"Udahlah, nggak usah stress! Setiap anak emang pertumbuhannya beda-beda, ada yang bisa jalan dulu, ada yang bisa bicara dulu."
"Anak usia 2 tahun belum bisa bicara, itu wajar kok! Noh lihat anak si A, umur 3 tahun belum bisa bicara. Anak si B, umur 4 tahun juga belum bisa bicara"
Demikian beberapa pendapat orang-orang yang membuatku merasa sedikit terhibur saat mendapati bahwa kemampuan bicara anakku belum sesuai tahapan pertumbuhan anak yang senormalnya sesuai dengan yang aku sering baca di internet.
Saat anak pertama kami lahir, aku dan suami sering baca artikel tentang tahapan tumbuh kembang anak pada usia tertentu dan membandingkannya dengan pertumbuhan anak kami, El.
Dari Informasi tersebut, kami menilai bahwa El bertumbuh dengan baik dalam berbagai bidang. Namun ada satu tahapan yang kurang sesuai, yaitu kemampuannya untuk fokus dan bicara tidak seperti yang seharusnya di usianya.
Berdasarkan artikel yang aku baca di website IDAI tentang Keterlambatan Bicara, Pada usia 6 bulan seharusnya bayi sudah memasuki tahap babbling, yakni mengoceh dengan suku kata tunggal, misalnya "babababa", "mamamama".
Namun saat usia 6 bulan El belum masuk tahap babbling, kami sempat tanyakan pada dokter spesialis anak saat membawa El imunisasi. Tapi kata dokter tersebut, itu tidak apa-apa, masih tahap wajar.
Pada usia 1 tahun, anak seharusnya sudah bisa mengucapkan mama dan papa (atau istilah lain yang biasa digunakan untuk ibu dan ayah) dengan arti. Ia menengok apabila namanya dipanggil dan mulai mengerti beberapa perintah sederhana, seperti, "ayo sini".Â
Sementara saat El berusia 1 tahun, dia masih belum bisa mengucapkan kata yang mengandung arti dan saat dipanggil sering tidak menoleh.
Saat el berulang tahun ke 1, teman-teman kami datang dan salah satu dari mereka sepertinya bisa mendeteksi ada yang tidak beres dengan kemampuan komunikasi El karena saat dia dipanggil dia tidak menoleh dan hanya diam saja saat diajak bicara.
Si teman ini cerita bahwa anaknya dulu juga begitu, terlambat bicara hingga usia 2 tahun. Akhirnya anaknya diperiksa ke dokter spesialis tumbuh kembang anak. Oleh dokter diberi terapi wicara dan bersyukur kemampuan bicara anaknya makin membaik.
Saat dengar cerita itu aku mulai berpikir untuk membawa El terapi juga, tapi berpikir sebaiknya nunggu sampai El berumur 2 tahun dulu. Sambil terus berharap seiring waktu kemampuan bicara El makin meningkat.
Sampai akhirnya El genap 2 tahun dan baru bisa mengucapkan beberapa kata seperti mamak, bapak, minum, ndindi (mandi), tak lebih dari 10 kata. Dimana seharusnya anak usia tersebut sudah makin banyak kosakatanya dan sudah bisa membentuk kalimat dengna 2 kata. Misalnya, "mama mandi".
Akhirnya kami bawa El ke dokter tumbuh kembang anak. Karena kami pakai kartu BPJS jadi harus ke Faskes 1 dulu. Di klinik Faskes 1 ini kami daftar ke dokter umum karena tidak ada bagian Tumbuh Kembang. Kami jelaskan tentang kemampuan bicara El dan dokter juga mengajak El bicara tapi seperti biasa, El cuek aja dan tidak menjawab.
Oleh Dokter di faskes 1 kami kemudian dirujuk ke Faskes tingkat 2 atau RS tipe B ke dokter spesialis Anak dengan diagnosa awal Keterlambatan berbicara (Speech Delay).
Di Faskes 2, dokter spesialis anak tampaknya sependapat dengan diagnosa dari dokter umum tersebut. Untuk lebih akurat lagi kami dirujuk ke Rumah Sakit Tipe A untuk berkonsultasi dengan dokter Anak Ahli Tumbuh Kembang Pediatri Sosial di RSCM.
Dari pemeriksaan awal dokter mendiagnosis anak kami mengalami Global development delay (GDD) dan Speech Delay. Keterlambatan bicara dan perkembangan umum berdasarkan standar perkembangan anak seusianya. Hal ini ditentukan dengan suatu standar penilaian yang dilakukan oleh dokter dengan menanyakan kami hal-hal apa saja yang El sudah bisa lakukan.
Tahap Pemeriksaan Penyebab Speech Delay
Berdasarkan keterangan di website IDAI, Ada beberapa faktor penyebab seorang anak mengalami speech delay, bisa karena gangguan pendengaran, gangguan pada otak (misalnya retardasi mental, gangguan bahasa spesifik reseptif dan/atau ekspresif), autisme, atau gangguan pada organ mulut yang menyebabkan anak sulit melafalkan kata-kata (dikenal sebagai gangguan artikulasi).Â
Penanganan speech delay pun disesuaikan dengan penyebabnya. Dokter merekomendasikan untuk El tes darah untuk mengecek apakah ada hal yang bermasalah dengan hormon yang membentuk kecerdasannya.
Kemudian tes pendengaran yang disebut Tes Brain Evoked Response Auditory (BERA). Sebelum tes BERA, telinga El dibersihkan dulu. Tes ini dilakukan dalam keadaan El sedang tidur. Jadi sebelum tes aku berusaha agar El tidur dulu. Setelah tidur pulas baru aku bawa ke ruangan untuk tes. Pemeriksaan dilakukan dengan memasang beberapa alat seperti headset di bagian kepala pasien dan pada belakang telinga.
Hasil tes darah dan tes telinga El dinyatakan normal oleh dokter. Jadi keterlambatan bicaranya tidak disebabkan hal itu.Â
Dugaan dokter penyebabnya adalah karena minimnya stimulan dari lingkungan. Dokter berkata bahwa hal itu bisa jadi karena anak kami lahir dan tumbuh disaat pandemi berlangsung, sehingga anak kami tidak bermain dan bersosialisasi dengan anak seusianya dengan sewajarnya. Dokter juga menanyakan apakah kami memberi El bermain gadget karena hal itu bisa mempengaruhi fokusnya.
Aku akui aku telah lalai dalam hal ini. Padahal tadinya aku berniat tidak mau ngasih El main gadget, Â tapi lama-lama tergoda melakukannya karena melihat anak orang lain juga biasa dikasih gadget tapi pertumbuhannya biasa aja. Apalagi kalau lagi sibuk, biar El anteng, salah satu jalan ninjaku adalah memberinya tontonan di gadget. Hal itu ternyata memperburuk keadaan.
Puasa GadgetÂ
Dokter kemudian meminta kami untuk menghentikan memberi El bermain atau menonton video di gadget selama 3 minggu berturut-turut. Bisa hanya untuk berinteraksi melalui video call, itupun waktunya dibatasi.
Setelah 3 minggu tidak boleh main gadget, akhirnya fokus El mulai lebih baik. Saat dipanggil sudah mulai menoleh ke arah yang manggil. Kata dokter, hal ini dimaksudkan agar El lebih efektif dalam menerima terapi yang akan dilakukan.
Setelah itu dokter spesialis tumbuh kembang anak merujuk El ke dokter rehabilitasi medik pediatrik untuk menentukan terapi apa yang harus dilakukan.Â
Oleh dokter rehabilitasi medik pediatrik dilakukan pemeriksaan  terhadap El dan sesi wawancara dengan orangtua. Kemudian dokter menjadwalkan El untuk mengikuti sesi terapi wicara dan terapi okupasi.Â
Terapi wicara adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan bicara dan mengekspresikan bahasa pada anak.
Terapi okupasi adalah terapi untuk melatih kemandirian anak dan kemampuan sosialnya.
Terapi okupasi dilakukan di suatu ruangan bermain dimana anak diberikan kesempatan untuk bermain dan belajar dengan ditemani oleh terapisnya.
Masing-masing terapi ini dilakukan satu kali seminggu selama 30 menit oleh terapis yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Saat mengikuti terapi wicara dan terapi okupasi, El masuk ke ruangan terapi tak boleh ditemani orangtua. Pada awalnya El nangis-nangis setiap kali masuk ke ruangan terapi karena tak mau ditinggal sendiri dengan terapis yang dia anggap masih asing.
Setiap Sesi terdiri dari 7 pertemuan. Pertemuan ke-1 sampai ke-6 untuk terapi dan pertemuan ke-7 adalah evaluasi hasil sesi yang sudah dilakukan.Â
Setelah 1 sesi berjalan anak kami mulai merasa nyaman dan malah sulit untuk diajak pulang dari ruang terapi. Mungkin karena sudah sering berinteraksi dengan terapisnya.
Sampai saat ini El sudah mengikuti terapi selama 3 sesi dan kemampuan bicaranya memang menunjukkan peningkatan yang baik begitu juga dengan kemampuan untuk bermain, beradaptasi dan kemampuan bersosialisasi lainnya.
Selain mengikuti terapi, untuk mengembangkan kemampuan bicara El, kami sebagai orangtua juga dihimbau untuk rajin mengajak El berbicara atau membacakan cerita ke El setiap hari. Juga untuk sering membawanya bertemu atau bermain dengan anak-anak seusianya untuk mengembangkan kemampuan sosialnya.
Aku bersyukur atas keputusan kami membawa El terapi, namun aku sebenarnya agak menyesal kenapa baru memeriksanya setelah El usia 2 tahun. Aku lihat di tempat terapi tersebut beberapa anak-anak usia 1 tahun udah ada yang ikut terapi wicara juga. Mungkin bila semakin dini ditangani, hasilnya bisa lebih maksimal untuk tumbuh kembang El yang lebih optimal.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H