Terakhir, hampir di setiap kota posisi kedai kopi sudah naik kelas. Dahulunya kopi segelas seharga Rp 5.000 kini sudah naik menjadi Rp 35.000 - Rp 99.000. Proses olahan dan pilihan jenis kopi yang beragam menjadikan pelanggan dapat memilih jenis kopi yang ingin dinikmati. Di samping itu banyak sekali menu variasi.
Jenis-jenis minuman kopi, saya menyebutnya kopi nodern (berbasis espresso) seperti Espresso, Ristretto, Lungo, Doppio, Americano, Long black, Latte, Cappuccino, Macchiato, Mochaccino, Affogato, Con panna, dan Black eye yang diolah dengan mesin canggih sederhana. Alat produksi inilah yang mampu menaikkan harga kopi menjadi berkelas.
Selain minuman yang saya sebut kopi modern, kopi tradisional, karena dibuat secara manual seperti, kopi tubruk, pour over, vetnam drip, plunger atau press, Vacuum, Moka pot, Cold brew tak kalah nikmatnya.
Apakah mungkin karena menggunakan nama asing sehingga kopi naik kelas? Belum tentu juga sepertinya. Tapi kecenderungan masyarakat penikmat kopi tak peduli dengan nama.
Tempat yang nyaman menjadi ciri khas tersendiri. Apalagi jika kedai kopinya menyediakan fasilitas layanan wifi gratis dan aneka makanan ringan. Pelanggan akan berlama-lama duduk dan bercengkerama bersama teman-teman di kedai kopi yang ada. Kedai kopi pun berganti nama menjadi kafe dan resto.
Menghabiskan secangkir kopi hangat atau dingin paling lama 10 menit selesai. Tapi mengapa kadang satu hingga dua jam betah di hadapan secangkir kopi dan tak habis-habis?
Berbeda halnya ketika menikmati kopi di warung "jablay" yang kini menjamur di pinggir jalan-jalan protokol yang menghubungkan transportasi antar kota. Sambil menikmati kopi alakadarnya, mereka (para sopir truk barang) dapat istirahat sekedar melepaskan kantuk atau ngobrol dengan penjualnya yang nikmat dipandang mata. Betah berlama-lama karena berbagi cerita.
Buat kedai kopi modern seperti kafe dan resto, menikmati kopi sepertinya hanya sebuah selingan. Ada muatan dibalik duduk bersama di depan secangkir kopi. Dengan secangkir kopi kadang diskusi kantor yang menemui jalan buntu, terurai ketika diskusi dilanjutkan di kedai kopi.
Tidak hanya obrolan ringan pengisi senggang sambil menikmati kopi, obrolan serius mengenai politik, dan pemerintahan juga sering terjadi sambil menikmati kopi. Mutasi jabatan, pengangkatan dan promosi jabatan pun tak sedikit yang didiskusikan di depan secangkir kopi. Belum lagi transaksi esek-esek lain pun sering terjadi dan secangkir kopi menjadi saksi.
Entah siapa yang memulainya, yang jelas ketika secangkir kopi telah disruput dan obrolan berlanjut kadang ide cemerlang tentang pengembangan usaha, pembukaan lapangan kerja, sampai PHK juga terjadi di kedai kopi.
Begitulah kopi, tersaji hangat dan dingin diikuti dengan berbagi ide, konspirasi, rekonsiliasi, sampai revolusi pun mungkin saja terjadi di hadapan secangkir kopi.