Beberapa hari curah hujan cukup tinggi di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) ditambah dengan adanya kiriman air dari kabupaten tetangga yaitu dari Sungai Balangan dan Sungai Tabalong menyebabkan debit air sungai Nagara semakin bertambah.
Saat ini air sungai Negara yang melintas di Kecamatan Amuntai Tengah sudah mulai meluap hingga menggenangi beberapa rumah yang letaknya tak jauh dari sungai.
Hampir semua warga terdampak banjir mengalami kesulitan dengan terendamnya rumah mereka. Berbeda halnya dengan Jaini (nama samaran). Warga Nagara ini tak ambil pusing dengan banjir yang datang setiap tahunnya. Baginya banjir adalah berkah.
Pekerjaan sehari-harinya adalah nelayan rawa. Memancing, memasang banjur (pancing yang ditaruh kemudian ditinggal), memasang lukah (wuwu), juga tampairai. Jika kebetulan musim kering, area kerjanya pindah dari rawa ke sungai.
Berbekal rengge (rempa) setiap selesai salat subuh, Jaini mengayuh perahunya ke hulu sungai Nagara. Perjalanan 1,5 jam perahu itu ia kayuh ke hulu. Seyelahnya Jaini tebarkan rengge dengan pelampungnya. Perahu perlahan kemudian bergerak ke hilir sungai Nagara.
Ikan pelagis yang mengambang itulah sasaran utamanya. Ikan puyau, lampam, paitan, sanggang, darah mata, dan ikan lain yang kebetulan akan mengambang tersangkut pada renggenya yang mengembang mengikuti arus air ke arah hilir sungai.
Tugasnya hanya menggerakkan perahubagar posisi rengge tetap mengembang selebar sungi. Jika sudah terkumpul banyak ikan yang nyangkut di rengge, ikan pun diambil dan masuk box berisi es batu. Sampai akhirnya tiba di tempat pertama kali Jaini berlabuh tadi.
Kadang tangkapan lumayan banyak hingga 10 - 15 kg. kadang jika kebetulan air sungai sangat jernih hanya 4 - 6 kg. Ikan-ikan tersebut dijual ke pengepul Rp 12.000 per kg. Penghasilan yang tak menentu tersebut memaksa Jaini berpikir keras.
Tak hanya mencari ikan di sungai, sore harinya dilanjutkan dengan memancing belut di sisa-sia air rawa. Kadang dapat, kadang juga tidak dapat. Harga belut lumayan mahal, Rp 25.000 per kg membuatnya tetap semangat walau lebih sering belut yang dibawa pulang tak sampai satu kg. Demikianlah, belut-belut dikumpulkan hingga melebihi satu kg baru dijual ke pengepul.
Musim kemarau adalah musim paceklik bagi Jaini. Jaini sangat sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa ketika teman-teman sekampungnya mulai turun ke sungai malam hari membawa perahu dan alat setrum ikan. Karena dengan begitu, esok paginya pasti ikan sangat sulit didapatkan.
Dia hanya berharap musim hujan segera tiba. Hingga pada waktunya, entah karena doanya telah terkabul atau karena memang musim hujan telah datang, Jaini sungguh senang.
Jaini hapal betul, daerah mana saja yang pertama kali dilewati air ketika air sungai meluap pertama kali. Ketika hujan pertama datang, perapatan tangkap pun dipersiapkan. Lukah yang biasa disimpan di atas atang (tungku masak), termasuk hampang disusun menghalangi arus air yang akan lewat.
Kebiasaan turun temurun yang dipelajari dari orang tua dan tetangganya, ketika air meluap maka ikan akan datang bergerombol melawan arus. Benar saja ikan jenis menangin, sanggiringan, lele, baung, bahkan ikan kais kerap memenuhi lukah Jaini. Kadang semalaman sampai 3 kali lukah diangkat karena terlalu penuh isinya.
Hasil tangkapan pun melimpah, bak-bak penampungan sementara sebelum dijual ke pengepul atau diidarkan sendirian yang ketika musim kemarau berdebu, kini terisi ikan lagi. Dan siap mengisi pundi-pundi sakunya. "Minimal untuk bayar utang selama kemarau," katanya pada tetangga.
Setelah beberapa bulan rejekinya seret karena rawa yang kering. Sungai yang disetrum para pencari ikan. Musim hujan akan menghapus semua keresahannya.
Kemudian nanti ketika banjir mulai surut. Ketika ikan mulai kembali ke rawa dan sungai adalah panen ke dua baginya.Â
Hujan dan banjir adalah berkah bagi Jaini. Panen besar beberapa hari sebelum akhirnya luapan sungai merendam rumah tetangganya.
Jaini tak pernah mengeluh soal banjir, apalagi ikut menghujat atau mengumpat soal banjir Jakarta dan kota-kota disekitarnya. Jaini tak pernah baca berita. Apalagi mentertawakan Anies yang tak datang di acara ILC. Jaini tak sempat nonton televisi. Apalagi menghujat lewat media sosial. Jaini tak mengenal media sosial.
Kadang Jaini hanya geleng-geleng kepala ketika para ibu yang membeli ikannya pada ngerumpi soal banjir di ibukota. Banjir di kota-kota besar lainnya. Dari pagi hingga pagi lagi cemoohan, sumpah serapah, caci maki tentang banjir diucapkan, diobrolkan tak sejengkal pun mengurangi banjir.
Baginya, yang ada hanyalah menambah dosa, menggibah orang yang sedang kesusahan. Sementara ketika kemarau datang, tak ada orang yang memikirkan kesusahannya tak mendapatkan ikan.
Kemarau yang lama adalah penderitaan. Pun banjir yang terlalu dalam dan lama tak kalah membuat menderita. Keinginan manusia hanya sebatas keinginan, tak kuasa menentukan. Kekuatannya hanya berusaha. Dalam kemarau ada banyak orang yang mengais rejekinya. Pun ketika banjir ada orang yang mengambil manfaat darinya.
Semoga banjir segera surut. Semoga banjir tak meninggalkan korban. Semoga dan semoga lainnya. Itulah doa yang mampu kita bisa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H