Serasa telinga melebar, panas seperti habis kena jewer. Rambut seakan berdiri semua. Wajah panas kaya habis ditempeleng. Kepedesan tak terkira. Sementara rekan-rekan yang tahu, kami berempat suka sambel pada nyeletuk, "Nah ini baru sambal. Hayo, raja sambal habiskan. Malu kalau sampai tidak habis."
Toleh kanan, toleh kiri teh panas belum datang. Maka saya melambai-lambai pada pelayan sambil menyeka keringat di wajah. Mulanya jaket penahan kedinginan terlepaskan. Baju basah berkeringat. Celana basah. membawkan teh pesanan. Begitu teh datang. Apa daya? Teh panas yang kami pesan benar-benar teh panas. Teh dengan air yang sepeti mendidih. Bagaimana meminumnya?
Akh daripada mati kepedasan mau tidak mau. Malu tidak malu. Terpaksa air cawan kobokan saya minum. Dan, hemm... Air cawan kobokannya berisi air es. Dan seger banget.
Sontak rekan-rekan pada berteriak. "Hayo! Raja sambal meminum air kobokan!" Dan mereka pada mentertawakan saya. Sebenarnya malu juga harus meminum air cawan kobokan. Tapi mau gimanalagi, dari pada gak tahan pedasnya yang minta ampun. Lebih baik minum air cawan kobokan. Malu ya malu, tahanin aja.
Beruntunglah saya tidak sendiri. Coba jika saya sendirian, alangkah malunya diri ini. Ternyata tiga teman saya pun melakukan hal yang sama. Jadilah sepanjang perjalanan pulang ke Kabupaten kami berempat jadi bahan olokan. "Raja sambal keok! Meminum air cawan kobokan."
Begitulah, daripada mati kepedasan mending minum air cawan kobokan. Mau diolok-olok bagaimana juga terserah. Yang penting hati puas, memakan sambal yang benar-benar pedas.***