Mohon tunggu...
Rosari Octavia
Rosari Octavia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa biasa penyuka Twitter

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kelas Bawah Dalam Cengkraman Ketidakberdayaan Akses Belajar Selama Pandemi

10 Juli 2021   02:34 Diperbarui: 10 Juli 2021   02:38 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 rasa-rasannya sudah mengurung aktifitas kita salema satu tahun lebih. Banyak kegiatan dan aktifitas mengalami dampak, salah satunnya adalah aktivitas dalam bidang pendidikan. Sudah satu tahun ini sekolah-sekolah di tutup dan dialihkan pembelajarannya melaui aktifitas pembelajaran jarak jauh melalui media online. Metode pembelajaran jarak jauh nyatannya merupakan pilihan yang cukup berat jika di aplikasikan di Indonesia, banyaknnya tantangan dan hambatan dalam menggunakan metode pembelajaran jarak jauh adalah salah satu alsannya. Kendala dan tantangan yang ditemui adalah pertama ketidak merataan akses internet di Indonesia, kedua ketidak merataan akses perangkat dan juga masih banyaknya guru atau tenaga pengajar yang belum melek teknologi.

Kendala dan hambatan tentu dialami oleh semua pihak dalam masa pembelajaran daring ini, hal ini karena pandemi yang melanda dengan cepat dan ketidak siapan kita untuk merubah metode pengajaran hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Perubahan metode pendidikan secara drastis ini tentu telah menyulitkan banyak pihak mulai dari sekolah, pengajar, orang tua dan murid. Namun, sadarkah kita siapa pihak yang paling merasakan kendala dalam situasi ini? Ya, mereka adalah para murd dari kalangan kelas bawah.

Pelajar dari kalangan kelas bawah menjadi pihak yang sanagat di sulitkan dalam situasi seperti ini, mengapa? Karena akses mereka untuk belajar menjadi semakin terbatas. Di era internet dan dunia digital yang telah merajalela seperti ini nyatannya ada beberapa saudara kita yang masih susah untuk bisa mengakses internet. Bagi kawan masyarakat kelas menengah ke atas mungkin tidak akan merasa kesulitan dalam mengakses internet karena mereka telah difasilitasi akses internet yang memadai oleh orang tua mereka, seperti Wifi dan kuota untuk belajar dan bermain. Namun, para pelajar dari kalangan kelas bawah tentu akan merasa sistem belajar daring telah menjadi beban untuk mereka karena membuat mereka harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membeli kuota internet. Pembelajaran daring dengan media video conference nyatannya membutuhkan kuota yang lebih banyak. Banyak orang tua dari pelajar kelas bawah yang mengeluh karena harus lebih sering membelikan pulsa untuk belajar anaknnya, dan keadaan seperti itu membuat pelajar merasa dilema karena memberatkan orang tua, tetapi di sisi lain mereka tidak ada pilihan untuk tidak belajar.

Hal lucu yang terjadi dalam hal kendala akses internet adalah kekagetan menteri pendidikan kita atas ketidak merataan akses internet yang ada di Indonesia. Hal ini menjadi lucu karena bagaimana mungkin pejabat kita tidak mengetahui mengenai hal umum yang ada di negeri kita sendiri? Apakah gemerlap dan kemajuan Ibu Kota telah mengaburkan mata pemerintah kita sehingga mereka tidak tahu kabar rakyat meereka yang ada di bagian daerah lainnya? Seolah pengetahuan mereka hanya sebatas kemegahan ibu kota dan pendididkan kelas menengah atas saja. Kemirisan ini bukan hanya di tujukan kepada menteri pendidikan kita saja tetapi juga jajaran pejabat pemerintahan lainnya, karena untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kerja sama antar lembaga pemerintahan lainnya.

Lalu kendala lainnya yang dialami oleh pelajar kelas menengah adalah akses perangkat belajar mereka. Tidak banyak para pelajar kelas menengah bawah yang memiliki perangkat belajar yang memadai seperti laptop dan komputer. Handphone yang para pelajar kelas menengah miliki pun bukanlah hanphone yang memadai dengan spesifikasi yang memumpuni, banyak pelajar kelas bahwah yang mengeluh hanphone mereka menjadi mudah panas dan mengalami kerusakan karena harus terus digunakan sebagai alat belajar online. Kebutuhan ini lagi-lagi menjadi PR tersendiri bagi orang tua kelas menengah dalam memfasilitasi kegiatan belajar anak mereka.

Kendala yang ditemui lainnya adalah pengajar yang kurang kompeten dari sekolah untuk kelas bawah. Banyak dari guru di sekolah kalangan  kelas bawah yang nyatannya masih gagap teknologi khususnnya untuk digunakan sebagai alat belajar. Di awal adannya kebijakan pembelajaran online banyak guru yang bingung bagaimana harus bisa mengajar dengan menggunakan teknologi. Mereka yang biasa hanya menggunaka hanpdone sebagai alat komunikasi sekedarnnya seperti telepon dan mengirim pesan kini harus bisa menggunakan media dan metode yang tepat untuk mengajar. Untuk sekolah kalangan kelas atas rasannya hal ini tidaklah begitu sulit, karena tenaga pengajar yang mereka miliki lebih kompeten dan lebih terbiasa dengan mengakses teknologi membuat mereka tidak membutuhkan adaptasi yang lama untuk perubahan, namun untuk pengajar dari kelas bawah banyak yang tergagap sehingga pengajaran mereka menjadi tidak maksimal dan cenderung seadannya.

Banyak guru yang akhrinnya hanya sekedar memberi tugas dari buku tanpa mengajarkan materi secara maksimal. Sistem pengajaran mereka pun tak pernah medapat pengawasan serius dari pihak sekolah karena sekolah pun tidak melakukan pengawasan ketat untuk menjaga kualitas pengajaran seperti yang dilakukan oleh sekolah kelas atas.

Pengajaran yang tidak maksimal tersebut akhirnnya membuat banyak pelajar kelimpugan. Materi yang tidak tersampaikan dengan baik, dan penyerapan penalajaran yang tidak maksimal membuat mereka sangat kesulitan. Untuk pelajar dari kelas atas mungkin mereka masih bisa mendapat sedikit bantuan dari orang tua mereka, seperti diberikan les online tambahan dan juga sedikit diajarkan oleh orang tua mereka sendiri, karena orang tua mereka yang berpendidikan. Orang tua dari pelajar kelas bawah cenderung tidak acuh mengenai kendala belajar anak-anak mereka, bahkan banyak anak yang mengeluh karena tetap harus membantu orang tua mengurus pekerjaan rumah atau bekerja karena dianggap tidak belajar ke sekolah bahkan tidak sedikit dari mereka yang di minta bekerja saat pelajaran sedang berlangsung. Orang tua pelajar kelas bawah pun banyak yang tidak mengenyam pendidikan layak sehingga mereka juga kesulitan untuk mengajari dan membimbing anak mereka saat belajar dan mengerjakan tugas, sedangkan orang tua kelas bawah juga tidak memiliki pendapatan yang besar untuk bisa memberikan les tambahan.

Banyaknnya kendala yang dialami oleh pelajar kelas bawah ini menunjukan seolah pendidikan online ini adalah sistem pendidikan untuk kaum borjuis saja. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kelas sosial menentukan akses pendidikan mereka. Pendidikan seolah hanya menyasar mereka yang dari kelas sosial atas karena untuk mengaksesnya membutuhnkan banyak modal.

Karl Marx sendir dalam teorinnya membagi kelas sosial menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Pembagian kelas ini dibagi oleh karl marx berdasarkan kepemilikan modal kapital mereka[1] (Frans, 2010:110). Dalam konteks pendidikan nyatanya kelas soial ini tetap ada, yaitu pelajar dari kelas atas yang memiliki modal berupa fasilitas belajar yang memadai dan kelas sosial bawah yaitu mereka yang tidak memiliki modal ekonomi besar dan fasilitas belajar yang memadai.

 

Dalam pemikiran Karl Marx, dia mengatakan ekonomi sebagai arsitek kehidupan, dimana basis ekonomi sebagai suprastruktur menentukan institusi sosial atau infrastruktur lainnya. salah satu infrastruktur tersebut adalah pendidikan. Dalam strategi konflik marxisme modern menurut Stephen K Sanderson (1992:12) mereka melihat bahwa pertama, kehidupan sosial merupakan arena konflik. Kedua, sumber daya ekonomi adalah hal yang penting. Ketiga kelompok masyarakat terbagi  menjadi kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi[2]

 

Kelas sosial nyatannya mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Zahra (2018: 86) ditemukan bahwa kelas sosial menengah atas lebih diuntungkan dalam arena persaingan sekolah[3]. Sejalan dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Dzikri Multazamudz (2017: 124) menunjukkan hasil yang sama dimana kelas sosial menengah keatas memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berhasil karena habitus belajar dan fasilitas belajar mereka lebih baik dari pada mereka yang dari kelas sosial bawah[4].

 

Salah satu alasan mengapa pendidikan kita hanya dimenangkan oleh kelas sosial atas bisa kita lihat menggunakan teori kelas Karl Marx. Pendidikan dalam pandangan Karl Marx haruslah menjadi institusi yang digunakan untuk meruntuhkan kapitalisme (Robin Small, 2014)[5]. Namun kini, kapitalisme telah menguasai pendidikan. Adanya perbedaan kualitas antara sekolah kelas atas dan sekolah kelas bawah merupakan salah satu buktinnya. 

 

Dimasa pandemi kini, kelas bawah semakin tidak berdaya dalam mengakses pendidikannya. Kelas bawah telah mengalami kekalahan dalam pertarungan kelas dalam bidang pendidikan. Keterbatasan akses fasilitas karena ekonomi yang tidak memadai menunjukan bahwa kelas bawah tidak dapat melawan kapitalisme yang telah masuk dalam pendidikan dan diperparah oleh keadaan pandemi yaitu dengan di adakannya sitem pembelajaran online.

 

Pemerintah pun rasa-rasannya  tidak berbuat banyak dalam mengatasi hal ini. Pemberian kuota belajar merupakan salah satu langkah yang sudah dilakukan dan cukup berhasil. Namun, dalam mengatasi akses perangkat belajar masih kurang. Jika pemerintah Malaysia berani membagikan ponsel untuk media belajar saat pemebelajaran online, Indonesia hanya bersandar pada bantuan uluran donasi dari orang-orang yang mau mendonasikan alat elektronik bekas mereka saja, ini pun tanpa campur tangan dari pemerintah.

 

Jadi kesimpulan yang bisa kita lihat dari tulisan ini adalah memang nyatannya ketimpangan akses belajar antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah nyata adannya. Kualitas sekolah dan pengajar dari kelas sosial atas dan kelas sosial bawah memiliki gap yang sangat besar, perbedaan kulitas ini terasa dari sistem pembelajaran online maupun offline. Adanya pandemi yang mengharuskan dibuatnnya sistem pembelajaran online membuat gap atau jurang pemisah antara kelas sosial atas dan bawah semakin jelas, akses perangkat fasilllitas penunjang pembelajaran mereka sangat berbeda sehingga membuat pelajar kelas sosial bawah lebih tertekan dalam bersaing di arena pendidikan.

Sumber :

[1] Frans Magnis Suseno (2010). Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme ke Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka utaa. Hlm 110

[2] Stephen K. Sanderson : 1992:12 Sosiologi Makro. Jakrta Rajawali Pers

[3] Siti Zahra, Skripsi:  Sekolah Formal Sebagai Arena Reproduksi Sosial.(Jakarta : UIN Jakarta, 2018). Hal.86

[4] Mumtazmudz Dzikri, Skripsi : Pendidikan Dan Reproduksi Kelas Sosial. (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2017). Hal. 124.

[5] Robin Small.2014. Marx sang Pendidik Revolusioner. Resist Book

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun