Akhir-akhir ini, fenomena Japan Pop Culture atau acara kebudayaan Jepang semakin marak terjadi di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Terdapat beberapa budaya populer Jepang yang dapat dinikmati masyarakat dari berbagai kalangan, sebut saja anime (animasi), game, manga (komik), J-music, hingga dorama (drama televisi). Hal ini akhirnya berujung menjadi sebuah proses sosial kebudayaan asing di Indonesia, yaitu munculnya gaya berbusana khas anime (cosplay) sebagai salah satu seni kreativitas di acara kebudayaan Jepang.
Cosplay adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan meniru gaya berpakaian dan bertindak sebagai karakter manga, anime, video game, tokusatsu dan seterusnya. Dari cosplay, muncul istilah lain yaitu cosplayer, atau orang yang melakukan cosplay. Kegiatan ini banyak dilakukan di acara Japan Pop Culture, atau lebih umum disebut sebagai 'event Jepang', dan dianggap sebagai sarana untuk mengekspresikan karakter yang disukai, atau bahkan menciptakan identitas baru.
Namun pada beberapa tahun terakhir, muncul sebuah fenomena dalam komunitas cosplay, yang disebut sebagai crossplay. Istilah ini adalah singkatan dari 'crossdressing' dan 'cosplay', yang mengacu pada tindakan memakai kostum yang umumnya dikenakan oleh lawan jenis. Simpelnya, laki-laki menggunakan kostum karakter perempuan dan begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang melakukan ini dapat disebut juga sebagai crossdresser.
Saya pernah pergi ke acara tersebut untuk menemani teman berfoto dengan para cosplayer. Saya melihat ada banyak sekali crossdresser, dengan jumlah crossdresser perempuan lebih banyak daripada laki-laki, meskipun belum tentu di event lainnya juga seperti itu. Teman saya akhirnya mengenalkan saya pada beberapa crossdresser dan kami akhirnya mengobrol ringan. Sepanjang mengobrol, saya mendapatkan beberapa alasan mengapa kegiatan ini dilakukan :
1. Sebagai sarana untuk bersenang-senangÂ
Banyak crossdresser yang hanya ingin melepas suntuk atau bosan dengan cara berpakaian yang berbeda dari gender mereka. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menyenangkan hati sendiri dengan membuat orang tertawa. Mungkin bentuk jawabannya akan seperti, "Ya, seru aja," atau "Sekali-kali lah, kan pas event doang.", akan menjadi jawaban saat mereka ditanya.
2. Sebagai aksi prank
Crossdress dapat dimaksudkan untuk membuat lelucon atau memberi kejutan yang bersifat sensasional. Misalnya, munculnya reaksi kaget dari pengunjung saat mengetahui pelaku karakter perempuan yang mereka sukai diperankan oleh laki-laki, ataupun sebaliknya. Namun sepertinya kekagetan ini lebih banyak muncul terhadap crossdresser laki-laki yang menjadi karakter perempuan.
3. Ingin mencoba hal baru
Penikmat event Jepang didominasi oleh remaja hingga dewasa muda yang penuh dengan rasa keingintahuan. Crossdress dapat menjadi salah satu kegiatan yang mengundang rasa penasaran muncul, "Bagaimana sih rasanya menjadi karakter yang berbeda gender?", atau "Gimana ya rasanya pake rok?" mungkin akan muncul di benak mereka.
4. Menonjolkan sisi maskulin atau feminin seseorang
Sisi maskulin ataupun feminim tidak serta merta terkait dengan gender. Carl Jung dengan konsep anima animus sebagai salah satu bentuk arketipe menyebutkan bahwa sifat feminin dapat dimiliki oleh pria dan sifat maskulin bisa dimiliki wanita. Crossdress mungkin menjadi salah satu bentuk interpretasi dalam menyalurkan sifat anima animus ini, dimana ketika seseorang melakukan crossdress, mereka akan lebih leluasa bersikap 'berbeda' dari identitas gender yang mereka miliki di masyarakat.
5. Sebagai tantangan profesionalÂ
Melihat animo masyarakat yang begitu besar, saat ini cosplay telah menjadi sebuah profesi yang dapat menghasilkan uang. Banyak para cosplayer yang melakukan crossdress karena alasan profesional, seperti atas permintaan fans, membuat photobook/photocard atau poster, kebutuhan konten media sosial, mengikuti tren, hingga untuk menaikkan popularitas.
6. Alasan pribadi
Ada beberapa cosplayer yang memilih untuk tidak mengungkapkan alasannya, bisa karena malu atau ingin menjaga privasi.
Nah kira-kira dari jawaban tersebut, apakah ada salah satu alasan yang mendorong teman-teman crossplayer melakukan crossplay? Apapun alasannya, yang terpenting adalah kegiatan cosplay ataupun crossplay harus dilakukan dengan tetap mengikuti etika dan norma masyarakat yang berlaku, begitu pula dengan para pengunjung. Yuk, ciptakan lingkungan event Jepang yang sehat dan menyenangkan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI