SEBUT saja Aminah (bukan nama asli) dan Budi ( juga bukan nama asli). Dua orang lulusan Sarjana IKIP Yogyakarta, merantau ke Kalimantan. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata mereka sepasang ke kasih yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat yang diminta pihak perempuan adalah mereka harus bekerja.
Oleh karenanya mereka merantau ke Kalimantan mencari sekolah yang mau menerima mereka menjadi guru honorer. Tak salah sebenarnya, karena memang lulusan IKIP, apalagi pekerjaan yang cocok untuk mereka selain jadi guru.
Mengingat di Yogyakarta hampir semua sekolah, terutama SMP sudah penuh gurunya. Dalam artian setiap sekolah sudah memiliki guru dengan jumlah yang sebanding dengan peserta didik. Malahan sebagian guru PNS saja ada yang harus mencari sekolah lain guna melengkapi syarat sertifikasi 24 jampel peeminggu.
Setiba di Kalimantan juga tak sekonyong-konyong dapat sekolah yang menerima mereka. Hanya sekolah-sekolah pelosok yang kekurangan guru. Mereka berdua pun diterima.
Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru walau hanya honorer menjadikannya sadar bahwa diterima menjadi guru adalah anugerah terbesar bagi mereka berdua. Tak mengherankan ketika mereka benar-benar mewujudkan rasa syukurnya dengan rajin datang ke sekolah, dispilin dan perhatian terhadap tugas yang diberikan.
Saya saat itu kebetulan sebagai kepala sekolahnya. Karena mereka memiliki jurusan yang sama, mau tidak mau salah satunya harus mengajar mapel yang tidak sesuai dengan jurusannya. Aminah mendapat tugas mengajar Bahasa Indonesia, dan Budi mengajar TIK. Sangat berbeda dengan jurusan semula yaitu IPS.
Pada mulanya banyak keluhan-keluhan tentang proses pembelajaran yang mereka ikuti. Namun seiring waktu berjalan masing-masing dapat menyesuaikan.
Saya hanya mencoba membandingkan dengan guru negeri yang ada di sekolah waktu itu. Mereka PNS, ketika diminta untuk mengajar materi pelajaran yang tidak sesuai dengan jurusannya, dipastikan tidak mau. Menolak dengan berbagai alasan.
Dan alasan yang paling melekat hingga kini adalah ketika mereka mengucapkan, "Biarlah, Pak. Saya mengajar 24 jam saja. Kan jika mengajar 24 jam sertifikasi sudah saya terima. Artinya saya mengajar sudah sesuai peraturan pemerintah."
Jika saya emosi saya meledak, pasti bukan sekedar jawaban lebih keras atau teguran dengan kata-kata. Mungkin saja tangan melayang, dan urusannya adalah pidana. Beruntungnya ketika itu saya mampu memendam amarah. Sehingga tak terjadi apa-apa.
Kebijakan daerah mewajibkan untuk honor tenaga guru honorer tidak boleh melebihi gaji yang diterima pegawai PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang pada saat itu adalah Rp 1.200.000. Jadi maksimum gaji mereka pun sebesar itu. Sementara gaji PNS terendah saja sudah Rp 1.500.000.
Saya tak habis pikir, mengapa para guru PNS walau tidak semuanya tak berpikir bagaimana guru yang pontang panting mencari sekolah untuk mengajar walau dalam status honorer. Walau gajinya minim. Yang penting mereka bekerja sesuai dengan pendidikannya.
Setelah predikat guru PNS melekat padanya seolah dedikasinya menguap perlahan seiring berjalannya waktu. Mau mengajar hanya sesuai dengan batas minimal agar memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi saja. Jika diminta untuk mengajar melebihi beban kerja minimal tersebut pasti menolak dengan beribu alasan.
Apalagi ketika diminta untuk mengisi kegiatan eksul. Pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah berapa honornya perbulan? Atau berapa transpot setiap pertemuan. Padahal sadar atau tidak sadar tugas kegiatan ekskul telah melekat pada tupoksinya sebagai guru. Selain mengajar, mereka juga harus membimbing peserta didik.
Karena perilaku yang demikian, salah satu pilihan mau tidak mau untuk kegiatan ekskul pun ditangani oleh guru honorer. Hitung-hitung untuk tambahan penghasilan bagi mereka.
Entah karena motivasi yang besar untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau karena memang terpanggil dengan tugas bimbingan yang melekat padanya. Yang jelas kegiatan ekskul dapat berjalan lancar.
Yang mengherankan ketika kegiatan ekskul dikerjakan oleh sebagian besar guru honor, malah guru negeri nyeletuk, "Kalau saya mending berkebun atau berjualan saja. Lebih banyak hasilnya daripada membimbing ekskul. Menang belum pasti, kalahnya pasti." Sungguh mengiris hati memang.
Lambat laun Aminah dan Budi akhirnya diterima sebagai guru negeri. Nasib baik berpihak pada mereka. Keduanya lulus mengikuti tes K2. Jadilah akhirnya mereka guru negeri.
Beberapa tahun setelah saya mutasi ke sekolah lain saya tak menemukan mereka berdua. Jarak yang jauh memutus komunikasi kami.
Terakhir informasi yang saya terima mereka berdua sudah berkeluarga dan memiliki dua orang puteri. Saya tanya kepada teman yang satu sekolah dengan Aminah dan Budi tadi.
"Apa kegiatan mereka berdua?"
"Mereka sekarang makmur pak."
"Koq bisa?"
"Iya, Budi sekarang berhasil berkebun. Dan istrinya Aminah berjualan di muka rumahnya."
"Bagaimana di sekolah. Ya begitulah. Sama seperti yang lainnya."
Saya kemudian berpikir, bagaimana dulu mereka berdua ketika masih honorer. Sehari-hari hanya asyik mengajar dan membimbing peserta didik mengikuti kegiatan ekskul. Eh, setelah jadi PNS malah berubah haluan. Setelah mendapatkan sertifikasi dijadikan modal untuk berkebun dan berjualan. Sementara tugas sekolah hanya seperlunya. Bagaimana bisa?
Kadang memang di luar logika. Dan perubahan perilaku berpengaruh ketika status PNS sudah disandang. Kecuali pelanggaran berat dan pidana 5 tahun ke atas yang mampu memecat mereka, akhirnya yang penting bekerja. Yang penting syarat minimal terpenuhi. Walau tak semuanya. Tapi banyak di antara para PNS yang ada.
Pola pikir seperti inilah yang hingga saat ini masih berkeliaran di sekolah-sekolah di sekitar kita. Entah bagaimana caranya pemerintah membangkitkan kembali agar semangat ketika honorer dahulu kembali. Semangat mengabdi, semangat menjadi guru dengan seluruh tupoksi yang melekat padanya.
Barangkali salah satunya adalah dengan tes kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional pada UKG seperti tahun 2016 lalu. Namun ternyata hasil yang baik pada tes tersebut tak mencerminkan dedikasi yang tinggi juga pada guru PNS.
Membangkitkan kesadaran untuk disiplin dalam bekerja terutama bagi guru PNS memang dibutuhkan. Karena di tangan para gurulah peserta didik diharapkan lebih kreatif, lebih cerdas, dan lebih memiliki budi pekerti yang baik. Masa bodoh dari para guru salah satunya mengakibatkan rendahnya prestasi dan budi pekerti peserta didik.
Semoga para PNS yang baru selesai seleksi dan nantinya diangkat menjadi guru PNS memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengabdi semaksimal mungkin menjadi guru. Aamin.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H