Dalam keadaan menyesal dan kalap pun Nyai masih mau mendengarkan pendapat Minke. Minke menghiburnya dengan mengatakan modal itu pun tidak akan ada yang berarti apa-apa kalau bukan tangan Nyai yang mengelolanya. Dari sini, kita belajar dari Nyai kalau bukan hartalah yang menghidupi manusia, tapi apa-apa yang dikerjakan tangannya.
Tanpa ragu, Nyai memutuskan untuk bertanggung jawab mengganti modal rampasan itu dan muncullah keinginan mulia: mendirikan sekolah untuk rakyat. Bayangkan! Seorang perempuan sedang bersedih dan menyesal pernah dijamah suaminya, malah bisa beresolusi untuk membayar kesalahan suaminya dengan mendidik para rakyat. Ia tetap sadar dalam pikirannya, bahwa pendidikan itu teramat penting. Minimal belajar bahasa Belanda supaya tidak takut sekali dengar orang bicara Belanda, belajar hitung supaya tidak kena tipu.
Di desa Nyai, ada seorang petani bernama Trunodongso (hlm. 365). Ia adalah petani yang belum mau menyerahkan tanahnya kepada Gubernemen. Dialah orang yang menjadi bahan artikel Minke yang ditolak. Orang-orang di desa itu ternyata mengadakan pemogokan dan pemberontakan, tapi karena mereka hanya modal otot dan suara, tentu mereka mudah diberantas.
Dengan putus asa, Trunodongso datang ke kediaman Minke, rumah Nyai. Nyai langsung bersimpati padanya bahkan langsung memanggil dokter untuknya. Keluarganya diberi tempat tinggal. Anak-anaknya diberi pekerjaan. Nyai benar-benar dermawan dan suka menolong, meski ia kaya tapi tidak kikir dalam hati. Setelahnya, Minke disuruh pergi dari Wonokromo. Namun, saat dalam perjalanan ia malah dijemput oleh sekaut—petugas Belanda.
Minke yang cemas dibawa kembali ke rumah, mendapati Nyai sudah berubah air mukanya dan sedang menimang anak. Bahkan ada Minem di dalam rumah. Nyata bahwa anak Minem adalah anak Robert Mellema, cucu Nyai. Robert sendiri sudah meninggal di Los Angeles karena penyakit kelamin. Anak itu diberi nama Rono. Nyai dengan lapang dada kini berdamai dengan nasibnya. Anak-anaknya sudah tiada, Minke akan ke STOVIA, tinggal cucunya yang bernama Rono. Dibanding terus menyalahkan, Nyai dengan bijak memilih menerima apa yang sudah terjadi di hadapannya.
Mengingat anak-anaknya telah tiada, maka anak kandung Herman Mellema akan segera datang sebagai ahli waris, mengambil takhta Nyai dan menguasai segala sesuatu yang bahkan tidak pernah ia raba atau lihat sebelumnya. Dan semuanya itu hakekatnya adalah hasil keringat Nyai. Pewaris itu bernama Maurits Mellema.
Dalam kasus Babah Ah Tjong (hlm. 462), si pemilik rumah pelesiran, pengadilan seakan diulur-ulur dan menyimpang dari jalur. Bukannya menyelesaikan perkara malah seolah ingin mempermalukan keluarga Nyai. Saya mengagumi kepekaan Nyai terhadap keadilan mau pun ketidakadilan. Ia sadar inilah cara Maurits untuk menunjukkan kalau keluarga Nyai punya reputasi buruk, maka semakin pantaslah ditendang dari Wonokromo dan Mauritslah yang lebih layak menggantikan Nyai yang ‘hanya’ pribumi.
Saat hari itu tiba, di mana Nyai akan diusir oleh kedatangan Maurits, Nyai sudah siap. Keberaniannya menghadapi cobaan berat ini sangat menginspirasi. Minke berubah pucat, tapi sebuah ide malah terlintas di benak Nyai. Nyai mengingat teman-temannya: Jean Marais—pelukis Prancis mantan tentara, dan Kommer—si penerjemah yang sepertinya tertarik pada Nyai. Nyai meski pun kuat tetap ingat, tetap butuh, teman-teman di sisinya. Hartanya mungkin akan habis, tapi ia tahu teman baik masih ada.
Nyai, dalam kondisi apa pun, semarah apa juga tetap ingat tata krama. Ia hendak mengadakan penyambutan untuk Maurits sekali pun Maurits datang bagai pencuri yang terang-terangan. Nyai mau mengikuti tertib hukum yang ada, bahwa Maurits adalah pewaris sah tunggal. Meski tidak ada kekuatan hukum di belakangnya, Nyai percaya jika manusia belum menyerah pasti masih sanggup melawan. Nyai masih punya satu: mulut.
Dengan mulut, Nyai percaya bisa melawan, bisa menegakkan harga dirinya. Oleh sebab itu, ia hendak mengundang kedua sahabat ke rumahnya dan bertemu Maurits. Saat Nyai bertemu dengan Maurits, tangannya menggigil. Rupanya, terbesit juga rasa takut dan khawatir. Tapi Nyai tetap teguh, ia menampar Maurits secara verbal.
Ia telanjangi kesalahan-kesalahan Maurits (hlm. 536). Ia katakan bahwa Maurits yang terpelajar tidak peduli dengan adik tirinya sendiri, tidak dijumpai jangankan dirawat. Annelies saat di Belanda sampai meninggalnya hanya diurus Panji Darman, bukan kerabatnya sendiri. Secara tidak langsung, Maurits dituding sebagai ‘pembunuh’ Annelies. Begitu juga Kommer dan Jean, mereka semua menyerang Maurits dengan kata-kata kebenaran sampai Maurits ingin meninggalkan rumah. Maurits pun meninggalkan rumah seperti katak yang tersudut dan Nyai menyeka air matanya, tidak menyesali sudah melawan, biar pun hanya dengan mulut.