Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Jadi Guru Honorer Semangat, Setelah PNS Melempem

23 Februari 2020   21:13 Diperbarui: 23 Februari 2020   21:30 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SEBUT saja Aminah (bukan nama asli) dan Budi ( juga bukan nama asli). Dua orang lulusan Sarjana IKIP Yogyakarta, merantau ke Kalimantan. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata mereka sepasang ke kasih yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat yang diminta pihak perempuan adalah mereka harus bekerja.

Oleh karenanya mereka merantau ke Kalimantan mencari sekolah yang mau menerima mereka menjadi guru honorer. Tak salah sebenarnya, karena memang lulusan IKIP, apalagi pekerjaan yang cocok untuk mereka selain jadi guru.

Mengingat di Yogyakarta hampir semua sekolah, terutama SMP sudah penuh gurunya. Dalam artian setiap sekolah sudah memiliki guru dengan jumlah yang sebanding dengan peserta didik. Malahan sebagian guru PNS saja ada yang harus mencari sekolah lain guna melengkapi syarat sertifikasi 24 jampel peeminggu.

Setiba di Kalimantan juga tak sekonyong-konyong dapat sekolah yang menerima mereka. Hanya sekolah-sekolah pelosok yang kekurangan guru. Mereka berdua pun diterima.

Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru walau hanya honorer menjadikannya sadar bahwa diterima menjadi guru adalah anugerah terbesar bagi mereka berdua. Tak mengherankan ketika mereka benar-benar mewujudkan rasa syukurnya dengan rajin datang ke sekolah, dispilin dan perhatian terhadap tugas yang diberikan.

Saya saat itu kebetulan sebagai kepala sekolahnya. Karena mereka memiliki jurusan yang sama, mau tidak mau salah satunya harus mengajar mapel yang tidak sesuai dengan jurusannya. Aminah mendapat tugas mengajar Bahasa Indonesia, dan Budi mengajar TIK. Sangat berbeda dengan jurusan semula yaitu IPS.

Pada mulanya banyak keluhan-keluhan tentang proses pembelajaran yang mereka ikuti. Namun seiring waktu berjalan masing-masing dapat menyesuaikan.

Saya hanya mencoba membandingkan dengan guru negeri yang ada di sekolah waktu itu. Mereka PNS, ketika diminta untuk mengajar materi pelajaran yang tidak sesuai dengan jurusannya, dipastikan tidak mau. Menolak dengan berbagai alasan.

Dan alasan yang paling melekat hingga kini adalah ketika mereka mengucapkan, "Biarlah, Pak. Saya mengajar 24 jam saja. Kan jika mengajar 24 jam sertifikasi sudah saya terima. Artinya saya mengajar sudah sesuai peraturan pemerintah."

Jika saya emosi saya meledak, pasti bukan sekedar jawaban lebih keras atau teguran dengan kata-kata. Mungkin saja tangan melayang, dan urusannya adalah pidana. Beruntungnya ketika itu saya mampu memendam amarah. Sehingga tak terjadi apa-apa.

Kebijakan daerah mewajibkan untuk honor tenaga guru honorer tidak boleh melebihi gaji yang diterima pegawai PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang pada saat itu adalah Rp 1.200.000. Jadi maksimum gaji mereka pun sebesar itu. Sementara gaji PNS terendah saja sudah Rp 1.500.000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun