5. Menuntut penyelenggaraan negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi dam nepotisme (KKN), serta sistem dan praktik oligarki, kleptokrasi, politik dinasti dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.
Kita perlu ingat bahwa penanganan kasus penetapan anggota DPR RI dari PDIP melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, yang menyeret politikus partai pemenang Pemilu 2019 Harun Masiku, sampai saat ini belum ada kejelasan kabar beritanya. Bahkan terkesan KPK Â alot dan lamban menangani kasus tersebut. Belum lagi maraknya politik dinasti yang dapat membuka celah baru untuk tumbuh suburnya praktek kolusi dan nepotisme di kalangan birokrasi, yang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
6. Menuntut penyelenggara negara, khususnya pemerintah,MPR, DPR, dan DPD untuk tidak memberi peluang bangkitnya komunisme, ideologi anti Pancasila lainnya, dan separatisme serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme serta upaya memecah belah masyarakat. Begitu pula mendesak pemerintah agar menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu.Â
7. Menuntut pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi, mengubah Dasar Negara Pancasila, sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, aga tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang.
Kita masih ingat pada polemik yang terjadi pada Rancangan Uundang Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU HIP), dimana pada RUU HIP tersebut ditengarai telah mengebiri nilai-nilai pancasila dengan memerasnya menjadi Trisila dan Ekasila, serta tidak mencantumkan TAP MPRS No. XXV tentang larangan PKI sebagai konsiderannya.
8. Menuntut presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
Dalam sidang pelantikannya, Presiden telah bersumpah dan berjanji di hadapan MPR/DPR akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
Jika Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, maka DPR dapat mengajukan usul pemberhetian Presiden kepada Mahkamah Konstitusi, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.
Melihat kedelapan tuntutan tersebut, semuanya berisikan harapan kepada penyelenggara negara -baik eksekutif maupun legislatif- untuk dapat mengambil langkah-langkah taktis dan strategis guna menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman, baik ancaman yang bersifat ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, maupun ancaman yang bersifat ekonomi berupa  kemiskinan dan resesi, serta ketimpangan dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Semua harapan dan tuntutan tersebut dilaksanakan dalam koridor hukum dan dalam bingkai konstitusi, sehingga tidak ada istilah makar atau sejenisnya.
Dalam sebuah negara demokrasi, pro dan kontra adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Di tengah pro kontra kemunculan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), nampaknya presidium dan deklarator KAMI akan disibukkan dengan gelombang pendaftaran dari rakyat yang ingin bergabung di gerbong KAMI. Satu sisi, ini menunjukkan besarnya respon dan dukungan rakyat. Di sisi lain, ini akan menguji konsistensi KAMI sebagai gerakan moral. Meski gerakan moral tetap punya peluang untuk bermetamorfosis jadi gerakan politik jika kondisi obyektif mendesaknya.
Rakyat yang ingin bergabung dengan KAMI menilai bahwa pengelolaan negara telah banyak unsur manipulasi , kekuasaan cenderung refresif dan ancaman resesi di depan mata. Mereka telah lama resah dan kecewa, lalu menemukan KAMI yang dianggap mampu menjadi lokomotif untuk menyuarakan kegelisahan mereka. KAMI lahir di tengah kekecewaan terhadap prilaku DPR yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat, namun dengan sepihak tanpa melihat kepentingan rakyat, telah merivisi UU KPK dan mengetuk UU Minerba dan UU Corona,serta diajukannya RUU Omnibus Law dan RUU HIP/BPIP.
Ada beberapa alasan, mengapa sebagaian rakyat demikian antusias untuk bergabung dengan KAMI. Di antaranya, karena kemunculannya tepat waktu, dimana rakyat butuh saluran aspirasi, sementara saluran aspirasi yang ada terasa sempit dan rumit. Selain itu, munculnya ketidakpercayaan (distrust) rakyat terhadap pengelola negara yang dianggap tak mampu memberi harapan kepada bangsa ini untuk keluar dari krisis. Tentunya di samping faktor ketokohan, yang dinilai memiliki kapasitas dan integritas, serta ketulusan dan tujuan yang baik untuk bangsa ini.