Ketika kuliah, sepertinya hampir semua guru adalah lulusan S1, bahkan ada yang lulusan S2. Artinya soal tulis menulis yang bentuknya ilmiah sudah menjadi kebiasaan mereka.
Dan hampir mustahil mereka lulus ketika skripsinya tidak dibuat. Dan skripsi mirip dengan PTK. Malah lebih mudah PTK. Namun ketika menjadi guru, keterampilan itu seolah hilang sama sekali.
Saya hanya membayangkan, ketika pada guru berada dalam kelas membimbing peserta didik menyelesaikan kegiatan pembelajaran. Pada saat itu ada peserta didik yang juga ingin berada di zona nyaman. Setiap tugas diberikan dijawab, "Maaf, Bu. Saya tidak bisa." Atau, "Maaf, Pak saya kurang pede mengerjakannya."
Bagaimana jawaban guru? "Kalian harus bisa. Kalian harus berusaha," dan seterusnya. Kan jadinya lucu. Guru memaksa peserta didik untuk bisa. Padahal jelas-jelas, peserta didik pasti tak akan tahu materi pelajaran yang sedang berlangsung. Kita bandingkan dengan guru tadi. Keterampilan menulis sudah pernah dimiliki.
Jawabnya, "Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya kurang pede, dan sebagainya."
Padahal dasar dari pembelajaran adalah mengajak peserta didik "supaya mau" berubah ke arah yang lebih baik. Bagaimana kemauan peserta didik mampu kita tumbuhkembangkan jika dalam diri pribadi sang guru juga kurang kemauannya.
Menjatuhkan "rasa tidak mau" pada diri sendiri saja sulit, bagaimana mengajak orang lain, terutama peserta didik mau. Pernyataan inilah yang selalu menjadikan sebuah pemikiran yang mendalam. Bukan untuk apa-apa sih. Hanya merasa saja bagaimana saya akan mampu mengajak peserta didik saya mau melepaskan zona nyamannya dengan berkeringat berusaha untuk mau.
Walau kita sadari bahwa peserta didik tak ada yang bodoh. Yang ada adalah mereka yang cepat dan lambat saja dalam menyerap materi pelajaran dalam PBM. Lambat dan cepatnya proses pemahaman dan penerimaan materi pelajaran terkait erat dengan kemauan.
Tetap saja ada istilah yang menyatakan, " Meminta orang lain untuk mau melakukan sesuatu akan sangat lebih mudah daripada meminta kepada diri sendiri."
Ketika kemauan guru berada dalam tingkat kelabilan yang sangat, tak mau pindah dari zona nyaman, contohnya "biarlah tak naik pangkat sampai pansiun" lantaran tak mau membuat publikasi ilmiah tadi, bagaimana mereka mampu mengolah kemauan dan kecerdasan peserta didik?
Pada saat para guru membaca artikel ini, pasti baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan pendapat yang berbeda. Dengan sudut pandang yang juga berbeda. Mencari pembenaran mungkin. Kita tidak bisa paksa mereka untuk mengikuti pendapat kita.