“Deni, ayo Ayah temani ke kelas.” kata Ayah sekali lagi, lalu Deni merasakan pundaknya dipegang oleh tangan yang besar. Deni mengangkat wajahnya lalu terkejut melihat ayahnya sudah berdiri di depannya.
“Ayah? Kok Ayah di sini???” seru Deni kaget sekaligus senang.
“Ayo, jangan takut. Nanti Ayah akan bicara dengan bu guru soal teman-temanmu.” Ayah membantu Deni berdiri, lalu menggandeng tangannya menuju ke kelas. Deni langsung menancapkan wajahnya ke dada ayahnya lalu menangis dalam pelukan ayahnya. Ayah sangat terkejut dengan sikap Deni, dikiranya Deni terlalu takut untuk masuk ke kelas karena teman-temannya yang sangat jahat.
“Deni, ayo jangan takut. Ayah yang akan bicara dengan guru.” kata-kata Ayah ditujukan untuk menghibur hati Deni, tapi Deni justru semakin takut.
“Ayah.. jangan bilang sama guru. Deni mau ngaku.” dilepaskannya kedua tangan yang sedang memeluk pinggang Ayah.
“Mau ngaku? Mengaku apa Deni?” tanya Ayah bingung melihat sikap Deni.
“Seee.... se... sebenarnya Deni sudah berbohong.” ucap Deni akhirnya. Matanya mulai memanas dan terasa ada air yang akan mengalir ke luar. Ingin sekali Deni membendungnya, tapi sulit sekali menahan perasaan yang dari tadi menghantuinya.
“Berbohong tentang apa?” Ayah semakin bingung dengan penjelasan itu.
“Huu... huuu.. Deni bilang ke teman-teman kalau Ayah punya mobil baru.” katanya sambil menangis, air matanya benar-benar keluar! Bersamaan dengan itu, batu besar yang menyumbat nafasnya serasa hilang seketika.
“Oh, jadi itu yang membuat kamu tidak mau diantar ke sekolah?” Ayah bertanya dengan tegas pada Deni. Suara Ayah terdengar berat dan menakutkan, mungkin sekarang Deni akan dipukul.
“Iya... huuuu... Ayah, maafkan Deni.” pinta Deni sungguh-sungguh.
“Deni, lihat Ayah.” kata Ayah dengan tegas, tapi Deni tidak berani melihat wajah Ayah. Deni mengira, mungkin Ayah sudah bersiap-siap memukulnya.
“Deni, lihat mata Ayah.” sekali lagi Ayah berkata begitu sambil menarik dagu Deni dengan lembut. Sekarang Deni mendongak ke atas, melihat wajah Ayah dengan jelas. Seperti yang ditakutkannya, wajah Ayah kelihatan sedang marah, dan gerakannya melihat jam tangan menunjukkan bahwa waktu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bicara panjang. Aduuh pastilah Ayah akan menyelesaikan ini dengan cepat, dengan satu pukulan besar di pantat mungkin, atau di kepala?? Tapi ternyata Ayah tidak melakukannya. Ditatapnya wajah anaknya itu dengan cermat.
“Ayah memaafkan." Kata Ayah lembut.
"Ayah, benar-benar tidak marah??"
"Tentu saja Ayah marah, tapi sekarang sudah selesai. Tuhan juga mengampuni orang yang mau meninggalkan dosanya. Jadi Deni tidak boleh bohong lagi?"
"Ya, Ayah." Deni mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Bagus, hari ini juga mintalah maaf kepada semua teman yang sudah Deni bohongi dan jelaskan semua yang sebenarnya." Kalimat Ayah itu tegas sekali.
Hah?? Deni mendongak terkejut, "Ayah, itu berat sekali."
"Memang berat, itulah akibatnya kalau berbohong." kata Ayah dengan tegas sambil menatap mata Deni.
“I, iya Ayah.” jawab Deni pasrah. Ayah memeluknya, mengelus kepalanya dengan lembut.
"Deni pasti bisa melakukannya, Tuhan akan menolongmu, Nak."
“Terima kasih Ayah.” Deni memeluk ayahnya erat-erat, menikmati pengampunan. Tapi dadanya berdegup kencang memikirkan apa yang akan dihadapinya hari ini. Mungkin teman-temannya akan kembali mengolok Deni anak orang miskin. Ditambah lagi dengan olok-olokan baru, Deni anak orang miskin yang mengaku kaya. Aduuuh berat sekali harus menanggung itu. Tuhan, berat sekali... tapi Deni mau mengaku saja hari ini. Biarlah mereka mengolok Deni anak orang miskin, yang penting Deni punya Ayah yang sangat baik.
Deni mengawali dengan satu kebohongan, tapi sekarang... tahukah kamu berapa kebohongan yang harus Deni selesaikan dengan jujur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H