Mohon tunggu...
Rosita Sinaga
Rosita Sinaga Mohon Tunggu... Guru - artikelmissrosita.blogspot.com, youtube: https://bit.ly/3nQfGqY

Seorang pendidik dan penulis yang ingin memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dampak WFH Buat Guru

12 April 2020   21:24 Diperbarui: 13 April 2020   21:04 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WFH alias work from home sudah hampir 4 minggu berjalan bagi seluruh karyawan di Jakarta, termasuk guru dan murid. 

Apa yang Anda rasakan selama bekerja di rumah? Ada yang happy karena bisa berkumpul dengan keluarga, ada yang bosan karena terbiasa dengan rutinitas.

Buat saya sebagai seorang pendidik di sekolah swasta, saya merasa wfh ini membawa dampak positif dan negatif. 

Dampak positif apa saja yang sara rasakan sebagai pendidik? 

1. Saya punya banyak waktu di rumah dan bisa berjemur di pagi hari.

Rutinitas saya setiap hari berangkat dari rumah pukul 7 pagi dan pulang pukul 4 sore. Kebetulan jam kerja di sekolah saya adalah jam 8 pagi-4 sore. Tetapi saya selalu merasa tidak punya waktu untuk berjemur matahari pagi karena sudah memikirkan persiapan mengajar setiap hari. 

Rutinitas saya lainnya adalah biasanya setelah pulang bekerja, saya lanjut bekerja sebagai guru les privat. Pekerjaan sampingan yang cukup lumayan menambah penghasilan seorang guru. 

Begitulah, hampir setiap hari saya melakukan rutinitas tersebut. Bisa dikatakan tidak ada waktu buat saya berjemur di bawah matahari pagi dan sedikit waktu untuk keluarga.  Selama ini, waktu  yang saya miliki cukup terkuras untuk administrasi sekolah, anak murid dan orangtua murid saja.

Dengan adanya wfh, saya belajar menikmati untuk beristirahat dan mencintai diri sendiri dan keluarga. Tentunya juga saya bisa menikmati berjemur di pagi hari untuk meningkatkan imunitas tubuh. 

2. Cucian berkurang.

Apa hubungannya antara wfh dengan cucian berkurang?

 Begini, tiap hari saya wajib menggunakan seragam sekolah yang berbeda. Dan tentunya, tiap haripun seragam harus diganti dan dicuci. Meskipun  saya mencuci seragam dengan menggunakan mesin cuci, namun hal ini tetap saja  menjadi tambahan pekerjaan  di rumah.

Dengan adanya wfh, saya tidak perlu berganti-ganti seragam setiap hari. Cukup mengenakan pakaian rapi saat berhadapan dengan murid-murid saat sesi online dan pakaian tersebut masih bisa dipakai lagi, kan tidak kotor dan tidak berkeringat pula. Lumayanlah, ini bisa mengurangi cucian rumah saya.

3. Hemat make up dan parfum.

Buat kaum wanita, make-up dan parfum adalah perlengkapan utama sebelum berangkat bekerja.  Tetapi prinsip saya, kalau tidak pergi ke luar rumah, ya tidak perlu make-up . Tetapi karena saya  masih bekerja secara online dengan murid-murid, maka saya tetap mengoleskan make-up  tipis saja di wajah supaya terlihat lebih segar.

 Berkat wfh, make up saya awet karena sedikit saja saya gunakan. Begitu juga dengan parfum.  Parfum tidak saya gunakan sama sekali sejak bekerja di rumah.  Yang penting saya sudah mandi bersih dan tidak bau dicium anggota keluarga. Lumayanlah bisa saya menghemat make up dan parfum .

4. Zero ongkos alias tidak keluar ongkos buat kerja.

Selama wfh, saya tidak mengeluarkan ongkos perjalanan kerja sepeserpun. Biasanya untuk menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah, saya merogoh kocek untuk bensin sebesar 100 ribu seminggu. Artinya dalam sebulan saya mengeluarkan uang sebesar  400 ribu hanya untuk ongkos perjalanan kerja . Sekarang pengeluaran tersebut bisa dialihkan  untuk pengeluaran-pengeluaran lain yang lumayan banyak juga selama bekerja di rumah.

5. Stress menghadapi persoalan dengan murid berkurang.

Tiap guru kelas menghadapi tantangan yang berbeda-beda sesuai dengan usia anak yang mereka ajar. Untuk guru kelas 1-4 SD lebih banyak menghadapi masalah dengan manajemen kelas dan disiplin anak. Terkadang guru stres sendiri menghadapi anak-anak yang tidak bisa diam, berisik, atau malas belajar. Tetapi untuk guru kelas 5 ke atas, biasanya masalah yang dihadapi adalah masalah karakter anak yang mulai akil balig.

Dengan adanya wfh, guru bisa sedikit bernafas lega karena tidak setiap hari harus bertatap muka dan menghadapi berbagai macam karakter anak dan tantangannya.

6. Guru Gaptek jadi Gotek

Kebanyakan guru menghadapi masalah dengan teknologi. Mereka bisa dibilang gaptek alias gagap teknologi karena tidak terbiasa bekerja dengan laptop ataupun komputer. Mereka terbiasa bekerja dengan buku, kertas, dan papan tulis.  Bersyukur dengan adanya wfh ini, guru-guru termasuk saya terpaksa dan dipaksa belajar googleclassroom untuk memberi tugas  murid-murid kelas 3 SD.

Murid kelas 3 SD loh..Ini tantangan banget buat saya sebagai pengajar untuk menciptakan sistem belajar mengajar buat anak usia 8-9 tahun. Mudah?

Sangat tidak mudah. Mengingat anak di usia ini meskipun sudah mengenal gadget tetapi mereka belum mampu mengoperasikan komputer dengan mahir.

Namun inilah kenyataannya. Tidak hanya murid yang belajar, tetapi guru dan orangtua muridpun dipaksa untuk belajar teknologi.

Bagi saya sebagai seorang pendidik, saya sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru. Saya mau berubah  dari guru gaptek menjadi gotek (jago teknologi). 

Di sisi lain, saya turut merasakan penderitaan orangtua murid yang harus mengajar anaknya di rumah, di luar tugas rumah tangga yang harus mereka lakukan setiap hari.  

Banyak sekali keluh kesah orangtua murid yang saya dengar di awal pelaksanaan sistem belajar online dari rumah. 

Mereka harus bekerja, mengurus rumah tangga, mengajar anak pula. Di samping itu, mereka masih harus membayar uang sekolah yang tidak murah. 

Banyak orangtua murid yang komplen terhadap sekolah karena tidak siap menghadapi perubahan total ini. 

Namun bila disikapi secara bijaksana, tidak ada satu orangpun maupun lembaga manapun yang menginginkan hal ini terjadi. Semua merasa dirugikan  akibat wabah covid 19 ini.

Nah selanjutnya, saya akan membahas dampak negatif buat guru selama bekerja di rumah. 

1. Tidak bisa fokus bekerja di rumah.

Seperti halnya karyawan lain yang punya keluarga, guru pun memiliki keluarga. Ketika aturan wfh diberlakukan buat guru, hal ini tidak sepenuhnya membawa dampak yang menguntungkan. Guru harus membagi waktu dengan keluarga dan ada banyak distraksi di rumah sehingga sulit berkonsentrasi untuk bekerja.

Tetapi guru harus tampil profesional, tidak membawa masalah pribadi di hadapan murid-murid. Tetap harus menjalankan tugas dalam kondisi apapun.

2. Biaya di rumah membengkak.

Tidak selamanya Wfh menguntungkan bagi kami para pendidik. Ada banyak pengeluaran yang tadinya hanya sedikit sekarang jadi membengkak. Pengeluaran apa saja? 

*Listrik. 

Untuk menggunakan laptop tiap hari, saya harus charge batere laptop sekitar 3 sampai 4 kali sehari. Belum lagi charge HP. Kipas angin maupun AC non stop yang cukup memakan biaya listrik.

*Kuota internet. 

Biaya kuota internet setiap hari bukanlah biaya yang kecil karena harus online dengan internet sepanjang hari. Biaya pengeluaran saya untuk kuota biasanya hanya 60 ribu, sekarang terpaksa mengeluarkan biaya lebih dari itu.

* Makan. 

Kalau di sekolah tempat saya bekerja,guru selalu disediakan makan siang. Kami makan makanan yang sama dengan makanan murid. Dengan adanya wfh, biaya belanja jadi lebih besar karena harus makan di rumah. Belum lagi cemilan-cemilan yang membuat bengkak pengeluaran dan bengkak badan tentunya hehehe. 

Selain itu, biaya air minum pun bertambah. Yang biasanya ganti air galon seminggu 2 kali, sekarang seminggu 3-4 kali.

3. Mata perih dan punggung pegal

Work from home membuat saya harus bekerja penuh di depan layar laptop. Membuat tugas sampai memeriksa hasil kerja muridpun harus menggunakan laptop  sehingga membuat mata  saya perih dan kering. Tugas yang saya periksa bukan hanya untuk satu mata pelajaran saja, tetapi lebih, lalu dikalikan dengan jumlah siswa. Lumayan membuat otot mata menjadi kencang. 

Belum lagi saya harus membalas chat pribadi orangtua murid yang terkadang menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Mata saya non stop melihat layar hp dan juga layar laptop. Sungguh tidak mudah.

Selain itu, saya tidak punya meja kerja yang tingginya pas dengan posisi duduk saya. Jadilah, saya mengerjakan tugas dengan membungkuk, duduk di lantai, memangku laptop, dan mengubah berbagai gaya karena badan sudah pegal-pegal.

Senjata yang saya butuhkan di saat seperti ini adalah obat salep pereda pegal-pegal pada tubuh. Saya juga  minum tolak angin untuk mengatasi masuk angin dan vitamin C untuk menjaga imun tubuh.

Seandainya saya disuruh memilih work from home atau bekerja di kelas, saya memilih yang ke dua. 

Saya memilih bekerja di kelas, di  habitat saya sesungguhnya.   

Sangatlah salah jika ada yang berpikir bahwa tugas guru menjadi lebih ringan sejak bekerja di rumah, guru makan gaji buta dengan hanya memberi tugas kepada murid selama masa pandemi ini. Sungguh, sebagai seorang guru, saya merasa sangat sedih mendengar pernyataan tersebut. 

Saya bekerja sebagai guru karena panggilan jiwa, ada rasa tanggungjawab yang tidak bisa digantikan dengan apapun.

 Ingin rasanya segera kembali ke kelas bertemu dengan murid-murid, mengajar, bercanda dan menikmati kembali rutinitas saya sebagai pendidik.

Dengan keadaan ini, keadaan yang memaksa semua orang tinggal di rumah, mendidik anak di rumah, membuat mata semua orang terbuka bahwa  tugas guru di kelas tidak bisa tergantikan dengan teknologi secanggih apapun.

 Harus ada chemistry yang terbangun antara guru dan murid ketika berada real di kelas. Ada rasa percaya antara murid dan guru. Ketika rasa percaya terbangun, maka setiap ilmu pengetahuan yang diberikan akan mudah dipahami oleh murid di kelas.

Teknologi yang sekarang digunakan  seperti google classroom cukup membantu tugas guru dalam memberi tugas kepada murid. Tetapi rasanya ada yang kurang bila guru dan murid tidak bertemu secara langsung. Namun di kondisi sekarang ini, kita harus menerima kenyataan bahwa guru dan murid hanya dipertemukan lewat layar laptop, di kelas maya.

Si murid mungkin sementara senang karena tidak ada guru yang bawel kasih nasihat, guru yang galak, guru yang suka marah-marah. 

Si guru juga sementara merasa senang karena tidak ada yang perlu diomelin setiap hari karena tidak bikin PR, tidak perlu kasih nasihat ke murid, tidak perlu cape-cape ngomel karena kelakuan anak yang tidak benar.

Tetapi ingatlah itu cuma sementara. One day, akan ada titik jenuh yang mampu membuat guru dan murid akan saling kangen. Semua kangen kembali ke kelas yang nyata, bukan kelas maya.

Semoga badai ini cepat berlalu dan masing-masing bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun