Saya sedang bercocok tanaman tomat.
Saya memang senang sekali bercocok tanam. Entah kenapa mereka menyebutnya 'bercocok', mungkin karena memang haruslah tangan yang cocok yang mampu membuat sebuah tanaman bertumbuh. Mereka bilang hobi, saya bilang seni. Ya, seni bercocok tanam. Tanaman yang saya sukai adalah tanaman yang memiliki hasil, berbuah bukan berbunga dan bukan tanaman cantik atau tanaman hias.
Saya selalu bergairah melakukan seni ini. Mulai dari memilih jenis tanamannya (biasanya saya memilih dan berkonsentrasi pada satu jenis dahulu, jika berhasil saya akan mencoba pada jenis tanaman lainnya), 'hunting' di toko tanaman atau pertanian, browsing mengenai ilmu dan cara bercocok tanam tersebut. Kemudian memilih media yang sesuai, contohnya seperti memilih wadah tanamannya (bentuk pot atau lahan), jenis tanah, jenis lingkungan - apakah cocok di daerah panas, dingin, lembab atau daerah berhujan. Memilih jenis pupuk yang sesuai dan mungkin lebih lanjut ke jenis sistem stem atau pencangkokannya (walaupun sampai saat ini belum - baru membaca-baca caranya saja. Itu karena saya masih memilih jenis-jenis yang mudah dahulu).
Saya juga menikmati setiap prosesnya. Mulai dari menanam benihnya, menggali lobang-lobang kecil untuk menempatkannya. Ketika seluruh jemari saya menyentuh, baik tanah kering, gembur atau basah. Tanah-tanah itu kotor di sela-sela jari saya. Kadang beberapa masuk ke sela-sela kuku saya yang terbilang sedikit panjang. Saya memang tidak pernah bersarung tangan pada saat bercocok tanam. Hmm.. Bukan tidak pernah, pada awalnya saya melakukannya. Bersarung tangan, lengkap dengan topi lebar penangkal panas matahari, dengan apron khusus berkebun, tetapi tidak sampai mengenakan sepatu bot. Yah.. kalau dilihat mungkin menyerupai gaya model di sampul majalah tanaman atau majalah hobi berkebun. Sekali dua kali terlihat proporsional dan tentu saja profesional, lama-lama agak sedikit menyulitkan gerak-gerik saya. Kemudian satu persatu saya lepas. Mula-mula dari topi. Saya pikir untuk apa? Waktu saya bercocok tanaman lebih sering di pagi hari saat matahari masih ramah. Saya suka paparan matahari yang kadang menyilaukan dan menghangatkan wajah saya, tengkuk dan seluruh kulit bagian tubuh saya, katanya mengandung vitamin D.
Keringat dari ujung kepala bisa saya rasakan gerakannya. Tetesannya turun dari sela-sela rambut ke leher, punggung, betis sampai ujung pergelangan kaki, aromanya. Saya suka aroma keringat. Rasanya seperti sedang bersenggama dengan tubuh sendiri (walaupun tidak bisa dipungkiri dengan partner tentunya lebih menyenangkan). Jika matahari semakin tinggi dan menjadi terik, bagi saya juga bukan suatu masalah. Saya tidak takut kulit saya menjadi hitam, nanti juga akan kembali seperti semula, itu pikir saya. Kemudian saya melepas apron. Tidak ada gunanya. Sebaik apapun saya memakainya, dari pengalaman saya selalu ada saja bagian pakaian yang akan terkena oleh warna coklat tanah basah. Bukankah fungsi apron untuk melindungi pakaian dari kotoran selama bercocok tanam? Pada akhirnya pakaian itu juga akan dicuci, akan bersih. Terakhir sarung tangan. Entah kenapa saya mengangap tanaman dan tanah juga memiliki nyawa. Tidak enak rasanya sesuatu yang bernyawa disentuh oleh sesuatu yang tidak bernyawa seperti sepasang sarung tangan.
Terkadang warna coklat juga menghiasi dahi, muka dan bagian dagu. Keringat deras yang menetes membuat saya sesekali menyekanya dengan punggung tangan saya yang baru saja memegang tanah. Rasanya sungguh berbeda di wajah saat saya membubuhkan warna-warni make up. Ya, saya termasuk kategori perempuan yang senang berdandan. Ketika menyentuh tanah, benih atau bibit-bibit mungil seperti ada koneksi tersendiri yang membuat saya merasa hidup. Hidup bukan sekedar hidup tetapi menikmati setiap prosesnya, detiknya, menitnya, sehingga berjam-jam rasanya cepat sekali bergulir. Makanya saya suka kesal kalau lagi menikmati diri di tengah kesibukan bercocok tanam tiba-tiba dipanggil untuk sesuatu yang tidak penting. Kadang kala saya juga menemukan cacing-cacing penggembur tanaman yang ada pada gundukan-gundukan tanah media tanaman saya. Saya suka memperhatikan geliat mereka, seperti menari dalam gerakan lambat. Meregang, mengerut, membentuk lingkaran bahkan menggelinding, tentu saja dengan jarak yang ektra 3m; mini mili meter. Lucu, gerakan mereka sangat menarik. Entah kenapa saya juga merasa mereka bahagia disentuh langsung oleh sepasang tangan. Maksud saya, mereka adalah benih atau bibit, tanah, pucuk daun bahkan cacing-cacing tadi (walaupun untuk cacing biasanya saya tidak secara langsung berkeinginan untuk memegangnya, biasanya tidak sengaja terpegang).
Ini hanya pelajaran kecil bagaimana saya bisa begitu menikmati seni bercocok tanam tadi. Saya ingin menceritakan yang sedikit lebih besar, sedikit saja.
Satu bungkus bibit tomat dalam bentuk biji sudah saya beli, letak tokonya dekat dengan kantor, sedikit jalan, sampai. Mereka bilang menanam tomat mudah. Selain postur tanamannya pendek sehingga tidak membutuhkan banyak lahan luas (kecuali menanamnya untuk bisnis dan diperjual belikan), tanaman tomat yang membutuhkan hampir 80% air cocok di segala iklim daerah, dingin maupun panas. Walaupun menurut panduan beberapa situs bercocok tanam mereka tidak menganjurkan menanam tanaman ini di musim hujan. Meski tomat tumbuhan yang mengandung banyak air, wadah yang dipakai tidak boleh digenangi air terlalu banyak. Hal tersebut bisa mematikan akarnya yang memang sangat halus, seperti bulu-bulu tumbuhan kapas (kalau pernah melihatnya). Sehingga menanamnya pada musim hujan akan membutuhkan waktu lebih banyak dalam hal pemeliharaan kelembaban wadah tanaman tomat dibandingkan dengan menanamnya di musim lain. Tetapi saya menanamnya di musim hujan. Bulan Januari.
Mulanya bibit hanya membutuhkan satu wadah yang cukup besar untuk menanam benih bijinya. Dalam dua atau tiga minggu mereka sudah tumbuh menjadi pucuk-pucuk batang tomat yang subur dengan serabut akar yang banyak. Minggu berikutnya pucuk-pucuk batang tersebut sudah harus mulai dipisahkan. Bagi saya tanaman layaknya jiwa manusia. Sama seperti orang tua mulai memisahkan letak tempat tidur anak-anak mereka ketika mereka mulai beranjak dewasa dan berkembang dengan keunikan pribadi mereka masing-masing. Bukankah setiap jiwa memang mengharapkan keutuhan bagi ruang gerak mereka sendiri (tentu saja ini gambaran idealis pertumbuhan jiwa seorang manusia).
Dari satu pot besar saya bisa menghasilkan lima pot untuk setiap pucuk-pucuk baru. Saya pun harus memastikan setiap pucuk baru tersebut memiliki ruang yang cukup untuk tumbuh dan berkembang, tidak boleh terlalu sempit dan dalam satu pot idealnya hanya boleh satu akar. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor saya juga harus memastikan bahwa mereka cukup minum air. Tentu saja sambil memperhatikan putri saya agar mendapat asupan yang cukup juga untuk sarapan paginya. Hal tersebut berlangsung kira-kira enam minggu lamanya. Memang agak sedikit menyulitkan ketika saya bersikeras memutuskan untuk bercocok tanam di musim hujan. Itu berarti saya juga harus ektra perhatian agar rajin sesekali memindahkan pot tersebut dari tempat yang cukup mendapat sinar matahari. Memindahkan ke tempat aman dan jauh dari curah yang berlebihan ketika hujan turun. Bolak-balik seperti itu. Cukup repot, tapi itu pilihan saya. Bukankan mereka sudah bilang, tidak menganjurkan menanam tanaman tomat di musim hujan? Lalu kenapa saya tetap memaksakan diri? Begitu seterusnya setiap hari.
Hingga suatu ketika, pagi itu seperti biasa setelah bangun dari tidur saya langsung keluar, ingin menyapa selamat pagi semua makhluk bernyawa termasuk penghuni baru rumah, si pucuk-pucuk tanaman tomat. Memberinya minum. Saya baru tersadar bahwa semalam hujan cukup deras dan saya tidak menduga bahwa hujan baru berhenti di keesokan harinya, subuh. Kelima pot pucuk tomat tergenang air cukup banyak. Saya dengan segera membuang kelebihan airnya, menaruh mereka di tengah taman kecil saya, tepat dibawah matahari. Berharap permukaan media tanah yang basah itu segera mengering karena saya tidak tahu sudah berapa lama mereka tergenang air. Mereka saya tinggal, saya harus segera berangkat ke kantor. Sepulangnya ke rumah, saya mencoba memeriksa tanaman tomat tersebut dan saya sangat terkejut mendapati bahwa ada satu pot tanaman yang batangnya patah. Mungkin terpaan air yang kencah mematahkan batangnya yang masih kecil, bertubi-tubi. Dari kondisinya yang layu rasanya sukar sekali dia bisa kembali tumbuh dan berkembang. Tetapi entah kenapa rasanya saya tidak tega, enggan dan tidak ingin mencabut serabutnya yang sudah mengakar dan bersatu dengan tanah dalam pot yang sudah cukup mengering. Saya tak ingin membuangnya, semudah itu, begitu saja. Saya ingin dia hidup, sama seperti yang lainnya. Ditanam bersama-sama dan bertumbuh bersama. Tidak kehabisan akal, saya mencoba mencari ranting atau dahan kayu yang berukuran kecil, batang tomat yang rapuh itu harus ditopang. Dia hanya butuh sandaran, dia pasti kuat dan dia pasti bisa tumbuh kembali. Hari-hari berikutnya perlakuan saya masih tetap sama tidak ada yang berbeda, tidak istimewa.
Seminggu sudah berlalu. Suatu pagi yang baru. Saatnya bercengkrama dengan mereka, tanaman - tanaman yang senantiasa memberikan hasil, buahnya. Termasuk karya seni yang baru, si tanaman tomat, kelima-limanya. Sungguh mencengangkan ketika melihat si tanaman tomat yang rapuh, dia tumbuh subur, menjulang dengan batang yang lebih kokoh bahkan lebih subur dengan diameter yang lebih lebar dibanding batang-batang tanaman tomat lainnya. Ia cantik, kuat. Entah kenapa saya menjadi terharu menatapnya, sangat tersentuh. Keputusan saya tepat saat itu. Saya tidak membiarkannya mati begitu saja, sia-sia setelah enam minggu bertumbuh dan batangnya patah dalam semalam, diterpa hujan yang deras. Saya memberinya kesempatan untuk hidup, memberinya sebuah sandaran untuk bertahan, mengejar ketinggalannya dengan pucuk-pucuk lain yang tidak patah saat itu. Hanya dengan bantuan ranting kayu kecil sebagai penopangnya, ia bertahan. Memperbaiki kerusakannya, kepatahannya, beradaptasi dengan kesakitannya ketika hampir punah. Sejenak saya tertegun. Jika sebuah tanaman mampu mengolah raganya (pucuk batang tanaman) yang hampir mati untuk memperkuat kehidupannya. Sebesar apa yang mampu dilakukan oleh manusia untuk merekonstruksi jiwanya yang mungkin pernah terluka, patah, kecewa dan sakit. Bukankah kita akan mampu melakukannya lebih dari itu?
Dia hanya sepucuk batang tanaman tomat yang patah sebelumnya. Sekarang dia tanaman tomat yang tangguh dan saya menantikan dia untuk berbuah. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H