Persoalan itu berada dalam lingkaran setan yang membuat mengapa begitu banyak orang di kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah, rela membayar ribuan dolar kepada sindikat penyelundup manusia, menyeberangi lautan dengan kapal seadanya, berdesakan dengan ratusan orang lain, serta kelaparan di tengah laut, menuju ke tempat yang mereka kira lebih aman. Sebelum ada Bali Declaration pun Bali Process sudah menyatakan perlunya menyelesaikan akar persoalan mengapa mereka menjadi pencari suaka atau pengungsi. Ini hal yang tidak mudah dan perlu komitmen politik yang kuat. Ini berarti perang dan konflik harus hilang. Terlalu utopis?
Lalu berkaitan dengan proses penentuan status pengungsi. Dalam poin ke-5 Bali Declaration disinggung tentang ‘effective and efficient screening process’. Ini hal baru yang melengkapi prinsip yang telah ada, yakni, perlakuan yang manusiawi dan berdasarkan prinsip hak asasi manusia. Alison Mountz, salah satu scholar bidang migrasi yang saya kutip dalam thesis, menyebutkan banyak alasan mengapa pencari suaka memilih membayar penyelundup manusia dan mengarungi lautan yang berbahaya.Â
Di antara alasan itu adalah the long tunnel thesis, yaitu, sebuah kondisi dimana pencari suaka harus melalui proses panjang selama bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian akan statusnya. Ini pun jadi persoalan karena negara ketiga yang mau menerima pengungsi pun masih akan berbicara, misalnya, tentang kuota. Banyak hal yang harus diselesaikan dalam urusan pencari suaka dan pengungsi. Bali Process adalah salah satu medianya. Bali Declaration yang dibanggakan telah diumumkan kepada publik. Kini, kita tinggal menunggu tindakan nyata dari semua pihak terkait.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H