Tak ada satpam, tak ada petugas kesehatan. Ingin melakukan pertolongan? Jangan-jangan jadi korban.
Dalam kelalutan pikiran, menolong atau meninggalkan. Tiba-tiba aku teringat kontak darurat. Iya, telpon 119? Cepat-cepat kuambil gawai dari dalam tas sanggul.
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk."
Sudah tiga kali, tak ada sahutan sama sekali. Bagaimana ini? Memegang dan melakukan pertolongan? Aku harus melakukan apa? Jika pingsan biasa pasti dengan minyak angin atau minyak kayu putih mampu menyadarkannya.
Magaimana menyentuhnya. Padahal lewat pernapasan dan mulutlah virus corona menyebar.
Ibu tersebut tak bergerak. Orang-orang juga tak ada yang merespon. Hampir semua seolah-olah tak tahu apa yang terjadi. Hanya aku prang terdekat dengan tubuhnya. Aku juga tak bosa bernuat banyak. Bagiamana ini? Bagaimana ini? Batinku berkata berkali-kali. Menolong atau membiarkanya sendiri.
Akhirnya dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba tubuhku membungkuk mendekati. Mengoleskan minyak angin ke hidungnya. Dan berhasil ibu itu tersadar lagi. Pelan-pelan membuka mata. Menatap seolah tak percaya. Kebingunan sedang ada di mana. Tak bersuara. Aku juga.
Apakah individualisme begitu besar hingga keselamatan diri lebih utama? Pertanyaan itu kemudian berkali-kali ada di dalam dada. Apakah hanya karena virus corona kemanusiaan hilang entah kemana. Ketakutankah?
Nyatanya aku mampu berdiri dan antri seperti biasa.***