Seorang anak hanyalah titipan dari Allah yang Maha Kuasa yang diberi kelebihan masing-masing. Cara membangun karakter anak adalah membiarkannya menjadi dirinya sendiri. Tugas seorang Ibu dalam mendampingi anak adalah menemukan kelebihan tersebut dan membantu mengembangkannya dengan menyediakan lingkungan, sarana yang mendukung potensi tersebut. Pendampingan itu bertujuan agar anak mempunyai harga diri yang berharga, bisa dibanggakan. Seorang ibu yang sengaja memaksakan impian dan kehendak pribadinya kepada anak-anaknya sesungguhnya telah mematikan potensi dan karakter sang anak.
Memilih Tempat Sekolah
Nazhif Masykur juga menekankan pentingnya memilih sekolah yang tepat.  Ketika anak berkeinginan belajar di pondok pesantren, dia katakan hal itu merupakan hadiah terbesar dan terbaik buat orang tuannya. Terdapat perbedaan sekolah umum dan sekolah di pondok pesantren. Di Pesantren anak-anak mendapat detok (pembersian) dari mental-mental yang merusak akhlak setelah dewasa.
Motivator ini menggambarkan pengalamannya di sebuah SMP Â di Gunungkidul. Di sekolah itu kepala sekolahnya menceritakan pendidikan moral dan penanaman mental spiritual akhlaknya masih dirasa kurang. Masih ditemui di sekolah ada anak kelas 2 SMP sudah menjadi ibu rumah tangga.
Mengetahui keadaan dunia yang bikin miris itu, dia berpesan supaya orang tua harus hati-hati. Zaman kini anak-anak sedang tidak baik-baik saja. Informasi yang didapat anak di luar pikiran orang tua. Anak yang dibelikan HP jangan  dikira akan selelasi urusan dan masalahnya. Dengan handphone tersebut, anak bisa melanglang buana ke mana saja. Akibatnya, di kelas 6 ada keluhan orang tua yang meminta menerapi anak-anak yang ketagihan film dewasa.
Mendampingi anak dalam pengasuhan dan pendidikan yang tepat untuk berproses menjadi orang dewasa merupakan keharusan orang tua. Ketidaktepatan dalam pendampingan, ketidakpedulian pada proses pembelajaran anak hanya akan menghasilkan generasi yang tidak menghargai moral, etika dan adab. Di akhir tulisan ini mari kita renungkan lagi puisi Dorothy Law Nolte  yang terdapat pada buku Children Learn What They Live: parenting to inspire values. Puisi tersebut diterjemahkan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual; refleksi-sosial seorang cendekiawan Muslim sebagai berikut :
Anak-anak Belajar dari Kehidupannya
 Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
(jae)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H