Nah, jika urusan politik sipil di intervensi oleh modus-modus "cipta kondisi" dan provokasi terselubung yang dilakukan entah oleh siapa, maka hasilnya adalah huru-hara yg akan terjadi.
Tetapi jika politik itu berakhir huru hara karena bentrokan antara 2 kelompok yaitu pro petahana dan oposisi, barulah disini aparat wajib turun tangan untuk menciptakan kondisi aman kembali.
Anggapan makar itu pertama kali datang dari pihak Pemerintah yang sekaligus berposisi sebagai Petahana dalam pemilu 2019. Bagi pemerintah pastilah gerakan kedaulatan rakyat atau people power adalah dianggap gerakan "Makar" yang kebetulan gerakan tersebut dicanangkan oleh pihak oposisi yang menjadi lawan politiknya, dan agar maksud pemerintah tercapai untuk memberangus lawan politiknya agar tidak terjadi makar (paling tidak anggapan pemerintah demikian), maka digunakanlah kekuatan aparat untuk "menyelesaikan" persoalan "Makar" ini.Â
Maka jadilah itu semua tujuan-tujuan politik dengan menggunakan tangan-tangan aparat demi memelihara kekuasaan. Kurang lebih analisa yang dapat terbaca dari situasi yang ada seperti itu. Mungkin pembaca punya analisa lain.
Saya pikir aparat harusnya berhati-hati dalam menangani urusan tuduhan "makar" ini, karena akibatnya bukan main-main. Apalagi hal ini terkait proses politik nasional yang sedang berlangsung. Disisi lain, pembuktian makar secara pidana juga banyak polemik diantara ahli hukum pidana.
Aparat yang independen diperlukan, dan harus berhati-hati dalam menangani situasi pasca pemilu sekarang ini. Memang tidak mudah membedakan aparat sebagai alat negara atau aparat sebagai alat kekuasaan. Sampai disini memang agak rumit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H