Berbagai langkah kebijakan pemerintah atau policy leadership untuk menangani pandemi Covid-19 sudah dilakukan, tetapi sampai hari ini jumlah kasus masih terus saja bertambah.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang disampaikan melalui Keterangan Pers tentang Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di Istana Bogor, Selasa (31/03).
Kebijakan tersebut diambil untuk menjawab permintaan beberapa kepala daerah untuk menerapkan karantina wilayah atau lebih kita kenal dengan istilah lockdown.
Termasuk permintaan Gubernur DKI Jakarta secara resmi kepada Istana, dijawab dengan penolakan oleh Istana, point penolakan adalah bahwa kewenangan karantina wilayah tingkat kabupaten dan provinsi ada di tangan Presiden.
Pembatasan Sosial Berskala Besar diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 yang mengatur PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan Keppres No. 11 Tahun 2020 Tentang Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Keduanya dilandaskan pada UU No. 6 tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sebelum  (PP) No. 21 Tahun 2020 dan Keppres No. 11 Tahun 2020 dikeluarkan oleh pemerintah, beberapa kepala daerah sudah lebih dulu menerapkan karantina wilayah, sebut saja misalnya Kota Tegal, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya.
Ini menjadi indikasi lambatnya pemerintah pusat dalam merespon keadaan di daerah, terutama terkait isu mobilitas pemudik dari Jakarta yang tinggi.
Bahkan tingkat desa pun sudah ikut menerapkan karantina wilayah, desa sudah bergerak menerapkan karantina wilayah semenjak mobilitas pemudik dari Jakarta yang begitu tinggi.
Desa sudah khawatir, cemas dan panik karena perantau yang mudik dari Jakarta dikhawatirkan membawa serta virus Corona ditubuhnya.
Desa pun akhirnya bergerak sendiri, jaring pengaman dibuat ditingkat desa untuk mengatasi kekhawatiran kedatangan pemudik dari Jakarta yang membawa virus Corona.
Jalan-jalan di desa pun ditutup, akses keluar masuk desa dibatasi, kegiatan-kegiatan yang mendatangkan massa pun dibubarkan oleh pemerintah desa dengan pengawalan dari aparat setempat.
Tetapi dampak dari ditutupnya akses pada tingkat desa, ditingkat warga pun menjadi pro dan kontra, pro karena warga takut tertulas virus Corona dari pemudik.
Kontra karena desa tidak punya landasan hukum yang kuat untuk melakukan karantina wilayah lokal tingkat desa, sehingga mendapat perlawanan dari warga.
Kontra karena warga merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas untuk memenuhi hajat hidupnya.
Kontra karena supir angkot tidak bisa beroperasi, pengusaha angkutan pun sampai bentrokan dengan pemerintah desa, petani tidak bisa mengirim hasil panen nya keluar daerah.
Kontra karena warga kesulitan untuk pergi ke pasar membeli kebutuhan logistik sehari-hari, warga kesulitan keluar untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dari rumah.
Melihat pro dan kontra di tingkat desa atau akar rumput, maka sebenarnya pertanyaan saya pribadi sebagai warga yang tinggal di desa, apa beda nya antara  Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan karantina wilayah?
Melihat pro dan kontra di tingkat desa atau akar rumput, maka sebagai warga desa saya berani menyimpulkan bahwa pemerintah dalam hal ini tidak tegas dan tidak berani menerapkan karantina wilayah.
Apakah penyebab utamanya karena dengan karantina wilayah maka Negara berkewajiban untuk menanggung beban hidup seluruh rakyat Indonesia?
Kebijakan seorang pimpinan atau policy leadership yang ragu-ragu dan bisa jadi tidak tepat membuat akar rumput berbenturan.
Kebijakan seorang pimpinan atau policy leadership yang ragu-ragu dan bisa jadi tidak tepat membuat kita tidak pernah tahu kapan Pandemi Corona ini segera berakhir.
Rori Idrus
KBC-57 Brebes Jawa Tengah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H