Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Muara (39)

16 Mei 2022   00:55 Diperbarui: 16 Mei 2022   00:55 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Baru saja ditutup, gawai Menik kembali berdering. 

Ibu. 

Menik segera mengangkat tilpunnya dan menjawab. 

"Selamat malam, Bu. Apa kabar Ibu dan Bapak?"

"Selamat malam, Nduk. Puji Tuhan. Ibu dan Bapak sehat selalu atas doamu. Bagaimana kabar keluarga di Selomerto?"

"Baik, Bu. Semua sehat atas doa Ibu dan Bapak." Suara Menik gembira.

"Suamimu sudah pulang kerja, Nduk?" Bu Sri bertanya.

"Udah, Bu. Ini sama anak-anak. Barusan Mas Andra menilpun."

"Oh, iya? Syukurlah Andra menilpunmu, Nduk."

"Sama Hana dan anak-anaknya tadi, Bu. Kita semua di sini barusan menyapa bayinya. Cantik banget, Bu. Beneran, deh." Menik bertutur penuh sukacita.

"Kayak Hana, ya?" suara Bu Sri datar.

"Gak, Bu. Unik parasnya. Bentuk wajahnya mirip Hana. Tetapi matanya justru mirip Mas Andra dan Ibu. Suer, Bu. Lebih cantik dari yang diunggah Mas Andra di instagramnya."

"Oh,iya? Siapa namanya?" Nada suara Bu Sri kini berubah gembira.

"Yuki."

"Apa artinya?"

"Salju."

"Di Bogor gak ada salju."

"Hahahaha...... Memang gak ada, Bu. Itu artinya, Ibu yang harus ke Kyoto untuk melihat salju." Menik menghibur Bu Sri.

"Memang bisa Ibu ke Kyoto?"

"Pasti bisa lah, Bu. Nanti Menik yang antarin."

"Hahahaha......kamu bisa aja." Bu Sri tertawa gembira.

"Kita nabung dari sekarang. Nanti kalau sudah cukup kita berdua ke Kyoto."

"Usul bagus, tuh. " Bu Sri mengiyakan saran Menik meski ia sendiri tahu jika putrinya hanya menyenangkan hatinya. "Ibu mau minta bantuan Suamimu sebenarnya. Makanya ibu menilpunmu."

"Bantuan apa, Bu? Nanti aku sampaikan."

"Bapakmu minta surat persetujuan Dinas Pendidikan Kabupaten Wonosobo sebagai syarat mutasinya."

"Kok, mutasi? Kenapa Bapak tidak mengajukan pensiun? Kan di sini Bapak yang memegang perusahan."

"Ibu sudah menyampaikannya. Tapi pikiran Bapak kan berbeda."

"Baik, Bu. Nanti aku sampaikan Bapaknya anak-anak."

"Terima kasih ya, Nduk. Maaf Ibu merepotkanmu."

"Gak apa-apa, Bu. Nanti kita upayakan ya, Bu."

"Terima kasih. Ibu pamit ya, Nduk. Salam hormat untuk Suamimu dan anak-anak."

"Baik, Bu. Menik nanti sampaikan salam, Ibu. Menik sayang Ibu dan Bapak."

"Bapak dan Ibu juga menyayangimu, Nduk."

*******

Menik dan suaminya masih duduk di ruang keluarga. Anak-anak mereka telah masuk ke kamar tidur masing-masing.

Malam di desa seperti Selomerto merupakan saat istirahat yang mewah. Kemewahan yang dibawa suara jangkrik dan lampu kunang-kunang mengirimkan dongeng dalam mimpi manusia.

"Mas, sepertinya Njenengan kudu bicara dengan Pak Bupati." Menik membuka percakapan.

"Untuk minta surat persetujuan instansi penerima kah? Bukankah cukup dengan Pak Kadis Pendidikan?"

"Bicara saja sama Pak Bupati. Kan ujungnya yang memberi persetujuan juga beliau."

"Baik. Aku pikir lebih efektif begitu. Hari jumat beliau biasanya safari keliling kecamatan. Nanti aku minta untuk mendampingi beliau. Aku sampaikan permintaan Bapak saat bertemu beliau."

"Makasih Mas. Aku sebenarnya pengen Bapak pensiun aja. Kalau mutasi tugas kan Bapak masih mengajar di sini. Usaha kita butuh orang yang menungguinya full time."

"Kita ikuti beliau saja dulu. Namanya juga orang tua. Lagipula, Bapak punya prestasi selama menjadi guru puluhan tahun ini. Tidak mudah bagi beliau untuk meninggalkan semuanya. Nanti beliau bisa memutuskan sendiri kalau sudah di sini dan berhadapan dengan dua pekerjaan sekaligus."

"Makasih, Mas. Aku selalu merepotkanmu."

"Gak lah. Kita kan tim yang hebat." Suami Menik tersenyum.

"Aku boleh gak mengatakan sesuatu hal lain?"Menik memohon.

"Boleh. Apakah itu?"

"Kapan kamu terakhir bicara dengan Guruh?"

"Sehari setelah ia kembali ke Semarang. Guruh menelpon aku besok siangnya."

"Ada kabar apa dari dia?"

"Gak ada kabar apa-apa. Dia hanya menyampaikan kalau sudah tiba di Semarang dan masuk kantor.  Ada apa, toh?"

"Tidak apa-apa, Mas. Hanya aku merasa aneh sekarang."

"Maksudnya? Apa hubungannya dengan Guruh?" Suami Menik memastikan.

"Aku menonton dan membaca ulang semua file yang dia berikan. Aku melakukan recheck di internet." Wajah Menik berubah muram.

"Kenapa? Guruh benar?"

"Waktu berjalan. Dan terlihat jelas bahwa apa yang ia ungkapkan terbukti benar."

"Jika ia benar, mestinya kamu senang."

"Tidak semudah itu, Mas."

"Apa yang tidak mudah?"

"Aku bagian dari semua yang diserang Guruh. Sainsnya. Protokolnya. Dampaknya. Sistemnya. Semuanya. Aku bagian dari itu."

"Aku menolaknya. Kamu bukan orang yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini."

"Benar, Mas. Aku bukan orang yang bertanggung jawab secara langsung. Tetapi harusnya aku menjadi orang yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang terjadi sebelum memberi pandangan pada semua orang dari tempat para malaikat berdiri."

"Seserius itukah?"

"Guruh telah memperingatkan aku tentang pseudo-science ini. Juga pernak pernik politiknya. Gila. Benar-benar gila. Dia sama sekali tidak bercanda, Mas. "

Suami Menik terdiam.

"Aku benar-benar tidak waspada untuk melihatnya." Menik mengeluh.

"Jadi apa yang harus kita lakukan?"Suami Menik bertanya.

"Kenakan seluruh perlengkapan senjata, Tuhan. Kita siap memasuki perang spiritual."

Suami Menik mengangguk. Meski ia tidak mengerti apa yang diusulkan istrinya. Yang ia pahami adalah penetrasi sains palsu dalam kehidupan manusia kini hampir-hampir tidak dapat dibendung.

Yang ia lihat adalah perang psikologis dan penyebaran ketakutan melalui televisi dan media massa. Yang bisa ia mengerti adalah hilangnya kegagalan senat Amerika melanjutkan pembahasan undang-undang aborsi nasional setelah proses pemungutan suara dimenangkan pihak penantang.

Yang ia bisa pahami yaitu protes publik terhadap tayangan podcast LGBT. Pun yang bisa ia tangkap adalah matinya pemikiran kritis oleh satu kata baru dalam dunia sains "mis-informasi".

Tetapi sejak lama ia juga tahu bahwa sains mampu merekayasa iklim. Sains mampu menjadikan langit sebagai layar proyeksi holografi. Sains yang sama juga terus maju mendorong laki-laki memiliki hak reproduksi.

Tanya. Selidik. Bertian kini kah laki-laki? Menunduk. Merintih. Berkacak namun mengaduh. Muka pucat pasi pun sakit mencekik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun