Setiap Orangtua Pasti Mengharapkan yang Terbaik bagi Anak-anaknya
Pada umumnya impian setiap orangtua adalah agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang terbaik, agar dapat dijadikan bekal dalam menjalani kehidupan mereka kelak.
Sejak anak-anak masih kecil, kita sudah mulai berpikir tentang di mana nanti mereka akan sekolah. Dan bila sudah duduk di bangku  SMA, maka yang menjadi pikiran adalah bagaimana agar mereka dapat melanjutkan ke perguruan tinggi yang terbaik. Hal ini juga terjadi dalam keluarga kami.Â
Pengalaman Putra Pertama Kami
Waktu putra  pertama kami Lulus SMA, ia menyampaikan hasrat hatinya, kalau kami mengizinkan dirinya untuk melanjutkan studi ke Amerika Serikat.
Pada waktu itu kehidupan kami sudah berubah total dari penjual kelapa di pasar, menjadi pengusaha. Maka dengan senang hati kami mengabulkan keinginannya. Sebab sejak dari SD hingga SMA nilai rapornya selalu masuk ranking 3 besar dalam kelasnya.
Pada awalnya ia ikut tes TOEFL dan lulus dengan nilai terbaik. Langkah pertama sudah dilalui dengan baik. Selanjutnya seluruh persyaratan sudah dipenuhi dan sudah ada konfirmasi dari Universitas, bahwa Irmansyah diterima di jurusan Komputer.
Karena tidak mungkin meninggalkan usaha kami yang baru berkembang, maka putera kami berangkat sendirian ke California, Amerika Serikat.
Suasana di Rumah Tiba-tiba Berubah
Kata orang, selama 3 bulan pertama, anak yang studi di luar negeri akan mengalami "homesick" atau rindu rumah. Tapi yang terjadi justru kami berdua yang merasa ada sesuatu yang kurang dalam rumah.
Ketika tiba saat makan malam, biasanya kami saling berbicara dengan anak-anak, sementara makanan disediakan, Tapi sejak putra kami berangkat, di meja makan ada satu kursi yang kosong, yakni di mana Irmansyah biasa duduk makan bersama kami.Â
Karena kami berdua diam, maka kedua anak kami yang lainnya ikut berdiam diri. Apa yang dimakan rasanya tawar, tanpa rasa, karena suasana hati yang sedang galau dampak dari pertama kalinya anak kami studi di tempat yang jauh.
Setiap hari Minggu, putra kami pasti menelepon. Begitu telepon masuk, maka TV dan radio kami matikan, agar tidak mengganggu.
Kami Tidak Memanjakan Anak
Walaupun pada waktu itu, sesungguhnya kami mampu membelikan kendaraan bagi putra kami, namun kami tidak melakukannya. Karena ingin putra kami belajar menghemat dan mandiri.
Di samping kuliah, ia bekerja paruh waktu hingga setelah satu tahun di sana sudah bisa membeli kendaraan bekas dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Mendapat Predikat Magna Cumlaude
Kami bersyukur, ternyata hasil belajar dengan sungguh-sungguh, Irmansyah lulus. Kami sekeluarga, yakni saya, suami, dan kedua anak kami, serta adik kami Maria berangkat ke Amerika untuk menghadiri wisuda putra kami. Acara diselenggarakan di lapangan terbuka.Â
Ketika profesor membacakan nama putra kami yang lulus sebagai Master of Computer Science dengan predicate Magna Cumlaude. kami sangat bersyukur dan tentunya sangat bangga.Â
Bahwa putra kami, anak Indonesia, mampu meraih nilai tertinggi mengalahkan mahasiswa asal Amerika. Pada waktu itu, Irmansyah merupakan orang pertama dari Indonesia yang lulus Master of Computer Science, dengan predicate Magna Cumlaude.
Irmansyah diwisuda pada tanggal 13 Juni 1987. Keesokan harinya 14 Juni, usianya genap 21 tahun. Teman-temannya datang mengucapkan selamat serta membawa minuan beralkohol, dengan ucapan "selamat dan hari ini sudah boleh minum minuman ini".
Di Amerika semua student di bawah umur 21 tahun tidak diperkenankan minum minuman beralkohol.
Pengalaman Anak Kedua
Ketika putra kami yang kedua lulus SMA, ia juga minta izin melanjutkan studi ke Amerika. Tentu saja selaku orangtua kami harus adil. Maka kami izinkan untuk berangkat ke kota yang berbeda, yakni Sacramento.
Tapi pada tahun kedua, usaha kami mengalami kemunduran sehingga kami terpaksa tidak bisa mencukupi kebutuhannya, sehingga dia harus mencari tambahan sendiri di sana.
Pada masa itu kami sedang dalam masalah keuangan. Maka anak kami ini tidak pulang liburan setiap tahun seperti kakaknya. Irwan baru pulang ketika sudah selesai 4 tahun kemudian.
Ketika dia kembali, kami sedikit heran karena sikapnya sangat berbeda sekali dari biasanya. Selama empat tahun di negeri orang, secara tidak sadar terpengaruh oleh cara berpikir orang Amerika.Â
Butuh waktu bagi dirinya dan juga bagi kami sebagai orangtua untuk bisa sama-sama beradaptasi dengan gayanya yang berubah. Syukurlah akhirnya kehidupannya sudah kembali seperti biasa.
Pengalaman Anak Ketiga
Ketika putri  kami yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, duduk di kelas dua SMA, kami dapat info bahwa ada pertukaran siswa yang diselenggarakan oleh  EF Foundation, yang berkantor di jalan Sudirman Jakarta.
Setelah melakukan komunikasi, putri kami diminta untuk ikut tes di Jakarta. Kami temani dan bersyukur ia lulus tes dan boleh ikut dalam exchange student.Â
Kami hanya menanggung biaya transportasi, sementara itu putri kami Irvianty dibebaskan dari seluruh uang kuliah. Bahkan ia ditempatkan di rumah "host family" dan tinggal di sana secara gratis selama melanjutkan studi. Tujuannya adalah kota Michigan, yang tidak jauh dari Washington City.
Selama tinggal bersama orangtua asuhnya, Irvianty diperlakukan seperti anak mereka sendiri, Bila ada tugas membersihkan rumah ataupun mencuci piring, maka putri kami juga harus ikut. Dengan demikian ia belajar untuk dapat hidup mandiri.
Tugas Kami sebagai Orangtua Sudah Selesai
Sejak dari masih di SMP, kami sudah memanggil ketiga anak-anak kami dan mengatakan bahwa kami berdua tidak akan meninggalkan warisan apapun. Satu-satunya warisan yang kami berikan adalah membiayai pendidikan mereka. Dan kami bersyukur, ketiga anak kami sangat peduli pada kami berdua sebagai orangtua mereka.Â
Mudah-mudahan pengalaman yang ditulis di sini dapat menjadi masukan bagi para orangtua.
17 September 2019
Salam saya
Roselina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H