Mohon tunggu...
R. Elizabeth
R. Elizabeth Mohon Tunggu... Administrasi - Fans Hiburan Korea dan Jepang

Selama kita hidup, kita akan terus berpikir dan belajar. Dengan demikianlah kita menjadi manusia yang memanusiakan diri sendiri dan sesama kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Belajar dari Nyai Ontosoroh, Sang Perempuan Bermartabat

19 Februari 2016   14:59 Diperbarui: 19 Februari 2016   15:17 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu dari sederetan karya cemerlang penulis Indonesia hampir empat puluh tahun lalu. Namun, kita selalu bisa menikmatinya kapan pun juga, apa pun masanya. Bapak Pramoedya membuat kita merasa dekat dengan sejarah, bergetar dan merasakan bagaimana kehidupan pada era kolonial Belanda di Indonesia. Suatu pengalaman yang tidak bisa kita rasakan langsung tetapi dikemas dalam urutan roman yang indah dan seolah nyata seperti sejarah sesungguhnya.

Ada banyak tokoh-tokoh tak terlupakan di dalamnya, seperti Minke—tokoh utama yang gemar belajar dan pengagum ilmu—, Jan Dapperste alias Panji Darman yang baik, berani, dan bersahaja, Annelies yang cantik nan tabah, Robert Mellema—anak durhaka yang akhir hidupnya mengenaskan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada satu tokoh yang juga menuai banyak sekali perhatian: Nyai Ontosoroh alias Sanikem, perempuan yang dijual ayahnya untuk jadi istri Tuan Gula yang kemudian bermetamorfosis menjadi Nyai yang pikiran-pendiriannya maju dan merdeka.

Secara khusus, saya akan mengupas siapa dan bagaimanakah Nyai dalam buku kedua dari Tetralogi Buru: Anak Semua Bangsa. Saya sangat simpatik kepadanya bahkan sejak awal cerita. Nyai mengajari Minke tentang azas, sesuatu yang tidak diajarkan di sekolah. Ketika harta benda mereka hendak diambil oleh petugas Gubernemen karena masalah perpindahan kekayaan ke ahli waris yang sah, Nyai tidak segan menggeramkan azas itu dan memekik mengusirnya.

“Lihat, biar kau kaya bagaimana pun, kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa izin: pencurian,” katanya pada Minke.

Keberanian Nyai berpikir dan mengemukakan azas ini sangat berpengaruh pada Minke. Saat ia menemukan permata curian Robert Suurhof yang diberikan untuk Annelies, istrinya, awalnya ia ragu apakah akan mengembalikannya pada orang tua Suurhof atau tidak. Akhirnya, ia bisa memutuskan. Ia mengikuti azas Nyai dan terbebas dari perasaan bersalah. Ia telah mengembalikan barang haram yang bukan miliknya.

Namun, berikutnya muncullah sisi Nyai yang sangat menarik. Sebagai seorang wanita yang kuat nyaris seperti singa betina, Nyai tetap manusia. Di halaman 51, Nyai menunjukkan ciri khas manusia yang hakekatnya lemah. Dia patah hati dan menangis. Annelies, anaknya, meninggal di negeri jauh di Belanda, bukan di pangkuan ibunya. Tapi hebatnya, Nyai tidak sepenuhnya ambruk. Dia masih mencoba menguatkan diri.


Ia mulai menyalahkan orang lain di Belanda dan menaruh dendam, dengan pahit menyesali Tuhan tidak berpihak pada yang kalah sebab sebentar lagi ia akan kehilangan semuanya; sudah kehilangan anak, sebentar lagi harta benda. Ini menunjukkan kepada kita sifat asli kita. Saat kita merasa sakit, kita cenderung menyalahkan diri kita, orang lain, kalau bukan Tuhan.

Walau demikian, yang bisa kita tiru dari Nyai adalah ia tidak lama-lama di titik itu. Ia berpikir lagi dan bangkit. Nyai tetap melanjutkan kehidupannya, mengatur perusahaan, bekerja, memimpin. Hidup tetap jalan. Saya mengagumi sikapnya yang ini. Sayang, tidak bisa dipungkiri, pasti tetap ada esensi yang berubah dalam hidupnya.

Di halaman 54, Nyai yang gemar membaca tidak terlihat tertarik pada berita Bahaya Kuning dari Utara—kemajuan Jepang yang melesat seperti peluru, mengejar peradaban Barat. Ia jadi kurang bersemangat, tidak berias, hanya bekerja dan bekerja, mau bangun usaha baru dan mengumpulkan modal. Dengan sopan ia meminta izin Minke, selaku suami Annelies, apakah boleh menggunakan uang Annelies sebagai modal nanti. Betapa perempuan seperti Nyai, seorang mertua dan ibu yang berharga diri tinggi tapi sangat menghargai menantunya lelaki.

Sisi baik dari Nyai lainnya ialah ia tidak segan membuka pandangan Minke (hlm. 100). Saat terjadi insiden pemutarbalikkan fakta oleh koran yang dipimpin Marten Nijman, Minke jadi gelisah dan kesal. Minkelah yang mewawancarai sang narasumber beretnis Tionghoa bernama Khouw Ah Soe, seorang pemuda dengan pemikiran terbuka yang ingin agar Tiongkok juga belajar dari Jepang. Tapi isi dari berita yang dipajang sama sekali tidak memuat apa yang dikatakan Khouw.

Nyai mengatakan kepada Minke bahwa orang Eropa itu tidak ada lagi kelebihannya selain ilmu, pengetahuan, dan pengendalian diri. Nyai, yang orang desa saja, bisa menyewa Eropa ahli untuk hitung-menghitung asalkan sanggup membayar sewanya. Kalau dia saja bisa, “Mengapa iblis juga tidak menyewa mereka?”

Sarkasme yang dilontarkan Nyai ini seolah ingin menunjukkan kalau manusia itu hampir-hampir mau melakukan apa saja yang mungkin merugikan buat orang lain, asal mereka diuntungkan. Dengan ini, ia telah menantang Eropa dengan caranya sendiri di saat dunia memuja mereka. Di halaman 102, Nyai melanjutkan, jangan koran, hukum juga bisa! Jangan terpesona pada nama-nama orang hebat. Nama-nama itu kosong, tapi Eropa bisa menguasai negara orang lain itu karena ilmunya.

Kita jadi sadar kalau yang berarti besar, sangat besar, di dunia ini, salah satunya adalah ilmu. Nyai bahkan menyuruh Minke belajar dari Khouw Ah Soe (hlm. 104). Belajar bisa dari mana dan siapa saja. Bukan lihat kasta orangnya. Nyai tidak merendahkan orang, tapi juga tidak mengagungkan Eropa seperti Minke.

Seperti yang kita tahu, Nyai adalah pemimpin de facto dari Borderij Buitenzorg. Di tengah kekacauan hidup, Nyai berwirausaha dengan baik. Ia bukanlah seorang kapitalis (hlm. 105). Ia memikirkan nasib perusahaan dan orang-orangnya. Baginya perusahaan bukanlah sapi perahan, melainkan seperti anak sendiri. Menurut saya, bagi Nyai perusahaan dibangun dan dirawat susah payah, bukan supaya jadi kaya dan serakah tapi juga bisa menyejahterakan orang lain.

Nyai juga, meski seorang perempuan, menyukai orang-orang berwawasan luas. Misalnya saat dia bertemu Khouw Ah Soe, yang negerinya tidak pernah dijajah tapi paham apa kolonial itu. Sangat tidak biasa, Nyai selalu berkembang melalui pembiacaraan bukan berkumpul untuk merumpi. Tapi kemudian, sifat pendendamnya muncul lagi ketika ia mendapat surat dari anak lakinya yang durhaka, Robert Mellema. Ia tidak sudi membacanya.

Pada saat itu, kondisi sedang suramnya sejak kepergian Annelies. Minke memutuskan untuk melanjutkan ke STOVIA, belajar kedokteran. Nyai terang-terangan minta Minke tetap tinggal. Tapi Minke sendiri sadarnya tidak bisa terus berada dekat Nyai yang eksistensinya seperti batu karang. Minke tidak bisa bertumbuh di bawah naungan Nyai terus. Akhirnya, sebelum Minke pergi Nyai minta ditemani pulang ke kampungnya.

Di Tulangan, daerah asalnya, sebenarnya Nyai dengan cerdik hendak menjodohkan Minke dengan anak kakaknya Jurutulis Sastro Kassier, Surati yang dulu dikenal cantik, supaya Minke tidak jadi pergi. Naas, ternyata wajah Surati rusak-rusak akibat penyakit cacar. Rupanya, Surati sempat “dijual” oleh bapaknya ke Tuan Besar Administratur juga!

Surati telah sengaja menjangkitkan cacar ke badannya dan menularkannya ke Tuan Besar itu agar mereka mati bersama. Karena pengobatan yang kurang pada masa itu, meski ia hidup dan Tuan Besar mati, wajahnya tidak tertolong.

Nyai mengamuk, marah besar. Di sinilah Minke melihat sisi tidak terpelajar dari Nyai. Nyai meski biasanya tenang-tenang saja, tapi seperti manusia biasa juga. Hal yang menarik adalah Nyai yang kokoh juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk dan mengikuti sikap-sikap jelek juga. Memang lingkungan sangat berpengaruh pada karakter dan tingkah laku seseorang.

Saat mereka sedang di Tulangan, mengingat pesan orang-orang yang memintanya menulis Melayu, Minke mulai mengobservasi kehidupan manusia sebangsanya. Dia menginap dan menulis banyak keluhan orang tertindas yang lahannya diambil untuk kemajuan gula.

Tapi artikelnya yang jujur itu ditolak. Nijman berpihak pada pabrik gula. Kommer, selaku teman Minke yang berprofesi sebagai penerjemah Belanda ke Melayu, membuka suara: memang surat kabar itu dikendalikan oleh pabrik. Kommer mengaku pernah diperintahkan Tuan Mellema, suami Nyai dan pemimpin terdahulu, untuk memata-matai camat Sidoarjo terkait perluasan tanah pabrik. Camat ini tidak mau serahkan tanahnya dan suatu hari ia terbunuh.

Nyai terkejut bukan main. Ia kira benar kata berita yang dulu didengarnya, camat itu ditanduk kerbau. Ternyata apa? Ternyata camat itu “dibunuh” oleh suaminya! Ternyata tanah-tanah yang ia usahakan adalah hasil pelanggaran azas yang ia kumandangkan, tanah curian dan bernoda darah. Nyai menangis karena merasa ditipu, ia mengira tangannya bersih tapi sebenarnya yang dia kelola adalah perusahaan kotor.

Dalam keadaan menyesal dan kalap pun Nyai masih mau mendengarkan pendapat Minke. Minke menghiburnya dengan mengatakan modal itu pun tidak akan ada yang berarti apa-apa kalau bukan tangan Nyai yang mengelolanya. Dari sini, kita belajar dari Nyai kalau bukan hartalah yang menghidupi manusia, tapi apa-apa yang dikerjakan tangannya.

Tanpa ragu, Nyai memutuskan untuk bertanggung jawab mengganti modal rampasan itu dan muncullah keinginan mulia: mendirikan sekolah untuk rakyat. Bayangkan! Seorang perempuan sedang bersedih dan menyesal pernah dijamah suaminya, malah bisa beresolusi untuk membayar kesalahan suaminya dengan mendidik para rakyat. Ia tetap sadar dalam pikirannya, bahwa pendidikan itu teramat penting. Minimal belajar bahasa Belanda supaya tidak takut sekali dengar orang bicara Belanda, belajar hitung supaya tidak kena tipu.

Di desa Nyai, ada seorang petani bernama Trunodongso (hlm. 365). Ia adalah petani yang belum mau menyerahkan tanahnya kepada Gubernemen. Dialah orang yang menjadi bahan artikel Minke yang ditolak. Orang-orang di desa itu ternyata mengadakan pemogokan dan pemberontakan, tapi karena mereka hanya modal otot dan suara, tentu mereka mudah diberantas.

Dengan putus asa, Trunodongso datang ke kediaman Minke, rumah Nyai. Nyai langsung bersimpati padanya bahkan langsung memanggil dokter untuknya. Keluarganya diberi tempat tinggal. Anak-anaknya diberi pekerjaan. Nyai benar-benar dermawan dan suka menolong, meski ia kaya tapi tidak kikir dalam hati. Setelahnya, Minke disuruh pergi dari Wonokromo. Namun, saat dalam perjalanan ia malah dijemput oleh sekaut—petugas Belanda.

Minke yang cemas dibawa kembali ke rumah, mendapati Nyai sudah berubah air mukanya dan sedang menimang anak. Bahkan ada Minem di dalam rumah. Nyata bahwa anak Minem adalah anak Robert Mellema, cucu Nyai. Robert sendiri sudah meninggal di Los Angeles karena penyakit kelamin. Anak itu diberi nama Rono. Nyai dengan lapang dada kini berdamai dengan nasibnya. Anak-anaknya sudah tiada, Minke akan ke STOVIA, tinggal cucunya yang bernama Rono. Dibanding terus menyalahkan, Nyai dengan bijak memilih menerima apa yang sudah terjadi di hadapannya.

Mengingat anak-anaknya telah tiada, maka anak kandung Herman Mellema akan segera datang sebagai ahli waris, mengambil takhta Nyai dan menguasai segala sesuatu yang bahkan tidak pernah ia raba atau lihat sebelumnya. Dan semuanya itu hakekatnya adalah hasil keringat Nyai. Pewaris itu bernama Maurits Mellema.

Dalam kasus Babah Ah Tjong (hlm. 462), si pemilik rumah pelesiran, pengadilan seakan diulur-ulur dan menyimpang dari jalur. Bukannya menyelesaikan perkara malah seolah ingin mempermalukan keluarga Nyai. Saya mengagumi kepekaan Nyai terhadap keadilan mau pun ketidakadilan. Ia sadar inilah cara Maurits untuk menunjukkan kalau keluarga Nyai punya reputasi buruk, maka semakin pantaslah ditendang dari Wonokromo dan Mauritslah yang lebih layak menggantikan Nyai yang ‘hanya’ pribumi.

Saat hari itu tiba, di mana Nyai akan diusir oleh kedatangan Maurits, Nyai sudah siap. Keberaniannya menghadapi cobaan berat ini sangat menginspirasi. Minke berubah pucat, tapi sebuah ide malah terlintas di benak Nyai. Nyai mengingat teman-temannya: Jean Marais—pelukis Prancis mantan tentara, dan Kommer—si penerjemah yang sepertinya tertarik pada Nyai. Nyai meski pun kuat tetap ingat, tetap butuh, teman-teman di sisinya. Hartanya mungkin akan habis, tapi ia tahu teman baik masih ada.

Nyai, dalam kondisi apa pun, semarah apa juga tetap ingat tata krama. Ia hendak mengadakan penyambutan untuk Maurits sekali pun Maurits datang bagai pencuri yang terang-terangan. Nyai mau mengikuti tertib hukum yang ada, bahwa Maurits adalah pewaris sah tunggal. Meski tidak ada kekuatan hukum di belakangnya, Nyai percaya jika manusia belum menyerah pasti masih sanggup melawan. Nyai masih punya satu: mulut.

Dengan mulut, Nyai percaya bisa melawan, bisa menegakkan harga dirinya. Oleh sebab itu, ia hendak mengundang kedua sahabat ke rumahnya dan bertemu Maurits. Saat Nyai bertemu dengan Maurits, tangannya menggigil. Rupanya, terbesit juga rasa takut dan khawatir. Tapi Nyai tetap teguh, ia menampar Maurits secara verbal.

Ia telanjangi kesalahan-kesalahan Maurits (hlm. 536). Ia katakan bahwa Maurits yang terpelajar tidak peduli dengan adik tirinya sendiri, tidak dijumpai jangankan dirawat. Annelies saat di Belanda sampai meninggalnya hanya diurus Panji Darman, bukan kerabatnya sendiri. Secara tidak langsung, Maurits dituding sebagai ‘pembunuh’ Annelies. Begitu juga Kommer dan Jean, mereka semua menyerang Maurits dengan kata-kata kebenaran sampai Maurits ingin meninggalkan rumah. Maurits pun meninggalkan rumah seperti katak yang tersudut dan Nyai menyeka air matanya, tidak menyesali sudah melawan, biar pun hanya dengan mulut.

Pada akhirnya, ada banyak yang bisa kita pelajari dari Nyai yang hebat ini. Ia feminim, berwawasan, pekerja keras, dan lembut hati. Nyai menampil karakter yang kuat dan menarik pembaca hingga ikut mengaguminya seperti Minke. Nilai dari cerita hidup Nyai mengingatkan saya bahwa saat manusia sudah tidak punya apa-apa dan ditindas, bukan berarti sudah kalah total. Selama dalam jiwa masih ada semangat yang kobar, masih bisa. Selama masih punya akal, masih ada hati dan perasaan, masih punya mulut yang bisa berkata-kata:

Kita bisa berjuang dan mengubah nasib.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun