti saya. Saya ceritakan semua. Bukan untuk menyalahkan dia. Tapi saya hanya ingin mengutarakan. 

Karena untuk memaafkan tentu kita perlu tahu apakah yang menurut kita salah itu benar adanya? Setelah bertemu dan berbincang. Akhirnya dia pun meminta maaf pada saya. Dia menyesali apa yang telah dia perbuat. Dia tak pernah tau kondisi saya seperti ini karena saya selalu menutupi. Saya pun akhirnya jadi tau bahwa sebetulnya semua ini bukan salah dia. Bukan juga salah saya. Jadi ya sudah tidak ada yang perlu dipersalahkan.

Kita hanya butuh saling memaafkan. Memaafkan dengan tulus. Memaafkan adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan kebencian.

Ya itulah sepenggal kisah yang saya alami agar akhirnya bisa memaafkan. Semoga kita semua senantiasa diberikan kekuatan untuk memaafkan agar terhindar dari rasa benci yang menyesatkan. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun