Seminggu sudah berlalu. Suatu pagi yang baru. Saatnya bercengkrama dengan mereka, tanaman - tanaman yang senantiasa memberikan hasil, buahnya. Termasuk karya seni yang baru, si tanaman tomat, kelima-limanya. Sungguh mencengangkan ketika melihat si tanaman tomat yang rapuh, dia tumbuh subur, menjulang dengan batang yang lebih kokoh bahkan lebih subur dengan diameter yang lebih lebar dibanding batang-batang tanaman tomat lainnya. Ia cantik, kuat. Entah kenapa saya menjadi terharu menatapnya, sangat tersentuh. Keputusan saya tepat saat itu. Saya tidak membiarkannya mati begitu saja, sia-sia setelah enam minggu bertumbuh dan batangnya patah dalam semalam, diterpa hujan yang deras. Saya memberinya kesempatan untuk hidup, memberinya sebuah sandaran untuk bertahan, mengejar ketinggalannya dengan pucuk-pucuk lain yang tidak patah saat itu. Hanya dengan bantuan ranting kayu kecil sebagai penopangnya, ia bertahan. Memperbaiki kerusakannya, kepatahannya, beradaptasi dengan kesakitannya ketika hampir punah. Sejenak saya tertegun. Jika sebuah tanaman mampu mengolah raganya (pucuk batang tanaman) yang hampir mati untuk memperkuat kehidupannya. Sebesar apa yang mampu dilakukan oleh manusia untuk merekonstruksi jiwanya yang mungkin pernah terluka, patah, kecewa dan sakit. Bukankah kita akan mampu melakukannya lebih dari itu?
Dia hanya sepucuk batang tanaman tomat yang patah sebelumnya. Sekarang dia tanaman tomat yang tangguh dan saya menantikan dia untuk berbuah. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H