Apa itu hustle culture?
Apa itu hustle culture?
Hustle Culture atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan budaya hiruk pikuk merupakan budaya yang menormalkan untuk bekerja keras secara terus menerus dan mendedikasikan hidup untuk bekerja tanpa mengenal lelah sampai mencapai kesuksesan. Hustle culture dikenalkan oleh Wayne Oates pada tahun 1971. Hustle culture juga sering dikenal sebagai workaholism yang merupakan bentuk dari rasa suka untuk bekerja secara terus menerus dan menganggap pekerjaan sebagai prioritas utama.
Hustle culture sering ditemukan di lingkungan pekerja. Berdasarkan Oxford Learner Dictionary, fenomena ini mulai muncul karena adanya perkembangan industri yang semakin pesat sehingga para pekerja dituntut untuk bekerja dengan cepat serta tepat dan berakhir menjadikan hal tersebut sebagai sebuah budaya di lingkungan pekerja atau buruh. Saat ini budaya hiruk pikuk ini semakin menggila karena adanya perkembangan teknologi yang menjadikan proses bekerja menjadi lebih cepat dari sebelumnya.
Budaya ini dapat dengan mudah mengakar di masyarakat karena banyak orang yang meyakini jika sukses akan muncul jika bekerja keras tanpa lelah dan tidak adanya batasan atau aturan yang jelas antara kehidupan profesi dan pribadi. Contohnya ketika pimpinan pekerjaan yang tetap menghubungi karyawan tanpa mengenal waktu untuk mengerjakan sesuatu dan karyawan pun akan melakukan hal tersebut karena menganggap adanya tuntutan yang harus diselesaikan.
Saat ini hustle culture atau budaya hiruk pikuk tidak hanya berkembang di lingkungan pekerja, namun juga di lingkungan mahasiswa. Bekerja dengan keras memang tidak salah dilakukan oleh pekerja atau mahasiswa, namun hal tersebut akan berdampak negatif jika seseorang hanya ingin bekerja tanpa memperdulikan aspek hidup lainnya. Tak sedikit mahasiswa yang juga bekerja sangat keras tanpa lelah dalam segala bidang. Alasan budaya ini berkembang di lingkungan mahasiswa adalah karena adanya perasaan takut akan ketertinggalan atau saat ini lebih sering disebut dengan perasaan fear of missing out (FOMO) dan insecure atas pencapaian orang lain. Perasaan takut akan ketertinggalan dan insecure tersebut yang menyebabkan mahasiswa berusaha melakukan segalanya tanpa memiliki tujuan serta rencana yang jelas.
Sebenarnya tak masalah jika memang memiliki keinginan untuk bekerja keras dan menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama. Namun hal tersebut akan membawa dampak yang buruk jika menjadikan kita lalai atas prioritas dan aspek hidup lainnya.
Saat ini banyak orang yang tanpa sadar melakukan hustle culture dalam kehidupannya. Di zaman yang semakin maju, lingkungan menjadi lebih kompetitif. Produktivitas tanpa batas terus digaungkan oleh para pekerja atau bahkan mahasiswa karena berusaha memenuhi standar kehidupan di lingkungan masyarakat, yaitu di mana jabatan, pencapaian, dan kondisi keuangan yang mapan merupakan suatu tolak ukur atas kesuksesan seseorang.
Kesibukan kerap diartikan sebagai bentuk kesuksesan sehingga masih banyak yang mengasumsikan bahwa semakin sibuk seseorang maka orang tersebut semakin sukses. Hal tersebut juga menjadi alasan adanya budaya hiruk pikuk.
Selain untuk memenuhi standar hidup, tren memamerkan kesibukan di dunia maya juga dapat menjadi pemicu dari hustle culture di kalangan anak anak muda. Membagikan kesibukan di dunia maya atau media sosial dilakukan karena ingin menunjukan bahwa mereka merupakan pekerja keras dan memiliki dedikasi yang tinggi atas apa yang dilakukan.
Hal tersebut menyebabkan para pengguna media sosial lainnya beranggapan bahwa menjadi sibuk merupakan hal yang keren dan extraordinary sehingga mendorong pengguna lain untuk memamerkan kesibukannya dengan tujuan untuk mendapatkan atensi dari masyarakat sebagai pribadi yang sukses tanpa menyadari efek samping dari seorang yang menjunjung hustle culture dalam bekerja. Hal hal tersebut yang menjadi faktor bagaimana hustle culture marak di kehidupan masyarakat tanpa disadari.
Faktor penyebab hustle culture
Selain faktor tuntutan masyarakat dan pengaruh media sosial, berikut penyebab lain dari adanya hustle culture di kalangan pekerja.
Toxic positivity merupakan pemikiran atau paham mengenai sesulit apapun keadaan yang ada kita tetap harus berpikiran positif. Hal tersebut mengakibatkan emosi negatif yang seharusnya diterima menjadi tertahan. Toxic positivity memaksa seseorang untuk selalu optimal walaupun kondisi sedang tidak baik, hal ini dapat menyebabkan kurang optimalnya hasil yang dikerjakan atau dampak yang buruk untuk kesehatan fisik dan mental, karena dapat menyebabkan stress dan gangguan kecemasan.
- Tidak mengenali diri sendiri
Tidak mengenali diri sendiri juga berarti tidak memahami batasan diri, sehingga tanpa disadari memaksa seseorang untuk melakukan segala hal. Hal ini sering dilakukan karena adanya perasaan tertinggal atas pencapaian orang lain dan tidak adanya tujuan atau career goal yang ingin dicapai secara jelas. Tidak mengenali diri sendiri dapat menyebabkan hal buruk, karena dapat menyebabkan kelelahan secara fisik dan mental karena berusaha untuk mengikuti standar kesuksesan orang lain.
- Perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi mempermudah untuk melakukan komunikasi dan segala pekerjaan. Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab hustle culture karena dengan kemudahan tersebut orang orang menormalisasikan bekerja di manapun dan kapanpun tanpa adanya batasan sehingga mulai berpikir untuk dapat melakukan semua hal sekaligus.
Dampak hustle culture
Berikut beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari hustle culture
- Burnout
Burnout merupakan kondisi lelah secara fisik, emosi, dan mental. Burnout dapat mengakibatkan demotivasi dan rasa malas yang dapat mengakibatkan tidak produktif dalam bekerja. selain itu, burnout juga dapat menyebabkan permasalahan seperti tidak stabilnya emosi atau bahkan permasalahan kesehatan seperti sakit kepala yang parah.
- Tidak ada waktu untuk diri sendiri
Dengan terus memaksakan diri untuk melakukan pekerjaan, dapat menyebabkan waktu untuk diri sendiri berkurang. Waktu untuk diri sendiri merupakan salah satu hal yang penting dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dan mengembalikan kesehatan fisik serta mental setelah melakukan pekerjaan atau sering disebut dengan “work-life balance”.
- Merasa selalu kurang puas
Orang yang terjebak dalam budaya ini sulit untuk berhenti membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan cenderung tidak pernah merasa puas. Untuk memenuhi standar yang tidak realistis, mereka akan bekerja lebih banyak hanya untuk dianggap sukses.
Cara menyikapi hustle culture
Berikut beberapa cara dalam menyikapi budaya hiruk pikuk dalam pekerjaan sehari-hari
- Berhenti membandingkan diri dengan orang lain
Membandingkan diri dapat membuat kita tidak peduli atas tujuan hidup dari diri kita sendiri. Ketidakpedulian itu dapat mengakibatkan hal yang buruk atas kehidupan pribadi kita. Setiap orang memiliki waktu, kecepatan, dan standar sukses masing masing. tidak ada kata terlalu cepat atau terlambat untuk mencapai mimpi masing masing individu
- Realistis terhadap target
Buatlah jadwal keseharian dengan target yang nyata sehingga jumlah pekerjaan yang dikerjakan dapat sesuai dengan kemampuan diri sendiri dan terorganisir dengan baik.
- Mencari hobi di luar pekerjaan
Dengan memiliki hobi di luar ranah pekerjaan, kita bisa memiliki waktu untuk mengenal diri sendiri dan mengetahui apa saja yang dapat dilakukan untuk menghibur diri sendiri sebagai bentuk “reward” atas apa yang telah dilakukan agar tetap menjunjung prinsip “work-life balance”
Itu tadi penjelasan mengenai budaya hiruk pikuk atau hustle culture yang mengakar di masyarakat. Budaya tersebut lumrah terjadi di lingkungan pekerja maupun mahasiswa. namun ada beberapa cara untuk menyikapi kultur tersebut agar kita tetap bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H