Mohon tunggu...
Rory Anas
Rory Anas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berprofesi sebagai Advokat.

Pemberi Nilai, Respon dan Komentar akan di Follow. WA +628117068676

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Aparat Sebagai Alat Negara atau Alat Kekuasaan?

26 Mei 2019   11:45 Diperbarui: 27 Mei 2019   23:30 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkaitan dengan tuduhan "makar" pada satu kelompok yang pada awalnya menyerukan aksi "People Power" dimana seruan itu berubah menjadi seruan menegakkan "Kedaulatan Rakyat", akhirnya bercerita panjang.

Diawali demonstrasi di depan Bawaslu dengan cara damai, namun menjelang tengah malam berakhir ricuh, selain karena massa demo damai "dipaksa" bubar oleh aparat karena sudah lewat waktu, juga karena ada massa lain yang mendompleng dan membuat kerusuhan. 

Lalu aparat pun represif. Massa yang demo damai pun jadi korban, petugas medis dianiaya bahkan ada beberapa korban tewas akibat luka tembak.

Kita juga ingat saat Pemilu 2014 lalu juga ada gerakan people power oleh calon presiden Joko Widodo, bahkan ada bukunya yang diterbitkan. Tapi perlakuan aparat pada waktu itu tidak sama dengan pasca pemilu 2019.

Pada dasarnya seruan-seruan "People Power" itu semua sifatnya "Politik", sudah pasti. Entah bagaimana persepsi people power itu sebenarnya. Sesungguhnya kembali pada persepsi masing-masing pihak. Karena persepsi dalam politik pasti takkan bisa disamakan. Pasti ada perbedaan-perbedaan kepentingan politik dalam menterjemahkan makna people power itu.

Aksi people power/kedaulatan rakyat yang dilakukan oleh pihak oposisi kemungkinan besar bisa menyebabkan penguasa yang feodal menjadikan mereka berpolitik secara otoriter. Kemudian secara sengaja atau tak sadar menyeret-nyeret aparat keamanan untuk digunakan bagi kepentingannya. Hal ini logis saja, karena aksi itu tentu akan berpotensi menggangu kekuasaan yang sedang dipegang.

Seharusnya yang menjadi perhatian pemerintah adalah potensi gangguan keamanannya, bukan potensi gangguan terhadap kekuasaan yang sedang dipegang, karena jenis gangguan pasti akan berkaitan dengan teknik/cara penanganan aparat keamanan terhadap aksi di lapangan. Dimana dalam segala kondisi aparat keamanan tetap harus netral tanpa terseret urusan politik yang sedang terjadi.

Menurut saya, "Netral" bagi aparat dalam hal politik itu adalah membiarkan persoalan dan aktivitas politik berjalan tanpa diganggu dan intervensi aparat keamanan, sebab urusan politik adalah urusan Sipil. Kecuali kriminal atau yang bersifat pidana.

Demonstrasi yang dilakukan oleh massa "Kedaulatan Rakyat" kepada KPU dan Bawaslu adalah mengenai kecurangan pemilu. Dimana sangat erat berkaitan dengan Calon Presiden yang kebetulan incumbent dan tidak cuti "selama kampanye pemilu", akibatnya ada konflik kepentingan dan susah membedakan kapan jadi Calon Presiden dan kapan jadi Presiden.

Demonstrasi Itu semua adalah urusan politik sipil, bukan demonstrasi menjatuhkan Presiden yang sah. Dengan kata lain, demonstrasi kedaulatan rakyat bukanlah gerakan Makar.

Nah, jika urusan politik sipil di intervensi oleh modus-modus "cipta kondisi" dan provokasi terselubung yang dilakukan entah oleh siapa, maka hasilnya adalah huru-hara yg akan terjadi.

Tetapi jika politik itu berakhir huru hara karena bentrokan antara 2 kelompok yaitu pro petahana dan oposisi, barulah disini aparat wajib turun tangan untuk menciptakan kondisi aman kembali.

Anggapan makar itu pertama kali datang dari pihak Pemerintah yang sekaligus berposisi sebagai Petahana dalam pemilu 2019. Bagi pemerintah pastilah gerakan kedaulatan rakyat atau people power adalah dianggap gerakan "Makar" yang kebetulan gerakan tersebut dicanangkan oleh pihak oposisi yang menjadi lawan politiknya, dan agar maksud pemerintah tercapai untuk memberangus lawan politiknya agar tidak terjadi makar (paling tidak anggapan pemerintah demikian), maka digunakanlah kekuatan aparat untuk "menyelesaikan" persoalan "Makar" ini. 

Maka jadilah itu semua tujuan-tujuan politik dengan menggunakan tangan-tangan aparat demi memelihara kekuasaan. Kurang lebih analisa yang dapat terbaca dari situasi yang ada seperti itu. Mungkin pembaca punya analisa lain.

Saya pikir aparat harusnya berhati-hati dalam menangani urusan tuduhan "makar" ini, karena akibatnya bukan main-main. Apalagi hal ini terkait proses politik nasional yang sedang berlangsung. Disisi lain, pembuktian makar secara pidana juga banyak polemik diantara ahli hukum pidana.

Aparat yang independen diperlukan, dan harus berhati-hati dalam menangani situasi pasca pemilu sekarang ini. Memang tidak mudah membedakan aparat sebagai alat negara atau aparat sebagai alat kekuasaan. Sampai disini memang agak rumit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun