Setelah menikah, beban itu malah lebih banyak lagi. Aku bukan hanya menghitung pemberian orang lain kepadaku, tapi juga pemberian mereka kepada suamiku dan anak kami. Semua itu terasa menjadi beban bagiku pribadi yang aku tuntut pada diriku untuk membalasnya pada orang tersebut. Seolah aku punya utang.
Aku memang senang dapat pemberian dari orang lain. Mendapatkan sesuatu secara gratis. Tapi rasa senang yang aku dapatkan kadang tak sebanding dengan beban yang mengikutinya. Beban untuk segera membalasnya. Dan saat aku belum bisa membalasnya, aku merasa susah hati.
Aku punya teman di gereja yang suka ngajakin makan sepulang ibadah. Sekali dua kali sih aku oke untuk ditraktir. Tapi kalau keseringan aku jadi merasa nggak enak. Sering aku menolak ajakannya.
"Nggak enak ah, ditraktir mulu. Aku nggak nyaman."
Begitu biasa aku berkata pada suami untuk menolak ajakan mereka. Aku ingin sesekali kami yang bayarin, tapi kenyataan bahwa keuangan kami masih begitu ngepas membuatku nggak tau kapan kami bisa mentraktir mereka balik sesuai dengan harga makanan di tempat yang mereka biasa traktir kami.
Jadi aku memilih nggak usah mau ditraktir lagi biar beban utang yang harus aku bayar tidak semakin menumpuk.
Selama ini aku tak menyadari dampak buruk dari sikap begitu. Aku pikir itu memang seharusnya. Karena aku tak ingin memiliki mental gratisan. Tapi kemudian aku sadar, caraku menyikapi pemberian orang lain ternyata kurang tepat dan seperti ingin membatasi berkat Tuhan dalam hidupku.
Suatu hari anakku diajak jajan sama Om nya. Adik iparku. Mereka memang sangat baik pada anakku. Saat mereka pulang, mereka bawa kantong belanja penuh makanan. Ini jajan bukan sembarang jajan. Ada beberapa jenis makanan dalam jumlah besar, cukup untuk kebutuhan jajan anak sebulan.
Tentu saja aku senang mereka melakukan kebaikan itu pada anakku. Tapi kemudian, lagi-lagi aku merasa terbebani.
"Aduh...gimana aku harus membalas semua kebaikan ini?"
Aku terduduk agak lama sambil memandangi tas belanja penuh makanan itu. Bukan lagi dipenuhi rasa senang, aku malah menyesali keadaanku. Kenapa aku masih miskin aja sih. Aku juga ingin ngasih ke orang-orang. Hal-hal seperti sungut-sungut itu memenuhi pikiranku. Membuatku susah hati.