Tak begitu lama setelah pintu KRl ditutup, aku sadar, musik itu berhenti. Aku segera mengecek keberadaan hape yang tadi aku taroh di saku celanaku.
Ternyata hape itu sudah tak ada. Aku panik. Aku berusaha bertanya pada penumpang lain, dan minta tolong untuk dicari di kolong siapa tau terjatuh.
Namun suasana berdesakan yang begitu sempit tak memungkinkan orang  bergerak leluasa.
Aku makin panik. Aku mencoba bertanya pada orang-orang di sekitarku apakah mungkin ada yang tau.
Orang-orang awalnya berusaha membantu dengan mencoba menelpon ke nomor hapeku. Namun hape itu sudah tak aktif nomornya.
Aku masih panik...tapi tak berdaya berbuat apa-apa. Orang-orang mulai asik dengan dunia masing-masing. Tak lagi peduli padaku yang masih panik.
Setibanya di stasiun tujuan, karena lelah dengan segala kebingungan dan kepanikan sepanjang jalan itu, aku kemudian terduduk lemas dan merenungi kejadian itu.
Aku ingin nangis. Aku sangat marah entah pada siapa...aku menyesali kecerobohanku, aku merasa seperti seharusnya aku masih bisa mendapatkan hape itu kembali. Seandainya tadi aku begini begitu..
Namun kemudian, keadaan yang dialami sepupuku itu terngiang dalam ingatanku. Aku merasa bahwa apa yang aku alami belum ada apa-apanya. Aku hanya kehilangan hape, suatu barang yang bisa aku beli lagi. Tapi suami sepupuku  kehilangan sebelah tangannya dan tak bisa dikembalikan lagi...
Perenungan itu bikin rasa sedihku perlahan surut. Aku pun mulai ikhlas kehilangan hape itu.
3. Anak tetangga yang masih berusia 12 tahun meninggal dunia karena Leukimia