Mohon tunggu...
Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat, membaca dan menulis untuk pengembangan potensi diri dan kebaikan ummat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KAMI, Siap Menyelamatkan Indonesia?

22 Agustus 2020   15:43 Diperbarui: 22 Agustus 2020   16:33 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarator membacakan hasil maklumat deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (18/8/2020). Dalam deklarasi ini sejumlah tokoh hadir dan ikut menjadi deklarator maklumat menyelamatkan Indonesia. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Empat hari yang lalu, tepatnya pada 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, telah dideklarasikan "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" atau yang disingkat KAMI. Tokoh-tokoh yang hadir dan terlibat dalam deklarasi KAMI di antaranya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, Mantan Panglima TNI, Jenderal purnawirawan Gatot Nurmantyo , Ketua Umum Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) K.H Rochmat Wahab, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, pakar hukum tata negara Refly Harun, ekonom Ichsanudin Noorsy, Menteri Kehutanan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, MS Kaban, intelektual publik dan pengamat politik Rocky Gerung, serta sejumlah tokoh lainnya.  

Dalam deklarasinya, KAMI menuntut delapan hal yang merupakan butir-butir keprihatiannnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan HAM, termasuk sumber daya alam.

Delapan butir tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mendesak penyelenggara negara, khususnya pemerintah, MPR, DPR, dan DPD untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam poin ini diharapkan agar penyelenggara negara, baik ekskutif maupun legislatif harus menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar berpijak dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara. Penyelenggara negara harus mampu mengimplementasikan tujuan negara yang telah jelas termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

2. Menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.

Dalam poin kedua ini, KAMI menilai pemerintah belum sungguh-sungguh dalam mengatasi akar masalah pandemi COVID-19. Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah membawa ekses pada masalah ekonomi yang berdampak luas. Namun, akar masalah utamanya adalah faktor kesehatan dan keselamatan setiap warga negara. Jangan sampai terjadi seleksi alam berupa herd imunity (kekebalan kelompok) yang sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah korban Covid-19. 

3. Menuntut pemerintah bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi untuk menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, guru/dosen, tenaga kerja bangsa sendiri, pelaku UMKM dan koperasi, serta pedagang informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing.

Dalam poin ketiga ini, KAMI menuntut pemerintah agar lebih mementingkan kepentingan rakyat miskin, dan tidak lagi mementingkan kepentingan pengusaha besar. Kita perlu ingat beberapa bulan lalu, pemerintah demikian bersemangatnya untuk segera membuka mal-mal besar dengan alasan agar roda ekonomi kembali berputar. Padahal dengan tutupnya mal-mal besar tidak berdampak apa-apa terhadap rakyat kecil, rakyat tetap dapat melakukan aktifitasnya seperti biasa. Justru dalam waktu yang bersamaan pemerintah belum membuka pasar tradisional yang menjadi denyut nadi perekonomian kaum "wong cilik". 

4. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah dan DPR untuk memperbaiki praktik pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Kepada pemerintah dituntut untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.

Dengan kasat mata dapat kita saksikan karut marutnya pembentukan hukum di Indonesia saat ini. Banyaknya polemik penetapan beberapa Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang membuktikan adanya sesuatu "yang salah" dalam proses pembentukan hukum. Ditambah lagi adanya penegakkan hukum yang terkesan tebang pilih, di satu kelompok cepat penanganannya , namun di kelompok lain seolah dibiarkan.

5. Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dam nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.

Kita perlu ingat bahwa penanganan kasus penetapan anggota DPR RI dari PDIP melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, yang menyeret politikus partai pemenang Pemilu 2019 Harun Masiku, sampai saat ini belum ada kejelasan kabar beritanya. Bahkan terkesan KPK  alot dan lamban menangani kasus tersebut. Belum lagi maraknya politik dinasti yang dapat membuka celah baru untuk tumbuh suburnya praktek kolusi dan nepotisme di kalangan birokrasi, yang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

6. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah,MPR, DPR, dan DPD untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu. 

7. Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, aga tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.

Kita masih ingat pada polemik yang terjadi pada Rancangan Uundang Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU HIP), dimana pada RUU HIP tersebut ditengarai telah mengebiri nilai-nilai pancasila dengan memerasnya menjadi Trisila dan Ekasila, serta tidak mencantumkan TAP MPRS No. XXV tentang larangan PKI sebagai konsiderannya.

8. Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Dalam sidang pelantikannya, Presiden telah bersumpah dan berjanji di hadapan MPR/DPR akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

Jika Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, maka DPR dapat mengajukan usul pemberhetian Presiden kepada Mahkamah Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.

Melihat kedelapan tuntutan tersebut, semuanya berisikan harapan kepada penyelenggara negara -baik eksekutif maupun legislatif- untuk dapat mengambil langkah-langkah taktis dan strategis guna menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman, baik ancaman yang bersifat ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, maupun ancaman yang bersifat ekonomi berupa  kemiskinan dan resesi, serta ketimpangan dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Semua harapan dan tuntutan tersebut dilaksanakan dalam koridor hukum dan dalam bingkai konstitusi, sehingga tidak ada istilah makar atau sejenisnya.

Dalam sebuah negara demokrasi, pro dan kontra adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Di tengah pro kontra kemunculan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), nampaknya presidium dan deklarator KAMI akan disibukkan dengan gelombang pendaftaran dari rakyat yang ingin bergabung di gerbong KAMI. Satu sisi, ini menunjukkan besarnya respon dan dukungan rakyat. Di sisi lain, ini akan menguji konsistensi KAMI sebagai gerakan moral. Meski gerakan moral tetap punya peluang untuk bermetamorfosis jadi gerakan politik jika kondisi obyektif mendesaknya.

Rakyat yang ingin bergabung dengan KAMI menilai bahwa pengelolaan negara telah banyak unsur manipulasi , kekuasaan cenderung refresif dan ancaman resesi di depan mata. Mereka telah lama resah dan kecewa, lalu menemukan KAMI yang dianggap mampu menjadi lokomotif untuk menyuarakan kegelisahan mereka. KAMI lahir di tengah kekecewaan terhadap prilaku DPR yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat, namun dengan sepihak tanpa melihat kepentingan rakyat, telah merivisi UU KPK dan mengetuk UU Minerba dan UU Corona,serta diajukannya RUU Omnibus Law dan RUU HIP/BPIP.

Ada beberapa alasan, mengapa sebagaian rakyat demikian antusias untuk bergabung dengan KAMI. Di antaranya, karena kemunculannya tepat waktu, dimana rakyat butuh saluran aspirasi, sementara saluran aspirasi yang ada terasa sempit dan rumit. Selain itu, munculnya ketidakpercayaan (distrust) rakyat terhadap pengelola negara yang dianggap tak mampu memberi harapan kepada bangsa ini untuk keluar dari krisis. Tentunya di samping faktor ketokohan, yang dinilai memiliki kapasitas dan integritas, serta ketulusan dan tujuan yang baik untuk bangsa ini.

Ratusan tokoh yang tergabung dalam deklarasi KAMI terdiri dari para aktifis lintas zaman, mereka memiliki jaringan sosial, politik, dan ekonomi yang memadai. Mereka bukanlah barisan sakit hati, namun hati mereka terasa sakit manakala negeri dan rakyat Indonesia menderita dan hidup dalam kemiskinan.

Dalam menyikapi kehadiran KAMI, pemerintah sebaiknya tidak bersikap kontra produktif. Pihak pemerintah dapat mengajak perwakilan Presidium KAMI untuk duduk bersama membicarakan solusi terbaik untuk bangsa ini. Sebuah kritikan ataupun tuntutan, semua itu harus disikapi dengan bijak dan menjadikannya sebagai energi positif, asalkan didasari oleh semangat yang sama yaitu membangun dan memajukan bangsa.

Semoga kita sebagai bangsa dapat melewati masa-masa sulit ini dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan, sehingga warisan terindah dari para pendiri bangsa berupa negeri yang merdeka ini dapat terus kita jaga eksistensinya di tengah percaturan global.***

Salam. Ropiyadi ALBA 220820

Referensi: Tempo, Tribun, VOA Islam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun