(Perhatian: Tulisan ini mengulas hampir seluruh bagian cerita dari film. Kesimpulan tulisan ada di paragraf terakhir.)
Film “Asadake!” (Inggris: The Asada Family!) adalah film yang disutradarai oleh Ryota Nakano dan dirilis pada tahun 2020. Film ini terinspirasi dari kisah nyata dan buku fotografi berjudul “Asadake!” yang diterbitkan oleh fotografer Masashi Asada pada tahun 2007 dan “Album no Chikara” (Kekuatan Album) oleh Akaaka pada tahun 2015. Film ini juga memenangkan kategori Film Asia Terbaik dalam Festival Film Internasional Warsaw 2020 lalu. Tidak hanya itu, pemeran protagonis Masashi Asada, yaitu Ninomiya Kazunari, salah seorang anggota grup populer Jepang ARASHI, juga dinominasikan sebagai Aktor Terbaik dalam Japan Academy Award 2020.
Asadake bercerita tentang keluarga unik bermarga Asada yang berbeda dari keluarga pada umumnya. Keluarga Asada terdiri dari ayah rumah tangga, ibu yang bekerja sebagai kepala suster, kakak lelaki pekerja kantoran, dan adik lelaki bungsu, Masashi, yang selalu bercita-cita menjadi fotografer dan behasil mewujudkan mimpinya. Alur cerita dalam film ini adalah campuran alur mundur dan maju. Pengabadian memori melalui foto keluarga adalah tema dari film ini.
Keluarga Asada benar-benar tidak seperti keluarga “normal” atau setidaknya begitulah Masashi menggambarkannya di awal film. Misalnya, suatu siang sang ayah tidak sengaja menjatuhkan pisau ke kakinya hingga terluka parah, Masashi yang buru-buru mencari kakaknya ikut terjatuh hingga dagunya berdarah, lalu sang kakak yang panik tidak hati-hati dan terjatuh dari tangga lantai dua hingga kepalanya bocor. Alhasil, dalam satu hari mereka bertiga sama-sama mendapat jahitan dan keluarga mereka berkumpul di satu rumah sakit bersama dengan sang ibu yang berprofesi suster. Keempatnya tertawa geli karena kejadian konyol ini.
Fotografi yang Memahami Subjeknya
Masashi kecil tertarik pada kamera dan memotret orang lain karena ayahnya. Ayahnya selalu memotret foto keluarga mereka, terutama Masashi dan kakaknya. Tradisi mereka yang paling berkesan adalah setiap tahun ayahnya selalu membuat Masashi dan kakaknya mengenakan baju kembaran, berdiri menempel, dan tersenyum, meski sangat malu karena itu di tempat publik, dan memotret momen itu untuk disimpan menjadi kartu tahun baru.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-10, ayahnya menghadiahkan sebuah kamera miliknya untuk Masashi. Menurut sang kakak, Masashi adalah orang yang tidak akan menekan tombol kamera sebelum ia memahami subjek dan objek foto yang ada di hadapannya. Foto paling berkesan yang diambil oleh Masashi kecil adalah foto Wakana-chan, gadis teman kecilnya. Wakana merasa tidak ada orang di dunia ini selain Masashi yang bisa mengambil foto yang 100% memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya. Masashi kemudian serius ingin menekuni fotografi dan pergi bersekolah ke sekolah kejuruan fotografi di Osaka.
Masashi ternyata tidak menepati janjinya untuk bersekolah dengan baik. Ia kembali dengan penampilan urakan dan penuh tato. Sekolahnya juga mengadukan bahwa Masashi sering tidak masuk kelas dan itu bisa membuatnya sulit untuk lulus. Jika Masashi mau lulus, ia harus menyelesaikan satu proyek final fotografi. Tema proyek tesebut adalah foto yang akan kau potret seandainya ini adalah kesempatan terakhirmu dalam hidup untuk memotret. Yang terlintas di benak Masashi hanya satu: keluarganya. Masashi pulang dan meminta keluarganya untuk mereka ulang momen ketika mereka berempat berkumpul di rumah sakit. Masashi memakai perban di dagu, kakaknya di kepala, ayahnya di kaki, dan ibunya memakai seragam susternya. Hasilnya foto lucu yang penuh cinta keluarga itu berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi. Masashi pun lulus.
Idealisme dalam Sebuah Foto Keluarga
Tapi setelah lulus, Masashi luntang-lantung di rumah tanpa pekerjaan dan tidak tahu subjek atau objek foto apa yang harus dipotretnya. Wakana-chan, yang entah bagaimana masih menjadi pacarnya, menegur dan menyemangatinya sebelum berangkat ke Tokyo untuk bekerja di toko busana. Masashi yang tidak semangat pergi untuk wawancara kerja yang sudah diusahakan susah payah oleh kakaknya malah pergi memancing. Ayahnya pun datang menghampirinya. Masashi bertanya apakah ayahnya sudah menjadi sosok ideal yang diinginkannya dalam hidup. Apakah ayahnya baik-baik saja dengan perannya sekarang sebagai ayah rumah tangga. Ini juga bisa menjadi pertanyaan besar bagi setiap kita, mungkin sekarang atau nanti di suatu titik dalam hidup, apakah kita memilih pilihan yang ideal untuk diri sendiri dan untuk orang yang kita sayangi? Apakah layak untuk mengorbankan keinginan atau mimpi kita demi orang lain? Kapan kita boleh mendahulukan diri kita sendiri?