Terus terang aku nggak mengerti kenapa untuk dapat jodoh harus jiarah. Apa hubungannya? Apakah kalau aku jiarah, akan ketemu pria yang mungkin sedang jiarah juga dan kami saling jatuh cinta pada pandangan pertama dan akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya? Atau, jangan-jangan, jodohnya adalah penjaga kuburan yang aku temui saat jiarah?
Tapi aku tetap melakukan juga saran itu. Ketika itu kami jiarah ke makam orangtua dari mamak di salah satu kota di Sumatera Utara.
Setelah selesai jiarah, masih di kota itu, mamak bertemu dengan teman lamanya yang katanya mau ngenalin aku ke ponakannya, seorang high quality single. Aku langsung berpikir, apakah ini adalah khasiat dari jiarah tadi?
Mendengar kualifikasi pria single ini, yang katanya baik dan mapan dan atribut baik lainnya, aku berharap bahwa pria itu akan jadi jodohku.
Tapi ternyata, setelah teman mama mengenalkanku padanya dan memberikan nomor hapeku untuk dihubungi, pria itu tampak tak tertarik. Dia sama sekali tak menghubungiku.
Saat itu aku sempat heran juga. Bah! Cem mana ini? Kan aku udah jiarah...
Begitulah kisahku sehubungan dengan mitos mendapatkan jodoh. Kalau diingat-ingat, semua usaha ini rasanya lucu dan konyol juga sih. Berdoa pada Tuhan, tapi kenapa aku masih percaya pada mitos ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H