Dua hari lalu (23/03/2016) sebuah event internasional baru saja selesai digelar di Bali. Tidak banyak orang yang peduli. Bagaimana saya tahu? Cukup mudah. Pertama, pemberitaan di TV dan media online. Kedua, Twitter. Tidak banyak yang peduli bukan berarti tidak penting. Hanya saja saya merasa punya dorongan untuk, setidaknya, menuliskan opini saya mengenai apa yang baru dalam event yang bernama The Sixth Bali Process Ministerial Conference on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crimes atau Konferensi Tingkat Menteri tentang Penyelundupan Manusia, Perdagangan Orang dan Kejahatan Lintas Nasional Lainnya ke-6. Sebut saja Bali Process.
Sederhananya, Bali Process adalah sebuah wadah yang dibentuk tahun 2002 oleh, utamanya, Australia dan Indonesia, bagi 43 negara anggota kawasan Asia Pasifik lainnya, 3 organisasi internasional (IOM, UNHCR, dan UNODC), serta 18 negara pengamat, untuk membicarakan urusan-urusan di atas. Salah satu yang saya soroti adalah tentang penyelundupan pencari suaka dan pengungsi yang termasuk di dalamnya. Thesis S2 saya pun mengenai persoalan ini.
Membaca dokumen hasil konferensi, pernyataan kedua Co-Chairs (Menlu Australia dan Indonesia) dan Bali Declaration, nuansa tragedi kemanusiaan Mei 2015 memang sangat terasa. Bulan Mei tahun 2015 bisa jadi merupakan salah satu waktu yang tak terlupakan bagi sebagian orang. Diantara orang-orang tersebut adalah ribuan manusia yang terombang-ambing tak berdaya di Teluk Benggala dan Laut Andaman, di atas perahu-perahu kayu yang dibuat seadanya dan diisi melebihi kapasitas seharusnya. Sebagian lainnya merupakan nelayan-nelayan Aceh yang masih memiliki empati terhadap kesusahan ratusan dari mereka, kemudian datang menolong, meski mereka akui para polisi tidak menyukai tindakan tersebut.
Sebagian dari kita merasa empati yang sama meski kita bukan pahlawan seperti nelayan-nelayan Aceh itu. Indonesia memang memiliki persoalannya sendiri yang masih sangat banyak, tetapi mereka membuktikan persoalan yang dihadapi tidak berarti menghentikan mereka dari menolong orang-orang yang terdampar, hampir mati di laut lepas, tidak tahu akan pergi kemana. Otoritas pemerintah, khususnya dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, mengkin mengingatnya dari sisi lain.Â
Ini bukan semata-mata urusan kemanusiaan. Ada politik yang terlibat di dalamnya. Awalnya mereka menolak menerima orang-orang itu dan mengembalikannya ke laut lepas dimana sudah ratusan orang mati karena terlalu lama di lautan tanpa logistik memadai. Saya sempat menyebut apa yang dilakukan tiga negara ini sebagai pingpong. Namun, karena tuntutan internasional untuk melaksanakan prinsip non-refoulement, ketiga negara pun akhirnya menerima. Sisanya adalah sejarah.
Menlu Australia dan Indonesia sendiri mengakui Bali Process gagal mengatasi tragedi tersebut. Dalam pernyataan-pernyataan Co-Chairs di tahun-tahun sebelumnya mereka tidak mengantisipasi adanya migrasi irregular dalam skala yang terjadi di bulan Mei 2015. Kali ini Bali Process mengakui perlunya adanya upaya kolektif dari anggota jika tragedi yang sama terjadi. Bisa dikatakan di atas dokumen yang tidak mengikat ini mereka tidak ingin permainan pingpong tersebut terulang kembali.Â
Sesungguhnya pernyataan itu bukan hal baru. Setiap negara, baik yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi maupun belum, wajib melaksanakan prinsip non-refoulement yang berarti tidak boleh menolak ketika ada pencari suaka atau pengungsi yang datang. Kemudian, dalam kerangka Bali Process sendiri sudah disepakati adanya pembagian tanggungjawab. Tentu hal yang terakhir ini bisa diinterpretasikan macam-macam sesuai kepentingan politik masing-masing pihak.
Tony Abbott, ketika itu masih menjabat Perdana Menteri Australia, menyebutkan tidak akan membantu dengan dalih Australia telah melakukan cukup banyak sesuai kewajibannya. Jika kita simpulkan, mengembalikan perahu-perahu pencari suaka yang menuju Australia ke perairan Indonesia, menempatkan pencari suaka di rumah detensi di Nauru dan Pulau Manus sehingga banyak dari mereka mencoba bunuh diri, serta mentransfer pengungsi ke Kamboja adalah yang dimaksud Abbott dengan ‘cukup banyak sesuai kewajiban’, maka tidak hanya kerangka Bali Process yang ia langkahi, tetapi juga hukum internasional.
Indonesia pun tak lepas dari sorotan. Memang Indonesia tidak memiliki kewajiban yang sama dengan negara-negara penandatangan Konvensi Pengungsi seperti Australia. Tetapi, bagaimana kondisi rumah detensi dan rumah pengungsian, serta perlakuan petugas terhadap pencari suaka dan pengungsi, menuai banyak kritikan. Misalnya, ketika insiden tahun 2013 terjadi di Belawan, Sumatra Utara, antara pengungsi Rohingya dan nelayan Myanmar yang menewaskan 8 orang.
Ada narasi mengenai siapa orang-orang ini dan jika kita menolong, pertolongan macam apa yang layak mereka dapatkan. Lagi, ini bukan perkara kemanusiaan saja. Elemen-elemen di dalamnya sangat kompleks, melibatkan berbagai kepentingan. Ada yang rasional, ada yang tidak. Kita masih berdebat tentang siapa ratusan orang ini, lalu ribuan di hari-hari setelahnya.
Contohnya, ada yang menyebut pengungsi Rohingya, migran ekonomi dari Bangladesh, ada pula yang meyakini kombinasi keduanya. Identitas mereka menentukan bantuan apa yang berhak mereka terima, siapa yang wajib memberikan bantuan itu, termasuk bagaimana nasib mereka ke depannya.