Dalam rapat koordinasi antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia pada Rabu, 11 Desember 2019 yang lalu telah dibicarakan empat hal penting yang meliputi :Â
1. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)Â
2. Ujian Nasional (UN)Â
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)Â
4. Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Soal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) Tahun Pelajaran 2018/2019 yang lalu berasal dari 25 % pemerintah melalui Badan Standar NasiOnal Pendidikan (BSNP) dan 75 % dari sekolah melalui kelompok kerja Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).Â
Pada tahun lalu rataan nilai USBN merupakan salah satu aspek penentu dalam keriteria kelulusan peserta didik, disamping aspek lain seperti nilai sikap sosial dan spiritual, rataan nilai raport semester 1-6, tingkat kehadiran peserta didik, dan kepramukaan.Â
Walaupun sekolah diberi keleluasaan dalam menentukan kelulusan para peserta didiknya sebagaimana sesuai dengan semangat Undang-Undang Sisdiknas no.20 tahun 2003, namun dalam pelaksanaannya dengan model penyusunan soal, Â penyelenggaraan, dan pengawasan USBN yang masih melibatkan peranan pemerintah, secara tidak langsung telah membatasi keleluasaan satuan pendidikan untuk menentukan kelulusan para peserta didiknya.Â
Untuk itu, sebagai arah kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2020 mendatang, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diganti dengan ujian (assesment) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian ini  untuk menilai kompetensi peserta didik yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan.
Hal kedua yang dibicarakan dalam rapat koordinasi tersebut adalah masalah Ujian Nasional (UN). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menilai ada tiga permasalahan terkait Ujian Nasional yaitu :Â
1). Materi UN terlalu padat sehingga peserta didik dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran.Â
2). Ujian Nasional (UN) menjadi beban bagi peserta didik, guru, dan orang tua karena menjadi indikator keberhasilan peserta didik sebagai individu. Padahal Ujian Nasioana (UN) seharusnya berfungsi sebagai pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian peserta didik.Â
3). Ujian Nasional (UN) hanya menilai aspek kognitif (pengetahuan) dari hasil belajar, belum menyentuh karakter peserta didik secara menyeluruh.Â
Berdasarkan tiga hal ini, maka pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2019/2020 yang rencananya berdasakan POS UN akan dilaksanakan pada 16-19 Maret 2020 untuk SMK dan 30 Maret- 2 April 2020 bagi SMA/MA merupakan pelaksanaan Ujian Nasional yang terakhir kalinya.Â
Dengan kata lain UN dihapus untuk Tahun Pelajaran 2020/2021. Sebagai gantinya berupa Penilaian Kompetensi Minimum (PKM) dan Survei Karakter. Penilaian Kompetensi Minimum yang dimaksud berupa Penilaian Literasi (kemampuan bernalar tentang menganalisis suatu bacaan serta kemampuan memahami konsep di balik tulisan) dan Penilaian Numerasi (kemampuan menganalisis dengan menggunakan angka-angka). Sedangkan Survei Karakter mengacu pada kompetensi sikap sosial dan nilai-nilai Pancasila.
Hal ketiga yang menjadi arah kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah masalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Mengacu pada Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan no. 22 tahun 2016, bahwa komponen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ada 13 aspek meliputi : identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan; identitas mata pelajaran atau tema/subtema; kelas/semester; materi pokok; alokasi waktu; tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD; kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi; materi pembelajaran yang memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi; metode pembelajaran; media pembelajaran; sumber belajar; langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; dan penilaian hasil pembelajaran.Â
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menilai bahwa komponen RPP yang ada dapat disederhanakan menjadi 3 komponen utama yaitu: tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan assesment (penilaian), sementara komponen yang lain sebagai pelengkap.Â
Para guru diharapkan dapat menyusun RPP secara efektif dan efisien sehingga mereka memiliki waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan. RPP tidak lagi disusun secara kaku dan hanya berorientasi pada pemenuhan administrasi belaka. Setelah selesai disusun tidak lagi dilihat dan digunakan dalam proses pembelajaran.Â
RPP harus dapat digunakan dalam persiapan dan proses pembelajaran, tidak perlu berlembar-lembar bahkan satu halaman pun cukup bila memang dapat merekam setiap rencana pembelajaran yang ada, dan setelah proses pembelajaran selesai RPP yang telah disusun sebelumnya dapat dilihat kembali untuk diberi catatan sebagai sebuah evaluasi.
Hal keempat yang menjadi arah kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah masalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Prosentase Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) pada tahun lalu  untuk jalur zonasi minimal 80%, jalur prestasi maksimal 15%, dan jalur perpindahan maksimal 5 %.Â
Sedangkan arah kebijakan tahun 2020 ada sedikit perubahan terkait jalur zonasi berkurang menjadi minimal 50% sedangkan jalur prestasi mengalami peningkatan menjadi maksimal 30%.Â
Hal ini didasari adanya keluhan terkait sulitnya peserta didik berprestasi untuk masuk sekolah negeri karena kendala jarak yang jauh antara rumah dan sekolah serta masalah lain seperti kurang terakomodirnya perbedaan situasi daerah dan pemerataan jumlah guru.
Dari keempat hal di atas, yang menjadi perbincangan paling hangat akhir-akhir ini adalah seputar penghapusan Ujian Nasional (UN) di tahun 2021. Perlu kita ketahui bahwa anggaran pelaksanaan UN Tahun Pelajaran 2019/2020 sebesar Rp 210 miliar.Â
Kalau kita melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa anggaran penyelenggaraan UN cukup besar, sehingga apabila UN dihapuskan semestinya alokasi biaya penyelenggaraan UN sebesar itu bisa dialihkan ke hal-hal lain seperti pengangkatan guru honorer, peningkatan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau hal-hal lain yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Salah satu dampak yang mungkin timbul dari dihapuskannya UN adalah akan menurunnya jumlah lembaga Bimbingan Belajar (BIMBEL) maupun jumlah siswa di tiap lembaga BIMBEL.Â
Hal ini bisa terjadi karena kecenderungan para orang tua (khususnya SMP) tidak akan lagi memasukkan anaknya ke BIMBEL. Dengan menurunnya jumlah siswa di lembaga BIMBEL dapat berdampak pada penurunan income para tutor BIMBEL yang suka atau tidak suka kita harus sadari bahwa banyak dari mereka yang merupakan guru honorer di sekolah.Â
Mereka terpaksa menjadi tutor BIMBEL karena honor di sekolah jauh daripada cukup. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dari pemerintah untuk segera mengangkat secara bertahap para guru honorer menjadi PNS dan meningkatkan kuota program sertifikasi guru dengan standar gaji yang sama dengan sekolah negeri.
Semoga dengan arah kebijakan mendikbud yang baru, khususnya terkait dengan rencana penghapusan Ujian Nasional akan dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional, tidak hanya dilihat dari hasil namun juga dari proses. Dibutuhkan peranan semua pihak, baik orang tua, sekolah, pemerintah dan stake holder lainnya agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat lebih maju dan menghasilkan  manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sebagaimana terkandung dalam tujuan pendidikan nasional pasal 3 UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.(Ropiyadi ALBA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H