Mohon tunggu...
Rosiana
Rosiana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

A reluctant learner.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Suka Duka Menjadi "Buruh Kimia"

22 Februari 2019   13:42 Diperbarui: 24 Februari 2019   15:38 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "buruh kimia" bagi saya lebih pantas dibanding "analis kimia" haha. Karena ya pada kenyataannya seorang analis kimia juga merupakan buruh. Bedanya bidang yang digeluti.

Tapi lagi dan lagi, analis kimia yang bekerja di industri ya tentu bekerja karena butuh duit. Jadi apa bedanya buruh kimia dan analis kimia jika ujung-ujungnya jadi pegawai pabrik! Maaf, maksud saya bukan menghina atau merendahkan pekerjaan tersebut. Tapi saya hanya berkata apa adanya melalui tulisan yang masih jauh dari sempurna ini..

Mungkin Kompasianer di sini agak asing ya dengan istilah "analis kimia". Ya memang tidak banyak SMK yang memiliki jurusan analis kimia. Bahkan di kota kelahiran saya sendiri, Bandung, hanya ada tiga sekolah negeri yang memiliki jurusan tersebut. Di antaranya: SMKN 7 Bandung, SMKN 5 Bandung, dan terakhir sekolah saya tertjinta SMKN 13 Bandung.

Selebihnya mungkin ada beberapa sekolah menengah kejuruan swasta yang memiliki jurusan analis kimia. Tapi sayanya aja kali ya yang kurang update alias kudet. Ya gimana mau update wong dulu zamanku SMK waktuku habis buat bikin laporan, huhu kan syeudihhhh.

Tapi tak apalah, saya bersyukur karena setidaknya masa putih abuku habis untuk belajar. Bukan untuk mencoba hal yang 'macem-macem'.

Cara promosi sekolah saya itu asli bagus banget. Mereka meyakinkan para orang tua calon siswa bahwa "masa depan anak-anak Anda akan terjamin" karena apa? Karena setelah lulus dijamin langsung kerja! Ya memang kenyataannya begitu.

Bahkan saya sendiri sebelum wisuda pun sudah diterima kerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang kimia air.

Di zaman sekarang yang katanya sarjana saja sulit cari kerja, tentu janji bahwa "masa depan anak-anak Anda akan terjamin" sangatlah menggiurkan.

Siapa sih orang tua yang tidak senang melihat anaknya sukses? Melihat anaknya bisa bekerja di usia belia? Saya yakin pasti hampir semua orang tua ingin anaknya bisa mandiri dan sukses tanpa perlu disuapi melulu oleh orang tua.

Tapi ya janji manis itu ternyata tak semanis kenyataannya wahai saudaraku. Janji sebuah masa depan yang indah ternyata harus dibayar dengan susah payah.

Saya cerita sedikit pengalaman saya saja ya. Waktu kelas X, saya dan kawan-kawan sudah diberi tugas membuat laporan praktikum setiap minggu.

Namun, celakanya saat itu sebelum membuat laporan, kami tidak mendapatkan pengetahuan bagaimana membuat laporan praktikum yang baik dari guru yang bersangkutan. 

Kami hanya diberi tahu prosedurnya saja. Sudah. Sisanya kami yang harus mandiri melihat --lebih tepatnya mencontek-- laporan kakak kelas.

Ya bayangkan saja anak usia 15 tahun yang baru lulus SMP sudah diberikan beban membuat laporan praktikum macam anak strata satu. Duh... pikiran kita saja belum matang. Bagaimana bisa membuat laporan praktikum yang ideal?

Akhirnya yang ada ya kita nih hanya bisa copy-paste. Gak jarang dasar teori yang digunakan persis sama yang ada di laporan kakak kelas.

Ya, bodohnya kita mengerjakan sesuatu yang belum benar-benar kita pahami. Alhasil ya begitu, tekstual. Di sini yang saya cukup sesali dan kecewa karena telah memilih masuk ke sekolah itu.

Saya yang dari sejak SD diajari untuk kritis, berkreasi bebas, tidak berhenti menemukan inovasi tiba-tiba harus terpaku dengan standar yang baku! Ah jujur itu sangat menyiksa! Itu yang membuat saya benci dunia eksakta.

Tapi saya tetap bertahan, karena bagaimanapun saya yang memilih sekolah itu. Orangtua juga sudah keluar uang banyak, masa saya menyerah begitu saja? Kapan saya bisa dewasa kalau saya menyerah hanya karena ego sendiri.

Jadi saya memilih bertahan, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia eksakta. Mencoba mencari kesenangan di dunia kimia. Perlahan saya menemukan satu hal yang membuat saya menyukai dunia kimia. Apa itu? Ketika saya mempelajari unsur-unsur kimia, saya menyadari bahwa setiap unsur itu memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing.

Ketika unsur A bertemu unsur B iya bisa jadi berwarna merah. Tapi ketika unsur A bertemu unsur X ia menjadi berwarna hijau. Menarik! Pikiran saya saat itu langsung menghubungkan dengan sifat manusia. 

Manusia pasti akan berusaha menyesuaikan dirinya dengan orang-orang yang ditemuinya agar bisa diterima. Mereka bertemu untuk saling melengkapi kekurangan. Untuk saling memenuhi kebutuhan hingga akhirnya tercipta jiwa manusia yang baru. Haha, ya begitulah mungkin ini agak sedikit maksa yaa. Tapi tak apalah, toh cara kita memaknai suatu realitas terkadang berbeda bukan?

Ya, reaksi-reaksi kimia yang aku pelajari membuat saya tidak bisa berhenti bertanya dan terus tahu! Tapi lagi dan lagi, manakala saya mencoba mempertanyakan segala hal yang mungkin bagi saya penting tapi bagi guru-guru di sana kurang penting pasti ending-nya berakhir tidak bahagia.

"Bu, kenapa kenapa unsur Fe2+ dan Fe3+ bisa berbeda warna padahal sama-sama Fe?" tanyaku serius.

"Yah itu sih sudah dari sananya..." jawab Bu guru sekenanya.

Yah selalu begitu, selalu dari sananya dari sananya dan dari sananya. Membosankan memang. Tapi ya sudahlah. Bagaimana pun aku tetap bertahan. Bertahan belajar di sekolah menengah kejuruan analis kimia selama empat tahun lamanya!

Ada banyak lika-liku yang harus ku lalui, tapi sepertinya itu akan saya ceritakan di lain kisah. Bukan di sini, karena yang akan saya ceritakan di sini adalah suka-duka pasca lulus dari SMK Analis Kimia. Ya, lebih tepatnya suka duka menjadi "buruh kimia".

Biasanya nih di SMK itu ada yang namanya PKL (Prakik Kerja Lapangan). Ya kalau anak kuliahan mah bahasa kerennya internship.

Saya ingat betul waktu PKL itu seharusnya 4-5 bulan. Tapi berhubung PKL di sebuah perusahaan swasta yang memang membutuhkan tenaga kerja, jadi saya hanya PKL selama dua bulan saja.

Sisanya saya direkrut sebagai pegawai di perusahaan tersebut. Dan saat itu statusnya saya belum lulus dari SMK Analis Kimia. Saya masih menjadi siswa, Tapi sudah diterima kerja.

Prestasi bukan? Awalnya ku pikir sih begitu. Tapi lama-kelamaan di lubuk hati saya yang paling dalam ada yang berbisik, "Dih prestasi dari mananya? Kerja jadi buruh gini masa prestasi? Kerja buat bikin pemilik perusahaan makin tajir itu prestasi?"

Ya entah kenapa di saat-saat menjalani masa awal bekerja tiba-tiba terlintas pikiran seperti itu di benak saya.

Oh ya sedikit cerita saja, saya waktu itu direkrut sebagai Analyst for Assistant Engineer. Jadi si perusahaan ini bergerak dibidang supply injeksi bahan kimia untuk Boiler Water, Cooling Tower Water, Chiller Water.

Biasanya industri besar seperti industri tekstil membutuhkan mesin uap (boiler) untuk menggerakkan mesin-mesin produksi. Air yang digunakan untuk menghasilkan uap itu adalah raw water yang di dalamnya mengandung ion Ca2+ dan masih banyak lagi. Nah, di sini masalahnya. Kandungan ion Ca2+ ini jika dipanaskan akan bereaksi dengan karbon diokasida. 

Hasilnya? Menjadi kerak. Kerak ini yang nantinya akan merusak mesin boiler, karena akan memperlambat penguapan. Jadi perusahaan saya membuat sebuah larutan yang bisa memperlambat reaksi tersebut. sehingga kerak yang ada di dalam boiler pun tidak akan terlalu parah.

Ini adalah pose fake smile ketika saya jadi 'buruh kimia'
Ini adalah pose fake smile ketika saya jadi 'buruh kimia'
Nah, di sini yang menjadi tantangannya. Karena sampel air yang dianalisis oleh perusahaan tempat saya bekerja berasal dari Boiler, Coolling Tower, dan Chiller maka mau ga mau saya harus visit industri-industri yang menjadi klien perusahaan kami.

Jadi kalau Kompasianers di sini berpikir bahwa seorang buruh kimia itu kerjanya selalu analisis sampel di lab itu SALAH BESAR! Saya ulangi SALAH BESAR! Saya sebagai buruh kimia bahkan dari total lima hari bekerja mungkin hanya 2-3 hari kerja di lab.

Sisanya? Turun lapangan. Manjat tower, panas-panasan ke ruang boiler. Gak jarang digodain abang-abang teknisi boiler.

Ini lab tempat saya bekerja. Kecil dan sederhana tapi penuh cerita..
Ini lab tempat saya bekerja. Kecil dan sederhana tapi penuh cerita..
Nah ini, di sini yang menjadi duka. Partner kerja saya kebanyakan laki-laki. Jadi saya harus pandai-pandai menjaga diri. sebetulnya kalau partner karyawan dari perusahaan tempat saya kerja sih baik-baik.

Malah mereka selalu menjaga saya, tapi ya ketika saya ditugaskan untuk sampling sendirian karena ada mandat dari bos ya saya harus patuh.

Beberapa kali ketika saya mau sampling boiler water pasti teknisinya selalu ganjen. Bahkan pernah bilang begini ke saya, "Duh neng mending jadi istri Aa aja dari pada harus kerja begini."

Di situ saya hanya bisa tertawa kecil dan langsung to the point saya butuh pertolongan untuk sampling. 

Gak hanya itu, malah saya pernah hampir dicolek dagunya, tapi saya tepis dan saya saat itu marah! Saya bilang ke abangnya, "Aduh maaf ya kang saya di sini mau kerja, bukan diginiin. Tolong yang sopan!"

Di situ abangnya malah ketawa terus bilang, "Aduh si eneng meni galak (Aduh si eneng galak amat)."

Ya itu hanya beberapa potongan kecil dari duka yang dirasa. Selebihnya adalah ketika hasil analisis jauh dari prediksi dan klien minta data tersebut dimanipulasi agar saat laporan ke bos tertinggi tidak kena semprot. 

Di sini nih, hati nurani diuji. Satu sisi kita juga gak mau kehilangan klien, tapi satu sisi kita gak mungkin berbohong. Toh memanipulasi data juga akan merugikan klien untuk jangka panjang.

Jadi kami harus melakukan negosiasi, coba memberikan pengertian kepada pihak klien bahwa hasil analisis kita ini sudah akurat.

Bahkan tak jarang tim saya juga harus berhadapan dengan bos tertinggi dari perusahaan yang menjadi klien kami. berhubung saya waktu itu masih karyawan baru jadi saya hanya mengamati saja.

Tapi saya juga bisa merasakan bagaimana tegangnya harus berhadapan dengan bos tertinggi. Salah ngomong bisa putus kan kerjasama kita. Kalo kerjasama diputus ya pulang-pulang kena semprot bos sendiri deh. 

Ya begitulah gambaran duka yang saya rasakan. Lalu sukanya seperti apa? Nah ini akan saya ceritakan di chapter selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun